Minta Jujur atau Minta Bohong?

Jadi, kemarin Saya mengikuti sebuah kegiatan open recruitment anggota baru sebuah organisasi di kampus. Sejak saya resmi menjadi mahasiswa, organisasi tersebut memang menjadi incaran utama. Pertama kali jadi Maba saya kira jalannya organisasi sebelas dua belas dengan organisasi tingkat sekolah yang kenyang Saya nikmati. Begitu beranjak ke semester dua Saya merasa ada yang salah. Merasa aneh, ganjil, dan ada sesuatu yang salah. Nurani Saya tergerak untuk benar-benar nyemplung ke dalamnya, mencoba membenahi apa yang menurut kacamata Saya sebagai orang awam, rusak.

Awalnya Saya akan menceritakan apa sih yang menurut Saya salah dari tubuh organisasi itu. Begini, jadi kampus Saya organisasi dibagi dalam beberapa tingkatan. Nah, tingkatan organisasi yang Saya tuju adalah tingkatan kedua dari piramida kekuasaan kampus. Organisasi itu membawahi sub organisasi lagi, dan itu adalah tingkat terendah dari piramida kekuasaaan kampus. Mari kita sebut organisasi yang Saya tuju sebagai organisasi Hitam dan sub organisasinya kita sebut dengan Merah, Kuning dan Biru.

Jadi, keganjilan yang Saya temui ketika adanya pemilihan ketua organisasi. Ada dua kubu yang menurut Saya bersaing. Yakni kubu warisan, kerjasama organisasi Hitam-Kuning-Merah melawan kubu radikal, Biru. Sesuatu yang salah di sini adalah di kubu Hitam-Merah-Kuning memasang calon dari orang-orang yang sudah dikenal, bukan orang-orang baru. Saya berusaha berpikir positif, ah mungkin yang kompeten memang orang itu-itu saja. Melihat koalisi mereka saja Saya sebenarnya merasa sedikit curiga. Mengenai kubu Biru sendiri, Saya tidak begitu suka juga dengan mereka karena obsesi politik mereka terkesan radikal. Tapi toh, kubu Biru dimenangkan oleh kubu mereka sendiri dan tidak mendominasi organisasi tingkat kedua kami. Pada akhirnya, organisasi tingkat kedua didominasi oleh kubu koalisi warisan. Di tahun kedua Saya menjadi mahasiswa pun terjadi hal yang sama. Sudah jelas ini bukan kebetulan, untuk Saya bersikeras menemukan jawabannya dengan nyemplung ke dalamnya.

Namun, ketika Saya nyemplung (baru menyemplungkan kaki sebenarnya) Saya merasa aneh lagi. Ketika berhadapan dengan mereka langsung Saya diberondong pertanyaan yang sebenarnya hampir semuanya ingin Saya jawab sebaliknya. Lantas mengapa kamu tidak menjawab sesuai nurani kamu? Saudara pasti bertanya-tanya. Saya berstrategi Saudara. Berdasarkan pengalaman Saya dan ketika Saya dihadapkan dengan mereka, Saya membaca gelagat mereka akan meloloskan orang yang mereka kenal (re: sudah nyemplung organisasi duluan atau faktor lain yang tidak Saya ketahui). Jadi, Saya mencoba mendapatkan kepercayaan mereka dulu agar Saya termasuk orang beruntung yang bisa menyusup ke dalam tubuh mereka.

Muncul sebuah pertanyaan seperti ini, "Apa alasan kamu bergabung dengan kami?" Saya mencoba menjawab jujur pada awalnya. Saya menjawab "Untuk menambah pengalaman organisasi agar mendapatkan beasiswa". Tahu apa reaksi mereka? Saya membaca kilatan keraguan dan keengganan di mata mereka. Sebab itulah Saya harus memutar jawaban Saya sedemikian rupa agar mereka tertarik pada Saya.

Dari situ saja Saya sudah menilai, ternyata pemerintahan yang tidak becus jaman sekarang, pemberi kerja yang menjamur jaman sekarang lebih suka mendapatkan jawaban Klise dan Bohong ketimbang jawaban jujur. Mereka lebih menikmati kebohongan yang manis ketimbang kenyataan pahit, mereka lebih suka orang munafik ketimbang orang jujur. Sebab itulah manusia jaman sekarang menyembunyikan siapa dia sebenarnya karena bentukan lingkungan semacam itu. Pertanyaannya adalah SAMPAI KAPAN? Sampai kapan kita terpuaskan oleh semua jawaban klise dan bohong? Sampai kapan kita tidak mau tersakiti dan mengambil risiko karena jawaban yang mengandung kebenaran?

Tidak heran kalau perangkat pemerintahan berisi orang-orang demikian. Sekian.

Comments