Berhijab Memang Kewajiban, Melepasnya Itu Pilihan


Aku tahu betul kok kalau berhijab itu bukan pilihan tapi kewajiban bagi setiap Muslimah, aku paham betul. Bagaimana tidak? Mengaji sejak kecil, entah itu guru mengaji atau guru agama di sekolah selalu mendengungkan ayat yang sama. Q.S Al Ahzab: 59, "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Namun karena aku hidup di Indonesia, bukan Jazirah Arab, bagiku berhijab itu pilihan. Dulu. Karena seiring aku tumbuh, masih banyak para wanita yang tidak menutupi rambut mereka. Kesopanan bagi orang Indonesia cukup terbatas dari baju yang digunakan, selama itu tertutup dan tidak mempertontonkan area vital maka akan baik-baik saja. Maka dari itu, hingga aku lulus Sekolah Menengah Atas pun aku belum berhijab.

Aku pernah berada di masa mempertanyakan ayat-ayat Al-Qur'an dan terus membantahnya dengan logika dangkalku sendiri. Mencari pembenaran bahwa berhijab itu nanti-nanti saja. Toh yang penting aku tidak berpakaian ketat. Toh siapa sih yang bakal nafsu melihat rambutku yang awut-awutan, nggak rapi, dan kasar seperti sapu ijuk? Aku juga pernah berada di masa malas banget kalau dipaksa sama guru agama untuk berhijab.


"Hey, Bu, berhijab itu urusanku. Yang dosa juga aku bukan engkau jadi stop deh maksa orang berhijab," begitu pikirku kala itu. Meski kini aku sadar mungkin saja guruku juga turut menanggung dosa karena aku tak berkerudung, begitu pula ayah dan ibuku, hingga kini aku tetap memegang teguh prinsip, "Berhijab itu pilihan masing-masing orang."

Sekali lagi, aku tahu berhijab itu kewajiban bagi para Muslimah. Dan tidak berhijab itu salah menurut perspektif Islam.

Sayangnya kita bukan Tuhan. Dan tugas mengadili dosa atau pahala seseorang hanya karena mereka berhijab atau tidak itu bukan kekuasaan manusia. Lalu mengapa kita masih saja mengurusi masalah penutup kepala orang lain?



Aku paham betul hadits mengatakan bahwa, "Tidak diterima sholat wanita dewasa kecuali yang memakai khimar (jilbab)." (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, bn Majah)." Tapi tetap saja urusan ibadah dan hisab itu hanyalah milik Allah bukan? Siapa sih kita yang berani mencoba untuk menghakimi orang lain padahal salat saja masih bolong-bolong, sedekah masih jarang, dan masih melakukan dosa-dosa kecil yang tak terhitung jumlahnya. Apakah kita berhak untuk mencemooh orang-orang yang memilih untuk menanggalkan hijab mereka?

Baru-baru ini, perbincangan soal hijab dan tidak berhijab ini kembali panas setelah seorang publik figur memutuskan untuk menanggalkan penutup kepalanya. Yang membuatku merasa sedih tentu respon dari orang-orang. Meski ada yang mendukung si Mbak, jumlah orang (re: netizen) yang menghujatnya jauh lebih banyak. Bukankah kita ditakdirkan di dunia ini sebagai penjaga bumi saja? Hak mana yang kita punya untuk menimbang dosa dan perilaku orang lain?

Berhijab merupakan salah satu bentuk ibadah. Tentu saja tindakan ini merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung. Mengingatkan boleh, tapi membicarakannya berkepanjangan, menyebutnya murtad/atheis, atau sampai menggunakan kasus tersebut sebagai trik marketing sungguhlah tidak berakhlak. Melepas hijab sudah jadi pilihannya, sebagai orang yang bahkan tidak kenal kita tidak pernah tahu alasan si Mbak ini apa. Dan si Mbak pun sudah siap dengan segala konsekuensinya sebagai publik figur dan hamba Allah. Tapi apakah konsekuensi yang dihadapinya termasuk pelanggaran privasi? Kuharap ke-kepo-an netizen terhadap urusan selebritis bukanlah konsekuensi yang dia harapkan dan dimahfumkan oleh saudara-saudaraku yang beriman.


"Kan dia artis, wajar dong kalau kehidupan pribadinya dikonsumsi publik." Saudara-saudaraku sekalian, apakah dengan menjadi artis seseorang kehilangan hak hidup sebagai manusia yang butuh dihormati privasinya? Apakah dengan menjadi artis, mereka membiarkan kalian mencampuri ranah pribadi mereka? Apa sih kontribusi kalian terhadap artis tersebut? Memberinya gaji? Membelikannya rumah? Membeli karya mereka? Saya nggak yakin kalau orang-orang yang menghujat si Mbak ini menghargainya dengan membeli karyanya.



Sudah sering sekali disindir di berbagai opini dan media mana pun, sosial media zaman sekarang ini beracun. Individu seolah punya hak untuk berbicara tanpa mengetahui apa konsekuensi dari melemparkan cacian atau ungkapan kebencian pada orang yang tidak mereka sukai. Inilah yang ditakutkan oleh Einstein. Orang-orang berlomba-lomba membuat akun anonim untuk menebar kebencian padahal sebetulnya itu hanyalah bentuk ketidakpuasan mereka akan hidup masing-masing. Orang-orang berlomba-lomba menjadi hakim atas dosa orang lain untuk menutupi dosa-dosa yang mereka buat sendiri.

Wahai saudaraku, berhenti menjadi hakim atas urusan ibadah orang lain. Berhenti menimbang dosa saudara Muslim yang lain. Mari sama-sama perbaiki diri sendiri dan menghargai pilihan masing-masing. Hidup itu indah tanpa saling menghujat atau menyenggol urusan orang lain kok.

Dan bagi perusahaan penjual Jilbab, tolong jangan jadikan kasus si Mbak sebagai strategi marketing. Islam tidak mengajarkan dakwah dengan cara demikian. Yang membuat suatu keyakinan dianggap buruk dan tidak manusiawi itu bukan ajarannya akan tetapi para penganutnya yang merasa lebih benar daripada yang lain, yang merasa punya hak untuk mengadili saudaranya di dunia. Semoga saudara-saudaraku yang membaca tulisan ini dijauhkan dari sifat-sifat yang justru akan menghancurkan keyakinan itu sendiri. I always believe that Islam is the righteous way and the most beautiful thing I've ever trust.

Comments