Existential Crisis


Halo teman-teman semua, dalam tulisan ini aku ingin curhat soal pikiran-pikiran yang ada di benakku. Kadang-kadang aku tuh terlalu banyak berpikir sampai capek sendiri, di lain waktu nggak pernah mikir saking santainya. Oh ya, perlu kalian tahu kalau aku tuh pernah punya sifat ambisius. Entah sampai sekarang sifat ini melekat atau tidak. Yang jelas dibandingkan disebut sebagai orang yang ambisius, aku lebih suka disebut sebagai orang yang determined, visioner, dan hardworker.

I used to live my life to the fullest, artinya ketika aku sudah mencita-citakan sesuatu aku akan berusaha keras untuk mencapainya. Dan life goalsku itu tidak dalam jangka pendek melainkan jangka panjang. Dalam tiga tahun ke depan misalnya, aku sudah harus lulus, dapat kerjaan di salah satu instansi keuangan di Indonesia, pergi ke Korea, jalan-jalan di Asia Tenggara, dan lain sebagainya. Sama halnya dengan sekolah di luar negeri ini, ini adalah life goals jangka panjang yang aku buat.

Rasanya aku berkali-kali cerita kalau aku mempersiapkan beasiswa dan lain-lain sejak semester 5, itu karena pada semester 4 akhirnya hatiku terketuk untuk melanjutkan sekolah lagi. Pada saat itu, rencana jangka pendek adalah mendapatkan beasiswa dan kampus dulu. Setelah itu baru aku menyusun rencana jangka panjang seperti: setelah lulus mau ke mana, selama kuliah di luar negeri mau ngapain, bagaimana cara mencapai semua itu, berapa banyak saving yang harus dikumpulkan selama kuliah di luar negeri, dan lain sebagainya. Turns out, satu per satu bucket list tercapai.

Nah, merencanakan hidup sedemikian rupa tak serta merta membuatmu hilang arah lho. I did write my priorities and I did try to fulfill them all. Sayangnya suatu waktu aku kembali merenungkan "Sebenarnya apa sih tujuanku melakukan semua ini?"

Pertanyaan itu menghantuiku kembali kemarin. Ketika selesai membaca catatan, nilai quiz sudah keluar, dan sejumlah e-mail soal disertasi berdatangan, aku kembali dikejutkan oleh pemikiran tersebut. Kalau diingat kembali, benar juga ya? Apa tujuanku melakukan semua ini? Apa tujuanku sekolah di luar negeri? Setelah aku sekolah aku mau ngapain? Apakah aku mau lanjut PhD? Mengapa aku memilih bidang ilmu yang saat ini aku tekuni? Apa yang sebenarnya telah kulakukan? Manfaat apa yang sudah kuberikan untuk orang lain? Apa makna keberadaanku di dunia ini? Apa pencapaian yang sudah aku lakukan? Dan lain sebagainya.

It's hard to tell but I keep saying this, "I don't know what will I become, I just want to focus today, and think the future later." But I can't, I keep being afraid that I might not do well later.

Bertemu dengan orang-orang "super" di Inggris, yang berbeda dari orang-orang yang aku temui di Indonesia membuatku merasa rendah diri. Ternyata selama ini aku terlalu banyak membuang-buang waktu dan bersenang-senang. Tapi apakah hidup memang harus seberat itu?

Aku bertemu banyak orang cerdas dan pintar di sini, jauh lebih baik daripadaku. Apapun yang keluar dari mulut mereka isinya berbobot, sementara ketika aku berkaca pada diriku sendiri, aku seperti kepompong yang ditinggal kupu-kupu. Hampa dan kosong. Tak berilmu. Itulah yang membuatku merasa bahwa this is not enough. Kalau di Malang, mungkin aku bisa menjelaskan hal-hal yang tidak terpikirkan oleh teman-temanku. Tapi di sini situasi berbalik, banyak hal yang tidak kuketahui dan aku merasa tidak pantas kalau berada di lingkungan orang-orang "super" tersebut. They have done something good, meanwhile me ...

Yah, mungkin masing-masing orang punya timing tersendiri, I get that. Tapi sebagai orang yang bukan siapa-siapa dan bertemu orang-orang yang menakjubkan tersebut, pasti suatu saat kamu akan bertanya, "What have you done? What's the point of you do this all? For recognition? For the sake of your country? Satisfy your ego?"

Aku tidak tahu apakah aku melanjutkan studi di luar negeri hanya untuk pembuktian atau memuaskan ego-ku pribadi? Atau apakah aku memang melakukannya dari hati untuk jadi manusia bermanfaat? Kalau memang aku memilih yang kedua tapi kenapa aku masih belum menghasilkan apa-apa? Mengapa aku tidak melakukan sesuatu yang memberi impact pada orang lain (masyarakat)? Mengapa aku tidak memanfaatkan resource yang serba ada ini untuk menghasilkan karya yang bermanfaat? Mengapa aku terlalu banyak menghabiskan waktu untuk hal yang sebenarnya tidak bermanfaat?

Mengapa aku banyak bertanya tapi tidak bergerak?

Aku pun sedikit gelisah soal apakah yang akan aku lakukan nanti setelah 'lulus' dari sini. Ada begitu banyak pilihan dan kesempatan, aku juga sudah tahu betul passion-ku di mana. Tapi aku masih melakukannya setengah hati. So, the problem is within me.

Beberapa kesempatan itu mungkin jadi dosen dengan cara kembali ke kampus, mulai dari nol, jadi dosen honorer dengan bayaran tidak seberapa. Tapi dengan menjadi dosen, aku bisa menyalurkan ide untuk menulis paper, awalnya menjadi research assistant dosen-dosenku terdahulu. Sayangnya aku tidak punya banyak pengalaman mengajar, aku tidak terlalu suka mengajar dengan cara konvensional, aku ingin jadi dosen hanya karena ingin menyuntikkan nilai-nilai idealisme yang kuanut pada para mahasiswa dan hanya karena ingin punya wadah untuk melakukan penelitian. But, it seems so far from that. I don't think I have the capabilities of being a lecturer and sofort.

Rencana kedua adalah mencoba peruntungan kembali di instansi keuangan Indonesia seperti BI atau OJK. Aku sudah punya pengalaman magang di sana, sudah tahu kultur instansi, dan sudah tahu kalau BI menyediakan kesempatan bagi para pegawainya untuk menghasilkan penelitian juga, aku juga sudah pernah menjalani tes tulis mereka. Tapi apakah aku bisa lulus seleksi tulis dan administrasi? Apakah aku bisa menjalani serangkaian seleksi yang mereka adakan? Adakah kesempatan bagi mahasiswa S2 untuk bekerja di BI? Ada banyak hal yang membuatku bertanya-tanya dan aku tidak yakin akan bisa melewatinya. Karena aku tahu, aku sudah pernah gagal di tes tulis mereka.

Rencana ketiga adalah menjadi jurnalis. Berbekal pengalaman sebagai seorang jurnalis dan bahasa Inggris tulis yang cukup mumpuni, aku sempat percaya diri. Namun ketika aku dihadapkan langsung dengan rekrutmen jurnalis di sini (Inggris), nyaliku ciut. Apakah aku bisa bekerja selayaknya jurnalis dari media internasional? Apakah aku sudah punya kemampuan riset yang mumpuni? Apakah aku bisa menulis dengan bahasa Inggris yang mudah dibaca dan dipahami oleh user? Apakah ada kesempatan bagiku untuk jadi jurnalis ekonomi?

Ada begitu banyak jalan yang sudah aku rencanakan tapi ada begitu banyak masalah yang timbulnya dari diriku sendiri. Rasa-rasanya benar kalau musuh terbesar kita adalah diri sendiri. Aku tidak tahu apakah lambat laun aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku tersebut atau tidak. Yang jelas ada sejumlah target yang harus kupenuhi dalam waktu dekat. Dan aku masih mempertanyakan eksistensiku di dunia ini, "Sebenarnya apakah manfaatku hidup di dunia ini?"


Buat kalian yang merasakan hal yang sama atau punya saran atas semua pertanyaanku tersebut, boleh banget kalau komentar di bawah ya 😉 Sangat diapresiasi! Thanks in advance.

Comments