Europe Winter Trip: Level Up Project III, Exploring Ljubljana, Ended Up in Milan

Preseren Square, Ljubljana, Slovenia
Terakhir sebelum tiba di Ljubljana, aku sudah cerita bahwa aku melakukan kebodohan besar dan tentunya membuatku rugi cukup banyak. Alkisah, aku ketinggalan bus dari Salzburg ke Ljubljana pukul 14.25 sore karena aku menunggu di halte bus yang salah. Harusnya -dan bila aku rasional- aku akan tinggal di Salzburg saja sampai pukul satu malam dengan membeli tiket bus Salzburg -Ljubljana. Aku bisa saja kembali ke hostel dan menunggu di lobby hingga agak malam baru pergi ke stasiun. Aku juga harusnya masih punya waktu untuk naik ke Untersberg. Faktanya, aku tidak rasional. Sungguh ironi karena aku sendiri mempelajari ilmu perilaku agar tidak berperilaku irasional.

Daripada memilih opsi pertama yang hanya akan merugikanku EUR 14 lagi, aku malah mengambil opsi yang membuatku rugi lebih banyak. Aku membeli tiket bus dari Salzburg ke Graz (sebuah kota kecil di Austria) seharga EUR 14 dan membeli lagi tiket dari Graz ke Ljubljana yang jam berangkatnya sama dengan Salzburg – Ljubljana seharga EUR 21. Instead of losing another EUR 14, I lost EUR 35 and I just realized thatafterwards. Inilah yang disebut sebagai fenomena Loss Aversion teman-teman, ketika seseorang mengalami Loss Aversion maka domain risk taker for loss akan dieksploitasi sehingga kerugian sebesar apapun tidak diacuhkan sementara keuntungan sekecil apapun akan membuat kerugian tersebut makin terasa.

Long story short, aku ‘bermalam’ di Graz alias in the middle of nowhere. Saat itu pikiranku hanya satu, tinggal di McDonald’s stasiun sampai tokonya tutup. Aku memang benar-benar melakukan itu, menunggu bus jam 1 datang di McDonald’s sampai pukul 11 malam. Begitu McDonald’s-nya tutup, aku bingung harus menunggu dimana. Akhirnya aku ke tempat duduk di dalam stasiun karena hangat tapi hal tersebut tidak bertahan lama. Pukul 12 malam, polisi stasiun ‘mengusir’ kami secara halus dan bilang bahwa stasiun akan ditutup. Jadi aku dan sejumlah penumpang lain terpaksa keluar. Itu artinya aku harus menunggu satu jam lagi di luar ruangan, sementara saat itu sedang dingin-dinginnya ditambah lagi hujan gerimis. Lengkap sudah penderitaan.

Begitu aku keluar, aku langsung ke halte bus agar terhindar dari hujan. Aku menunggu lama sekali dan berharap ada satu atau dua orang yang lewat dan menunggu di halte bus yang sama denganku. Saat itu hanya ada seorang pria lain yang menunggu di halte bus yang berbeda. Saat aku bertanya padanya, dia menolak untuk bicara denganku dan bilang kalau dia tidak bisa berbahasa Inggris. Oke, Pak.

Satu menit, dua menit, setengah jam. Akhirnya ada seorang pria muda yang duduk di sampingku di halte bus tempatku menunggu. Aku bertanya padanya apakah dia mau naik Flixbus? Dan dia jawab iya tapi jurusannya berbeda. Dia hendak pergi ke Zagreb sementara aku ke Ljubljana dengan tujuan bus Venice Tronchetto. Berbicara dengan pria itu setidaknya membuatku lega karena aku percaya dia bukanlah tipikal pria yang mau berbuat jahat. Saat itu, aku terus-terusan berpikir bagaimana kalau tiba-tiba ada orang yang menculikku lalu aku dimutilasi seperti di film-film slasher yang sering aku tonton? Seketika aku ingat adegan seorang pria hitam yang diculik di Get Out.

Malangnya, bus pria tersebut datang duluan sementara busku baru menyusul sekitar dua pulu menit setelahnya. Selama dua puluh menit ditinggal pria itu, lagi-lagi aku terkena anxiety. Selama itu aku pun berpikir, “Mengapa aku tidak pernah mengambil jalan yang mudah untuk diriku sendiri? Coba tadi aku stay di Salzburg saja, mungkin aku masih bisa ngopi-ngopi cantik di stasiun dekat Hostel?”

Beruntungnya, busku datang dan aku bisa sampai Ljubljana tepat waktu pada jam 4 pagi waktu setempat. Begitu sampai Ljubljana dengan selamat, aku masih dilanda anxiety. Yang pertama, aku sampai pagi buta dan kondisi jalanan sepi sekali. Lagi-lagi aku jadi teringat trailer film Hostel yang menceritakan penculikan turis di Eropa Timur dan dimutilasi. Aku juga ingat video kejam di internet, 3 guys 1 hammer yang settingnya juga di sekitar Eropa Timur. Rupanya kebanyakan nonton film slasher tidak lantas membuatku jadi pemberani menghadapi pembunuh-pembunuh seperti itu. Yang kedua, aku khawatir apabila resepsionis hostel tempatku menginap menolakku check-in di pagi buta. Lalu aku tidur dimana?


Aku harus berterima kasih pada Tuhan karena kekhawatiran itu tidak ada yang terjadi dan aku masih utuh, selamat sentausa hingga saat ini. Hostel tempatku menginap di Ljubljana sangatlah baik dan terus terang aku memberikan apresiasi terhadap usaha mereka itu. Meski aku datang telat dan resepsionis mereka sudah tutup, mereka meninggalkan kunci kamarku di sebuah amplop yang ditempelkan di jendela. Jadi meski aku datang, aku masih bisa masuk kamar dan istirahat lalu baru melakukan check-in keesokan harinya. Sangat menyenangkan. Berbeda dengan sejumlah hostel atau hotel yang aku singgahi yang meminta pembayaran di depan. Berkat amplop tersebut, aku jadi bisa tidur dan istirahat sekitar 5 jam untuk memulihkan energi.

Setelah cukup istirahat, aku memulai petualanganku di Ljubljana dengan lancar. Yah sebenarnya tidak bisa dibilang terlalu lancar. Karena rencana awalku adalah mengeksplor Ljubljana di hari sebelumnya lalu di hari berikutnya aku pergi ke Bled dan Danau Bohinj atau ke Piran. Namun karena kebodohan yang kulakukan di Salzburg, aku hanya bisa mengeksplor Ljubljana saja yakni melaksanakan itinerary Level Up Project III.

Seperti di Salzburg kemarin, aku pergi ke Ljubljana karena sebenarnya terinspirasi dari itinerary Red Velvet di Level Up Project III (variety show mereka). Di Salzburg aku hampir memenuhi itinerary Wendy dan Seulgi, di Ljubljana mungkin aku akan melewatkan Bled, Bohinj, dan Piran jadi aku hanya akan berjalan-jalan di sekitaran kota saja.

Itinerary pertama dimulai dengan berjalan melewati Dragon Bridge dan menuju market. Hostelku memang dekat sekali dengan Dragon Bridge, jembatan ikonik Ljubljana. Setelah itu aku melanjutkan jalan menyusuri sungai dan menemukan market. Market ini sepertinya juga merupakan tempat pertama yang disambangi oleh Red Velvet. Dalam LUP III, mereka main games yang dilakukan berkelompok yakni mengumpulkan makanan yang disyaratkan oleh PD. Sekalian aku juga ingin membuktikan milk vending machine yang sempat digunakan oleh Irene dan Wendy, untuk itu aku sudah menyiapkan tumbler 1 liter di tas. Benar saja, ketika aku jalan-jalan di market aku menemukan vending machine itu dan langsung mencobanya.

Hanya butuh EUR 1 untuk mengisi tumbler 1 liter-ku itu dengan penuh, sangat murah! Apalagi susunya memang segar banget! Udara dingin Ljubljana hari itu cukup membantu untuk membuat susu yang kuambil tetap segar tanpa perlu dimasukkan kulkas. Meski aku sering membuka tutup botol, susunya masih tetap bagus dan layak minum hingga sore hari. Usai mengambil susu di milk vending machine tersebut, aku berkeliling market dan mencari-cari kira-kira penjual mana saja yang sempat muncul di Level Up Project III. Terus kenapa? Toh aku juga tidak akan melakukan wawancara atau bagaimana gitu.

Gembok Red Velvet yang digantungkan di jembatan Slovenia saat LUP III
Milk Vending Machine
Restoran Jepang tempat Seulgi dan Yeri makan ramen
Setelah menemukan sejumlah spot yang muncul di Level Up Project III, aku melanjutkan jalan dengan cara melewati sejumlah restoran hingga sampai di Triple Bridge dan Preseren Square. In fact, Preseren Square engga se-picturesque seperti yang terdapat di variety show. Mungkin karena cuaca pagi itu Ljubljana agak mendung sih sehingga lighting pun kurang membuat Preseren Square terlihat lebih indah. Aku terus berjalan hingga melewati sejumlah jembatan yang muncul di LUP dan kembali ke market. Rupanya tidak butuh waktu lama untuk berputar-putar di sekitaran Ljubljana. Dengan mudah aku bisa menemukan hampir semua tempat yang dikunjungi oleh Red Velvet.

Terus terang aku sebenarnya cukup puas dengan Ljubljana dan merasa bahwa kalau misalnya aku tidak melakukan kesalahan di hari sebelumnya, aku pasti akan lebih bahagia. Ljubljana cukup underrated padahal kalau dilihat aerial viewnya juga hampir sama indahnya dengan Salzburg, apalagi hostel di sana sangat murah kan? Orangnya juga cukup ramah-ramah. Ljubljana jauh dari kesan tidak aman di mataku.

Saat aku membeli deep fried calamari di food truck dekat market, penjualnya sangat ramah kok. Apalagi pasangan penjual seafood itu sempat berpose saat aku memotret food truck mereka. Food truck ini merupakan salah satu stall yang dikunjungi Red Velvet dalam LUP. Resepsionis tempatku menginap juga sangat ramah, begitu juga Mbak-Mbak penjaga toko buku tempatku membeli souvenir magnet Ljubljana. Overall aku betah sih. Dan sesungguhnya aku benar-benar ingin pergi ke Bled atau Bohinj, semua ini terjadi karena kesalahanku sendiri. Suka kesal dengan diri sendiri.

Di Ljubljana, sebelum naik Funicular train ke Ljublanski Grad aku berada di barisan tur group orang Korea. Untuk kali pertama aku merasa sangat sebal pada orang-orang Korea. Tur grup tersebut agak seenaknya sendiri, berbeda dengan Oppa yang kutemui di Museum der Moderne Salzburg. Ada dua anak gadis Korea yang mukanya sebenarnya nggak cantik-cantik amat tapi malah membicarakan diriku, mungkin mereka kira aku nggak bisa Bahasa Korea? Intinya mereka berbisik-bisik mengenai aku yang bersenandung lagunya Red Velvet, mereka menilai seperti aku tak pantas untuk menyanyikan lagu tersebut. Saat dua anak gadis itu ditinggal oleh rombongannya, keduanya jadi agak menciut begitu. Waktu kebarengan turun dari kastil pun, mereka menyerobot masuk ke dalam lift. Sangat tidak berperikemanusiaan.

Ada Oppa-Oppa juga, dia terdengar sopan pada orangtua tapi tidak pada non-Korean. Aku mempersilakan para orangtua di grup tur Korea tersebut masuk duluan ke dalam lift namun ketika akum au menyusul masuk eh malah diserobot Oppa-Oppa itu. Serius aku kesal sih. Sementara bila aku melakukan hal yang serupa pada orang Kaukasian, justru mereka juga mempersilakan aku masuk. Kebetulan banget sih grup tur Korea yang kutemui itu menyebalkan.

Ljubljanski Grad
Sementara itu di hostel, ada tiga orang Jerman dan dua orang Italia. Aku pulang dulu ke hostel sebelum matahari terbenam dan menghangatkan diri. Tubuhku sudah tidak tahan atas dinginnya Ljubljana setelah turun dari Ljubljanski Grad. Aku sempat berbincang dengan si pria Jerman tapi aku tidak menggunakan Bahasa Jerman. Malamnya, aku baru mendengarkan si pria ini ngobrol dengan dua orang gadis Jerman dalam Bahasa mereka. Aku sebenarnya bersiap untuk tidur tapi mereka malah main UNO. Sebenarnya aku ingin ikut serta tapi aku sudah terlalu malas jadi aku mendengarkan percakapan mereka saja.

Saat itu aku menyadari bahwa aku menguping secara tidak langsung karena aku memahami Bahasa mereka. Sempat muncul hasrat di hati untuk bergabung dan ngobrol dalam Bahasa Jerman tapi aku mengingatkan diriku untuk tidur cepat karena harus bangun pagi keesokan harinya. Intinya si pria Jerman ini sempat bercerita bahwa dirinya bisa sekitar empat Bahasa yakni Inggris, Jerman, Italia, dan Spanyol. Lalu ada suatu waktu ketika orang-orang Jerman ini bilang ‘UNO’ berkali-kali padahal kan peraturannya (kalau di lingkunganku) ‘UNO’ hanya boleh diucapkan sekali saja. Aku ingin bilang peraturan itu pada mereka dalam Bahasa Jerman tapi kuurungkan, kupikir masa bodoh saja lah.

Mungkin aku memang melewatkan kesempatan untuk memperlancar kemampuan Bahasa Jermanku tapi aku memang punya prioritas lain untuk dilakukan. Toh, aku sudah sempat melatih Bahasa Jermanku di Austria dan Jerman langsung kan?

Esoknya, aku bangun pagi-pagi sekali untuk mengejar bus ke Milan. Sempat terpikir untuk mengganti jadwal ke keberangkatan jam 9 pagi tapi saat aku mengecek aplikasi Flixbus, harganya naik berkali-kali lipat. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku memaksakan diri untuk bangun, mandi, packing, dan berangkat ke halte bus pagi-pagi. Ditambah lagi aku sudah tidak mau terkena Loss Aversion lagi, aku sudah cukup banyak merugi sehingga aku tidak mau merugi untuk kesekian kalinya.

Pergi ke Milan sebenarnya kulakukan dengan setengah hati. Saat itu aku hanya ingin tinggal di Ljubljana lebih lama dan pergi ke Piran tapi aku sudah terlanjur memesan hostel di Milan dan juga tiket bus ke Milan. Apalagi aku memilih penerbangan kembali ke London juga dari Milan, dengan segala keterpaksaan tersebut aku pergi saja ke Milan. Lalu benar saja, Milan tidak seindah yang kukira.

Bus yang aku tumpangi sempat mengalami delay sehingga aku baru sampai di Milan ketika matahari sudah terbenam. Begitu sampai di stasiun, aku tiba di peak hour sehingga stasiun overcrowd. Apalagi mesin tiket Milan masih manual dan tidak efisien, jumlahnya tidak banyak pula sehingga waktuku makin terulur. Padahal rencanaku, kalau sampai di Milan tepat waktu aku masih punya waktu jalan-jalan sore. Stasiun Lampugnano langsung membuat energiku terkuras habis, kumuh, bau pesing, overcrowded, dan aku harus menunggu sekitar 21 menit atau tiga kali kereta lewat agar bisa masuk ke dalam kereta. Begitu sampai hostel, aku langsung masuk kamar, ganti baju, dan chill. Sangat introvert sekali.

Keesokan harinya, aku bangun agak siang karena memang sudah tidak punya niat untuk jalan-jalan keliling Milan. Milan se-tidak menarik itu memang, sehingga aku menyesal mengapa aku tidak tinggal saja di Venezia lalu baru ambil bus ke bandara Bergamo, Milan? Memang sih kalau tidak melakukan kesalahan, aku tidak akan belajar. Saat ini aku benar-benar menyesali keputusanku tidak transit di Venezia atau tinggal lebih lama di Ljubljana.

Aku putuskan untuk pergi ke San Siro setelah sarapan. Mas Samuel sempat berkata padaku bahwa San Siro itu jelek, untuk standar stadion internasional dia levelnya mirip dengan Gelora Delta Sidoarjo yang mana itu nggak banget kan? Aku tidak percaya, maksudku itu klub sekelas Inter Milan dan AC Milan gitu lho. Masa sih stadionnya jelek? Aku buktikan saja. Dan ya memang benar se-mengecewakan itu. Aku rugi waktu pergi ke San Siro saat itu.

Mengingat aku sudah mendedikasikan waktu untuk jauh-jauh ke San Siro, aku menelepon temanku saja. Siapa tahu dia ingin membeli sesuatu untuk suaminya yang merupakan penggemar Inter Milan. Alih-alih mengambil foto stadion seperti yang kulakukan biasanya, aku memilih langsung masuk ke Milan Store dan belanja. Sebelum masuk ke Milan Store, ada petugas keamanan yang menyapaku ramah dan sempat mengajakku ngobrol menggunakan Bahasa Indonesia. Untuk ukuran bule sepertinya, Bahasa Indonesianya lumayan lancar dan bagus. Aku terkejut!

Usai belanja titipan teman, aku merasa sudah cukup berada di San Siro-nya lalu aku memutuskan untuk kembali ke pusat kota dan menuju Katedral Duomo. Mungkin satu-satunya landmark Milan yang pantas disebut indah hanyalah Katedral Duomo, setelah itu tidak ada lagi. Ya Milan memang tidak punya apa-apa lagi. Sudah, itu saja. Bahkan Madrid saja masih lebih mending daripada Milan. Milan itu ibaratnya seperti Surabaya versi Eropa saja, mana Surabayanya yang bagian kumuh lagi bukan yang bagian Surabaya Kota.

Ada satu cerita unik lagi dan untungnya aku tidak melakukan kesalahan yang sama. Jadi waktu aku kembali ke pusat kota, di tram yang kunaiki ada petugas ATM (transportnya Milan) masuk dan melakukan pengecekan. Untung aku sudah beli tiket! Sejujurnya aku tidak tahu bagaimana sistem ticketing di Milan karena aku hanya membeli tiket seharga EUR 1,5 dan sepertinya hanya valid untuk 90 menit saja atau satu kali perjalanan saja. Saat dimintai tiket, aku berikan tiket tersebut. Aku sempat deg-degan kalau tiket itu sudah tidak valid lagi dan aku harus membayar denda lagi. Untungnya kekhawatiran itu tidak terjadi, tiketku masih valid dan aku aman. Kan lucu banget kalau sampai aku kena denda lagi? Apalagi setelah aku menelepon temanku dan menceritakan kebodohanku akibat tidak beli tiket kereta di Jerman itu.

Jadi yah, untungnya selama di Milan aku tidak melakukan kebodohan. Wait what? Sebenarnya aku masih melakukan kebodohan satu kali lagi kok dan lagi-lagi buang-buang uang padahal sudah miskin. Kesel nggak?

Ceritanya, malamnya begitu aku sampai di hostel aku sudah memesan tiket bus ke bandara Bergamo yang ditempuh sekitar satu jam dari stasiun central Milan. Aku sudah siap dan PD nih karena tiket sudah di tangan. Begitu aku cabut dari hostel menuju stasiun central Milan, aku mengecek ulang tiket tersebut. Sudah kuduga, hidupku tidak akan berjalan lancar semudah itu Ferguso. Tiket tersebut menunjukkan arah sebaliknya, dari bandara Bergamo ke Stasiun Central Milan bukan Stasiun Central Milan ke Bandara Bergamo. Sebel kan?

Ditambah lagi, baterai hapeku habis dan power bank-ku pun kehabisan daya juga. Ya oke lengkap.
Daripada mengambil risiko lebih banyak lagi, aku memutuskan untuk langsung pergi ke Stasiun Central Milan saja dan beli tiket dari sana. Siapa tahu ada loket tiket bus seperti yang kutemui di Marseille kan? Begitu sampai memang benar ada tapi tiketnya dijual di stand-stand kecil yang sangat tidak berkelas atau di toko kelontong stasiun. Untung tiketnya harganya murah jadi aku maafkan.
Tiket bus sudah di tangan, aku sudah berangkat tepat waktu sebelum check-in. Nothing wrong will happen right?

To be frank, setelah kebodohan terakhir masalah tiket bus tersebut aku sangat bersyukur tidak ada lagi kebodohan yang kulakukan. Semua berjalan lancar hingga aku tidur di Airbnb yang sangat amazing di Takeley begitu aku sampai Stansted malam harinya dan aku juga bertemu dengan petugas UK Border yang sangat ramah. Aku bahagia!

Ljubljana from Triple Bridge
Dari 10 hari perjalananku ke 6 negara dan 6 kota, terus terang aku lebih bahagia dan puas daripada perjalanan Europe Tripku summer lalu. Hampir semua kota yang aku kunjungi membuatku betah dan sejenak melupakan London (kecuali Milan). Aku paling cinta dengan Salzburg dan aku sangat merekomendasikan kalian untuk berkunjung ke Salzburg suatu hari nanti. Salzburg tidak semahal itu kok, padahal gosipnya Austria merupakan negara mahal. Salzburg masih affordable kok. Landscape-nya juga super cantik, orang-orangnya tidak jahat, udaranya sangat segar, dan banyak sekali attraction yang bisa di-eksplor. Selanjutnya adalah Brussels yang sangat nyaman hampir menyamai London lalu ada Mรผnchen yang ramah bagi orang asing dan punya tata kota yang lebih cantik dibandingkan Berlin. Terakhir ada Ljubljana yang underrated dan Luxembourg yang meskipun kecil tapi indah dan nyaman banget. Milan coret saja dari daftar dan gantikan saja dengan Venice.

Akhir kata sekali lagi aku bersyukur bisa menyelesaikan Winter Trip kali ini dengan perasaan bahagia dan puas, meminimalisir kebodohan (tapi memperbanyak kerugian), lalu bisa sampai di London dengan selamat sentausa tanpa kekurangan suatu apapun. Akan pergi kemanakah aku setelah ini? Tunggu saja ceritanya di blog ini yaa!

Salam dari Stansted Airport, London. 12:56 GMT, di pojokan Nero.

Comments