Europe Winter Trip: Tur Digidigidip KW Super


Beberapa bulan yang lalu, aku menonton variety show Korea yang kebetulan bintang tamunya adalah Red Velvet, lebih tepatnya Wendy dan Seulgi. Nah pada variety tersebut, Wendy dan Seulgi mendapatkan kesempatan untuk mengulas liburan ke sebuah negara di Eropa yakni Austria. Wendy dan Seulgi pergi ke dua kota yakni Wina dan Salzburg, berawal dari situ aku mendapatkan ide untuk berkunjung ke Austria. Awalnya hanyalah rencana tapi ternyata diwujudkan juga.

Di hari keenam Winter Trip ini, aku memutuskan untuk berkunjung ke Salzburg. Satu, karena tergoda oleh ulasan Wendy dan Seulgi. Dua, karena setelah googling Salzburg emang cantik dan aku ingin membuktikan hal tersebut. Tadinya aku sempat mau nekad mengambil bus malam menuju ke destinasi selanjutnya yakni Ljubljana. Tapi kalau dipikir-pikir rasanya capek juga, jadi aku memilih untuk menginap satu malam saja di Salzburg. Sekalian recharge energi gitu.

Aku berangkat dari MΓΌnchen dengan bus jam 8 pagi, itupun tadi hampir telat. Aku bangun jam 6 pagi, mandi, dan packing ulang barang-barang. Selesai packing jam 7.15 dan berangkat dari rumah. Berbeda dengan rute hari pertama, kali ini setelah naik U3 dari Olympiazentrum aku lanjut naik S-Bahn dari Marienplatz. Aku sampai tepat waktu sih, nggak sampai jam 8 lewat tapi tetap saja aku pakai bingung soal jalan segala sehingga boarding sebelum naik bus tetep mepet juga. Beruntung aku akhirnya tetap bisa lanjut ke Salzburg dengan selamat sentausa. 

Begitu sampai Salzburg, aku langsung menuju hotel untuk meletakkan tas. Bila tidak begitu pastilah punggungku ini pegal-pegal Saudara. Usai meletakkan tas, aku langsung cuss menuju destinasi pertama yakni Mirabell Palace. Wendy dan Seulgi pun berkunjung pada bangunan lawas yang memiliki taman ini. Konon Mirabell Palace terkenal karena pernah menjadi tempat syuting film The Sound of Music dan Salzburg pun terkenal karena film tersebut. Mirabell Palace menjadi latar bagi anak-anak keluarga von Trapp diajarkan bernyanyi Do Re Mi. Masih ingat kan lagunya? Itu lho yang "Doe, a deer a female deer, Ray a drop of golden sun. Me a name I call myself, far a long long way to run! Sew a needle pulling thread, La a note to follow sew. Tea, a drink with jam and bread. That will bring us back to doe!" (pasti kalian langsung nyanyi dalam hati). Sayangnya dalam menemukan Mirabell Palace ini pun aku sempat tersesat, ya kok bisa-bisanya tersesat.

Padahal dari hostel aku hanya perlu jalan lurus kurang lebih 20 menit saja dan Mirabell Palace dekat dengan Zentrum (city center). Aku sempat terkecoh karena keberadaan Christmas Market yang hampir menutupi pintu masuk Mirabell Palace. Sempat putus asa, akhirnya aku memilih untuk makan saja dulu, apalagi waktu itu sedang lapar kan? Ya sudah aku mampir ke sebuah restoran Jepang dekat Mirabell Palace. Setelah mengenyangkan diri aku jalan lagi dan benar-benar memperhatikan GPS. Huwala akhirnya ketemu juga!

Lagi-lagi aku salah memilih musim sehingga ketika aku sampai di Mirabell Palace, aku merasa agak kecewa. Seperti yang bisa diduga, tanaman di Mirabell Palace hampir layu semua dan bunga-bunganya tidak seindah ketika musim semi atau panas tiba. Meski demikian aku cukup puas karena berhasil menemukan destinasi tur Digidigidip pertama, sebuah pencapaian meski sempat kesasar-sasar. Dari Mirabell Palace, aku mengikuti jalan saja karena ternyata landmark Salzburg satu sama lain tidak begitu berjauhan. Aku keluar dari Mirabell Palace tidak melalui gerbang yang sama namun mengikuti jalur taman ke arah Selatan. Dari situ, di seberang jalan terdapat rumahnya Mozart (Mozart Wohnhaus).

Di Salzburg atau lebih tepatnya di luar London (UK), sepertinya kebanyakan museum menarik admission fee. Lalu karena aku juga tidak terlalu ngefans sama Mozart jadi aku memutuskan untuk memotret rumahnya dari luar saja alias tidak masuk ke dalam rumahnya. Setelah melihat Mozart Wohnhaus di seberang jalan, aku belok kanan dan mengikuti jalan lagi ternyata ada jembatan yang indah banget. Jembatan tersebut sedikit mainstream karena juga digantungi gembok-gembok cinta seperti yang sudah kutemui di Paris.

Mirabell Palace
Setelah menyeberang jembatan yang kebetulan lanskapnya juga sangat indah itu, aku harusnya menuju ke Grain Lane atau Getreidgassestraße tapi aku malah berjalan di trotoar jalan raya karena mengejar waktu ke Leopoldskron Place. Lagi-lagi aku tersesat dan memutuskan untuk memutar balik mengikuti orang Malaysia yang kebetulan bertemu aku sesaat sebelum menyeberang jalan. Orang Malaysia tersebut terdiri dari satu keluarga yakni Bapak, Ibu, dan dua orang anak laki-laki. Kami sempat bertukar pandang dan aku memilih untuk diam saja hingga beliau menyapaku, "Dek, Adek." berkali-kali. Lalu beliau bicara, "Sendiri saja?" Tahu logatnya logat Malaysia aku langsung menjawab dengan logat Malaysia juga (thanks Shaheera, Aisha, Marhainee, Amir, dan kawan-kawan Malaysia lainnya). "Iye, sendirian saje," jawabku. "Berani juga adek? Dari mana? Malaysia?" Aku menggeleng lalu menjawab bahwa aku dari Indonesia. Aku bertanya pada beliau, "Pakcik nak kemana?" Dia bilang ingin pergi ke Pitbull atau entahlah aku tak terlalu dengar. Awalnya tujuan kami berbeda sehingga kami berpisah, pada akhirnya aku mengikuti arah yang dituju Pakcik tersebut.

Mungkin jaraknya hanya berbeda beberapa menit tapi aku tidak menemukan Pakcik itu lagi. Aku malah berada di area Mozartplace tanpa kuduga-duga, intinya aku ngikutin jalan aja sih waktu itu. Kebetulan juga di areal Mozartplace dan UniversitΓ€tplatz terdapat Wienachtsmarket lagi sehingga aku muter-muter saja di situ sambil memutuskan jadi tidak ke Leopoldskron Place. Lepas mengambil cukup banyak foto, gerimis semakin deras sehingga aku memutuskan untuk berteduh. Beberapa menit setelah itu gerimis mereda dan aku melanjutkan jalan. Tak disangka, tak dinyana! Aku menemukan sebuah kafe yang menjual Salzburger Knorckeln! Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk ke dalam kafe tersebut dan berkata, "Ich mochte ein Salzburger Knorckeln bitte!" disahut oleh sang waitress yang bilang, "Wow pilihan bagus! Salzburger Knorckeln terbaik di sini!"

Makan Salzburger Knorckeln juga merupakan salah satu itinerary yang terinspirasi dari tur Digidigidip. Dalam variety show, Wendy dan Seulgi menjelaskan bahwa Salzburger Knorckeln merupakan kue tradisional Austria yang terbuat dari meringue yang dipanggang dan disajikan dengan saus raspberry. Saat itu sih Wendy dan Seulgi makan sachertorte juga tapi aku tidak memakan sachertorte karena pasti kebanyakan, orang Salzburger Knorckeln aja udah segede itu! Aku hanya memesan Salzburger Knorckeln dan hot chocolate, sekalian nunggu hujan reda pikirku. Berhubung kue yang aku pesan dimasak fresh from the oven, aku harus menunggu sekitar 20 menit. Saat itu aku berpikir, "Rasanya nggak akan cukup waktu deh kalau ke Leopoldskron Palace. Lagipula aku juga nggak terlalu into The Sound of Music sih," akhirnya Leopoldskron Palace aku coret dari itinerary.

Aku mengecek maps sembari menunggu Salzburger Knorckeln-ku siap. Ada Hohenfestung dan Museum der Moderne Salzburg yang masuk ke dalam itineraryku. Keduanya sama-sama berada di tempat yang tinggi dan menyajikan Salzburg's aerial view. Aku harus memilih salah satu dan meninggalkan satu lagi untuk kukunjungi keesokan harinya. Pilihanku jatuh pada Museum der Moderne. Setelah itu baru aku mencari jalan untuk menuju ke Museum der Moderne yang ternyata tak cukup jauh dari kafe tempatku makan Salzburger Knorckeln. Sekalian lewat Getreidgasse lah pikirku karena seingatku Seulgi dan Wendy melalui Getreidgasse dulu sebelum ke Museum der Moderne.

Begitu Salburger Knorckeln-ku datang, aku sempat takjub dan ragu. Apakah aku mampu menghabiskannya sendirian? Apalagi aku sudah makan siang kan. Aku takut kekenyangan dan malas jalan tapi ternyata habis juga. Memang sih dari segi penampilan, Salzburger Knorckeln ini sangat besar dan kelihatan mengenyangkan. Faktanya karena berbahan dasar meringue, kue ini tidak terlalu mengenyangkan kok. Benar kata Seulgi juga, kue ini disajikan dengan raspberry untuk mengurangi rasa manis dan eneg dari adonan meringue itu sendiri. Raspberry yang sour dapat mengimbangi adonan meringue itu. Pilihanku tidak salah untuk memakan Salzburger Knorckeln dan aku bahagia karena berhasil mewujudkan dua itineraryku sekaligus!

Salzburger Knorckeln
Sudah kenyang makan Salzburger Knorckeln, aku melanjutkan perjalanan menuju Getreidgasse dan Museum der Moderne. Aku melalui Mozartplatz sekali lagi dan melewati christmas market sekali lagi, lalu aku tinggal lurus saja mengikuti jalan. Lalu tiba-tiba aku menemukan Mozart's birthplace yang tadinya tidak aku temukan! Ajaib! Lalu aku jalan lagi terus hingga menemukan junction dan belok kanan lagi. Tak jauh dari situ akhirnya aku menemukan Getreidgasse dan Museum der Moderne. Wah aku bahagia aku tidak tersesat lagi tapi malah menemukan tempat-tempat tidak terduga 😭

Selain menemukan tempat tak terduga, aku juga mengalami kejadian tak terduga dan terus terang agak menyebalkan sih. Ketika aku berbalik arah dari Getreidgasse menuju Museum der Moderne, seorang sales toko kecantikan tiba-tiba menyapaku. Waktu itu aku cuma senyum saja terus ngacir tapi dia malah bilang Assalamualaikum dan sok kenal sok dekat gitu. Aku sudah sempat menolak untuk diajak masuk ke tokonya tapi dia bilang tidak mengapa jadi aku ikuti saja, siapa tahu dapat treatment gratis kan?

Salesman berkebangsaan Turki tersebut nyerocos terus dan menanyaiku macam-macam. Dia juga humblebrag soal dirinya sudah hidup di Austria 5 tahun, di Jerman 9 tahun, dan lain-lain. Awalnya dia memperkenalkan produknya saja tapi aku langsung tidak tertarik, aku ingin beranjak dari tokonya tapi dia menahanku. Dalam hati aku berkata, "Sial! Aku terjebak." Akhirnya aku ikuti saja mau dia apa. Dia mengoles-oleskan masker ke wajahku, melakukan demo pembersihan wajah, memberikan serum dan lain-lain. Kalau di Indonesia, demo seperti itu sudah biasa dan no hard feeling bila pembeli nggak tertarik kan? Nah, sebagai sopan santun aku sok-sok memuji produknya "Wah keren ya?" gitu. Ternyata ujung-ujungnya aku disuruh beli masker seharga EUR 600 itu dong? Langsung aku tolak mentah-mentah. "So sorry, I don't have money." Yang paling menyebalkan, sales itu ngotot banget! Sampai dia menggratiskan serum dan bilang aku hanya perlu beli maskernya saja seharga EUR 300. Nah di sini ketahuan kan belangnya dia, harganya maskernya sebenarnya tidak semahal itu kan? Aku tetap bersikukuh menolak karena aku memang tidak ada duit. Ya kali buat jalan-jalan aja ngepres Mas :(

Namun dia terus menahanku di tokonya. Dia bilang dia yang punya toko itu lah, yang bilang bahwa untuk ukuran masker yang tahan setahun itu nggak seberapa lah, yang begini lah begitu lah. Frustasi, aku bilang padanya, "Udah deh kasih aku business card kamu aja." Agak berat hati dia masih berusaha merayuku untuk beli. Aku sampai bilang, "I know that you are a good person and thanks for being kind to me but honestly I don't have money. Really!" Lalu dia bilang, "I feel like I'm stupid to let you go without buying anything." akhirnya aku jawab, "Well you went to wrong person, I'm broke!" dan aku pergi dari tokonya tanpa menoleh ke belakang lagi, males banget kan? Udah biarin deh kecewa ya kecewa aja wong orang miskin ditawarin masker yang harganya nggak masuk akal.

Keluar dari toko itu, aku menertawakan orang itu. Kok ya bisa-bisanya dia mengira aku orang kaya yang bisa dibodohi? Aku ini travelling on budget Mas. Kamu salah sasaran.

Getreidgasse, Salzburg
Lepas dari jeratan mulut manis si sales Turki itu, aku melanjutkan perjalananku yang sempat tersendat ke Museum der Moderne. Agak sebal juga sih sebenarnya karena aku ditahan cukup lama di toko sales Turki itu. Meskipun begitu, aku tetap sampai tepat waktu. Aku masuk ke dalam Museum dengan membeli tiket seharga EUR 8. Aku lupa kalau aku punya kode Booking.com yang harusnya membuatku hanya perlu membayar sebesar EUR 6 saja untuk masuk ke dalam Museum. Aku malah baru ingat punya kupon tersebut ketika sudah kembali ke hostel.

Museum der Moderne ini konsepnya mirip dengan TATE, punya tower dengan aerial view dan memasang ekshibisi contemporary art. Bedanya TATE gratis! Seketika itu aku langsung rindu pada London dan semua museum gratisan mereka. Bahkan untuk kategori contemporary art, aku lebih suka ekshibisi yang dipajang di TATE daripada di museum Salzburg ini. Entah mengapa karyanya tidak terlalu membuatku tertarik untuk memperhatikan lebih lanjut padahal ada Konkoska atau entah siapalah itu. Sejujurnya aku mengunjungi museum ini hanya untuk melihat Salzburg di senja hari dari ketinggian saja. Cuma sayang aja kan bayar EUR 8 kalau nggak sekalian keliling melihat ekshibisinya?

Setelah cukup lama melihat-lihat instalasi seni, aku memutuskan untuk keluar ke panoramic terrace. Aku terbilang niat banget karena benar-benar berkeliling ke tiga lantai ekshibisi agar tidak merasa rugi karena sudah bayar admission ticket. Well, ternyata semua kejadian yang kualami dan waktu memang didesain dengan pas oleh Tuhan. Sebab begitu aku meluncur ke panoramic terrace, langit semburat ungu, biru, dan jingga or you can say it as candy sky. Warnanya cantik banget sehingga aku gatal untuk memotret lanskap Salzburg dari atas Museum tersebut. Aku menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mengagumi keindahan Salzburg dari atas ketinggian sore itu. Terima kasih Wendy dan Seulgi yang sudah mengenalkanku pada Museum der Moderne, kalian sungguh berjasa!

Aku berada di atas panoramic terrace tersebut cukup lama dan melihat-lihat sekian orang yang berlalu lalang, siapa tahu ada yang bisa dimintai tolong untuk ngefotoin kan? Ketika senja mulai bergulir menjadi malam, aku terpaku pada sesosok pria Asia Timur yang berada di depan balkon restoran Museum der Moderne. Karena dia juga sendirian, aku datang mendekatinya.

"Sorry, can you take my picture please?" dan pria tersebut mengiyakan. Lalu dia mengambil dua fotoku dari belakang tapi hasilnya ngeblur semua :(

Karena penasaran, aku bertanya padanya. "Are you Chinese, Japanese, or Korean?" lalu dia menjawab, "Korean." Spontan aku langsung membungkuk dan bilang "Annyeong Haseyo, Kamsahamnida."

Otomatis mulutku juga bilang, "Joneun hangukeo ceokkum~" maksudku adalah "Aku bisa berbahasa Korea, dikit-dikit." Aku nggak ngerti bahasa Koreanya speaking. Dia langsung melongo, terkejut gitu. Akhirnya kami sempat berbincang sedikit.

Dia tanya, "Eodisseoyo? Where are you come from?" kujawab dari Indonesia. Lalu aku balik bertanya, "Dashineun Hakkyo? Ani, Haksaeng?" lalu dia jawab bahwa dia benar Mahasiswa. Aku bertanya lagi apakah dia sekolah di Austria, "Chogiyo?" lalu dia menjelaskan bahwa dia ke Austria hanya untuk liburan saja dan sebenarnya dia belajar di Yohaeng University lalu pindahan dari Seoul. Menjelang berpisah, dia bilang padaku bahwa bahasa Koreaku lumayan bagus. "Dashineun hangukeo jalhaesseoyo." Aku bilang, "Ah anieyo," lalu aku pergi dan mengucapkan "Kamsahamnida." sekali lagi. Sebelum dia pulang aku memintanya untuk mengambil fotoku sekali lagi, "Jeoseonghamnida, hanbondo." Lalu dia membantuku mengambil foto bukan sekali tapi dua kali πŸ˜‚ Foto di awal postingan ini adalah hasil karyanya.

Dan sekali lagi dia bilang bahwa bahasa Koreaku bagus lalu aku bangga. Sebab hari itu aku berbahasa Inggris, Jerman, Malaysia, dan Korea langsung hahahahahahumblebraghahahahahaha.

Salzburg aerial view from Moderne Museum
Tur Digidigidip hari pertama di Salzburg aku tutup di Museum der Moderne dan kenangan manis bertemu Oppa Korea. Well dia sebenarnya nggak seganteng itu sih. Aku hanya bangga saja karena dipuji olehnya padahal bahasa Koreaku mah apaan?!

Aku memutuskan untuk pulang ke hostel agak cepat, aku turun dari Museum der Moderne sekitar pukul setengah 5 sore dan sampai di hostel jam 6 sore. Lalu aku memutuskan untuk istirahat saja sekalian nge-laundry baju sembari menulis blog. Hasilnya adalah postingan soal MΓΌnchen ini. Meski pulang lebih cepat bukan berarti aku tidur lebih cepat, aku tetap tidur pukul 11 malam tapi setidaknya aku sudah menyimpan cukup energi untuk perjalanan di hari berikutnya yakni ke Hohen Fortress yang sengaja aku simpan di hari kedua.

Pagi-pagi, aku mengecek ulang jadwal bus hari itu. Rupanya bus yang aku tumpangi akan berangkat pukul 14.25 jadi aku punya banyak waktu untuk berkeliling Salzburg lagi. Bahkan aku bisa naik cable car ke Untersberg (bukit yang menghadap pegunungan Alpen di The Sound of Music). Aku sempat mau menambahkan Untersberg pada itinerary tapi aku masih berfokus dulu pada Hohen Fortress, kalau Hohen Fortress saja sudah cukup mengapa harus naik ke atas lagi?

Aku baru selesai packing dan sarapan pukul 9 lebih dan mulai jalan pukul setengah 10. Masih banyak waktu hingga pukul setengah tiga nanti. Karena sudah cukup hapal jalanan Salzburg akibat tersesat di hari sebelumnya, aku berjalan dalam pace yang cukup cepat dan lancar. Sebenarnya pagi itu aku sudah merasakan hal yang tidak enak. Rasanya aneh bila rencanaku berjalan terlalu lancar seperti ini, apakah aku lupa atau meninggalkan sesuatu?

Ya, aku hampir saja meninggalkan sweater Slytherin yang kujemur di heater semalam! Untungnya masih bisa terselamatkan.

Faktanya, hingga aku naik ke Hohen Fortress dan sekali lagi mengagumi keindahan aerial view Salzburg dari sisi kota dan sisi Alpennya, rencanaku masih berjalan lancar. Aku menghabiskan waktu cukup lama di Hohen Fortress dan mengambil cukup banyak foto yang indah. Aku pun bertemu dengan sejumlah orang baik yang berkenan mengambilkan fotoku. Bahkan ada orang Perancis yang sukarela mengambilkan fotoku di sisi teras benteng yang menghadap ke Alpen baik menggunakan kamera digital atau kamera polaroidku.

Setelah itu aku berputar kembali ke arah benteng yang menghadap ke kota lalu mengambil sejumlah foto lagi. Setelah puas aku baru turun dan berjalan-jalan lagi di sekitaran Mozartplatz dan Getreidgasse. Niatku untuk naik ke Untersberg kuurungkan karena aku sudah puas bisa melihat alpen dari Fortress serta naik Funicular Bahn. Lagipula kupikir waktunya juga sudah tidak cukup. Pukul setengah satu siang, aku kembali ke hotel dan mengambil tas. Pukul setengah dua siang, aku berjalan menuju halte bus tempatku datang dari MΓΌnchen di hari sebelumnya. Aku berjalan dengan riang gembira dan tanpa beban.

Aerial View from Hohen Fortress
Aku menunggu dengan sabar dan perhatian. Aku berbahagia. Sampai tiba-tiba ada seorang pria yang bertanya padaku apakah benar station kereta dekat halte bus tempatku menunggu bus ke Ljubljana itu adalah halte selatan? Kujawab, "Iya benar kok ini stasiun bus selatan. Bapak mau kemana?" Beliau bilang mau ke Zagreb dan rupanya jurusan bus kami sama. Aku ragu dong, aku cek lagi tiket busku. Dan ternyata eng ing eng! AKU MENUNGGU DI HALTE BUS YANG SALAH!

DAN SAAT ITU SUDAH JAM DUA SIANG!

Aku langsung mengecek Google Maps, seberapa jauh halte bus tempatku dijemput seharusnya dari halte tempatku menunggu saat ini. Rupanya jaraknya cukup jauh, 1 jam jalan atau setengah jam naik bus kota. Pilihan paling cepat adalah naik taksi tapi sudah tidak ada waktu lagi. Aku naik taksi pun nggak akan sempat mengejar bus yang datang di halte yang bersangkutan.

Akhirnya aku pasrah, aku mencari banyak alternatif lain. Nggak ada lagi bus ke Ljubljana dari Salzburg hari itu, adanya jam 1 dini hari ini. Itu berarti aku harus stay di Salzburg satu hari lagi dan menghanguskan bookingan hostelku di Ljubljana. Panik, bingung, ditambah lagi Bapak-Bapak itu juga bikin aku makin gak bisa berpikir jernih. Bapak-Bapak tersebut menyebutkan alternatif lainnya yakni mengambil bus ke Graz lalu pindah ke Ljubljana. Nggak pake lama aku langsung memesan bus ke Graz yang berangkat jam 4 sore di halte tempatku menunggu itu. Bodohnya, bus dari Graz ke Ljubljana juga berangkat jam 1 pagi keesokan harinya. Kan ternyata sama saja dengan yang di Salzburg!!!! Kepalang tanggung, akhirnya aku melanjutkan kebodohan dan kesialanku itu. Aku memang suka kesal dengan diri sendiri.

Berbeda dengan kebodohanku mengeluarkan EUR 60 di Jerman, kali ini aku benar-benar menyesal. Karena tak hanya bersikap loss aversion sehingga membuatku membuang uang sekitar EUR 40 lagi, aku melewatkan malam indahku menginap di Ljubljana. Instead of sleeping well in a hostel, I was taking another overnight bus and that's motherfucking annoying! Mbak Ayodd dan Mas Kiva kuceritain hal ini langsung dan mereka tertawa, Mbak Ayodd bilang ini merupakan karma akibat niat burukku tidak beli karcis kereta di Jerman. Mas Kiva tertawa terus-terusan. Temanku SMK, Budhe, yang juga aku ceritakan juga menertawakan kebodohanku. Aku sendiri berada di fase ingin tertawa dan menangis.

Pasalnya aku sebenarnya sudah mengalokasikan bujetku betul-betul untuk Europe Trip kali ini hingga ke Edinburgh dan kembali lagi ke London. Namun pengeluaran tak terduga sebesar hampir GBP 100 ini membuatku stress dan merasa sangat bodoh. Yah mungkin aku memang orang terbodoh sedunia. "Kamu itu memang nggak boleh jalan sendirian Gis, mengkhawatirkan," kata Mbak Ayodd dan aku setuju. Rasanya aku harus punya teman jalan agar tidak terlalu ceroboh dan suka merugikan diri sendiri seperti ini 😭

Padahal baru saja beberapa saat yang lalu aku merasa bahagia dan semuanya berjalan begitu lancar. Padahal baru saja di postingan kemarin aku bilang kalau aku belajar dari kesalahan dan berjanji tidak akan membuat kebodohan lagi. Aku pun bilang pada Shaheera bahwa aku tidak akan lagi melakukan kebodohan, faktanya? Agista memang bodoh πŸ˜’

"Kamu itu memang dari dulu suka mencari tantangan. Kamu nggak berubah. Kamu tetap saja aneh," kata temanku SMK. "Aku pun heran mengapa aku harus ditakdirkan untuk hidup seperti ini?" jawabku. "Yah ambil hikmahnya saja, siapa tahu kamu memang terlahir untuk jadi orang yang 'tak biasa' karena jalan yang kamu tempuh itu juga 'tak biasa'. Siapa tahu kan?" lanjutnya. "Yah, kuaminkan saja." Dan yah hikmahnya aku bisa mengunjungi sebagian besar itinerary Digidigidip Tour.

Kalian juga, aminkan saja. Semoga lain kali dan besok-besok aku benar-benar waras dan hidup dengan damai, aman, sentausa. Bukannya hidup memacu adrenalin seperti ini. Aku suka tantangan sih tapi nggak yang kayak begini juga 😭


Ditulis saat terdampar di Graz selama 6 jam karena menunggu bus ke Ljubljana. When will my stupidity could be fix?

Comments