Kaleidoskop 2018: My Quarter Life and The Year That Made Me



Tidak terasa tahun 2018 berakhir juga, padahal rasanya baru kemarin aku merasakan angin dingin bulan Januari di London. Lalu jalanan yang basah akibat gerimis dan salju yang mulai turun akibat perubahan cuaca yang cukup ekstrem. Rasanya baru kemarin aku merasakan Natal di London, saat tidak ada satupun moda transportasi publik yang beroperasi dan aku menghabiskan malam tahun baru di Uxbridge bersama Mbak Ayod dan Mas Kiva untuk marathon The Lord of The Rings extended version hingga aku ketiduran. Kini lagi-lagi aku bersama Mbak Ayod tapi di Indonesia, bukan di London.

Ada banyak kata yang bisa merepresentasikan kondisiku selama tahun 2018 ini mulai dari yang happy-happy hingga yang sedih-sedih. Mulai dari jatuh cinta, patah hati, hampir tidak lulus, terlibat drama, hingga harus menghadapi kenyataan lagi bahwa aku kini berstatus pengangguran. Waktu terus bergulir, banyak orang yang datang dan pergi silih berganti. Untuk merangkumnya, mungkin aku bisa menyebut tahun 2018 sebagai tahun terbaikku. Titik dimana aku berubah (insya Allah) menjadi orang yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya dan jauh lebih bahagia.

Sebenarnya aku mengawali tahun 2018 dengan luka, akhir tahun 2017 aku resmi putus dengan mantan. Yah sebelumnya memang putus nyambung bagaikan WiFi di warung kopi tapi bulan Desember itu, dia memutuskan untuk menyerah dan tidak melanjutkan hubungan. Oke. Sempat sedih dan sempat menangis sejadi-jadinya tapi tidak lama sebab aku tahu aku bisa berbahagia di London. Lalu sejujurnya aku memang menemukan banyak sekali kebahagiaan selama tahun 2018 di London ini.

Januari 2018 merupakan titik balikku untuk mengubah diri sendiri. Aku jadi orang yang lebih bebas dan bahagia pasca putus tersebut, tidak ada lagi yang menahanku untuk tidak mengeksplor London. Karena aku single aku jadi sangat bebas berteman dengan siapa saja atau melakukan apa saja. Aku tidak perlu khawatir harus meluangkan waktu sekian dan sekian untuk teleponan or whatsoever. Di situ, aku bertemu dengan teman baru dan pergi ke Brighton. Untuk pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang sangat mirip denganku, entah mengapa rasanya sangat cocok sekali. Lambat laun, aku pun semakin tertarik pada orang itu dan menaruh rasa padanya. Aku juga memulai kegiatan positif dengan terlibat dalam Cystic Fibrosis Trust sebagai volunteer. Siapa sangka aku akan bekerja di tempat tersebut hingga tujuh bulan lamanya? Padahal aku hanya berencana bekerja selama tiga bulan saja. Bertemu teman baru, orang baru, sudah pergi ke Manchester, dan bekerja di lingkungan baru membuatku semakin lupa akan sakit hatiku dan semakin bahagia. Awal tahun ini aku juga semakin dekat dengan teman-teman sekelas, sering makan bareng di luar dan jalan-jalan juga. Aku juga makin akrab dengan Mbak Ayod terutama setelah kami berdua sempat janjian bareng untuk memotret London Lumiere, mengingat hal ini aku jadi ingin tetap tinggal di London dan menghadiri another year of London Lumiere :(

Februari 2018 kebahagiaanku masih berlanjut. Rupanya unexpectedly aku jadi semakin dekat dengan teman baru yang kukagumi itu. Meski aku pun disibukkan oleh midterm dan juga paperwork term B, aku bahagia karena aku bisa mengatur waktu dengan baik. Jadwalku juga semakin sibuk karena aku mulai bekerja di sebuah restoran Malaysia. Aku hampir tidak punya waktu lagi untuk mengingat patah hati atau galau pasca putus, bisa dibilang baru tahun ini aku bisa move on dalam waktu yang singkat. Karena distraksi sibuknya kegiatan bekerja, volunteer, dan kuliah itu aku sampai merasa bahwa waktu 24 jam di London saja tidaklah cukup. Apalagi London itu pace-nya cepat sekali, dari pagi ke malam waktu bergulir sangat cepat bagai kilat. Di bulan ini juga aku jadi semakin dekat dengan Mbak Ayod bahkan kami sempat liburan bareng di Cambridge yang sesungguhnya aku hampir merusak liburan itu wahahaha.

Di bulan Maret 2018 aku akhirnya melakukan sebuah pengakuan karena merasa mendapatkan angin segar. Satu, aku tidak ingin berharap terlalu banyak. Dua, aku tidak ingin jadi terlalu sakit hati di kemudian hari. Tiga, aku memang anaknya tidak bisa menahan rasa suka terlalu lama tanpa diungkapkan. Sayangnya saat itu bukan jawaban yang kuinginkan yang kudapat, ternyata teman baru yang kusukai itu sudah punya seseorang yang mengisi hatinya. Saat itu aku sempat sedih karena aku sudah menemukan orang yang menurutku pas tapi ternyata tidak ditakdirkan denganku. Hal tersebut, uniknya, tidak membuat hubungan kami renggang justru makin baik dan akrab. Aku sempat takut bila hubungan kami jadi tidak baik karena biasanya aku mengalami hal tersebut, bila aku ditolak oleh pria yang kusukai biasanya pria tersebut akan menghindariku. Dia ini cukup berbeda dan dari situlah kami berteman hingga saat ini, itu juga yang membuatku suka padanya. Selain kegagalan di hal romansa seperti ini, aku juga sempat mengalami kegagalan dalam melaksanakan kegiatan volunteer baru.

Seperti yang sudah aku katakan, aku berencana akan menyelesaikan volunteer di Cystic Fibrosis pada bulan Maret karena memang kontrak awal hanya 3 bulan. Merasa jadwalku akan kosong, aku mencoba peluang lain dengan melamar ke tempat lain yakni Oxford Heritage. Sayangnya aktivitas volunteer di lembaga ini tidak terlalu memiliki task yang jelas sehingga pada minggu ketiga aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kegiatan volunteer. Apalagi ternyata masa volunteerku di Cystic Fibrosis diperpanjang karena tidak ada mahasiswa lain yang menggantikanku. Mendapatkan kesempatan untuk bekerja secara profesional dengan staf internasional tentunya sangat menggiurkan dong. Maka dari itu, aku memutuskan untuk stay di departemen keuangan Cystic Fibrosis Trust tersebut.


Lanjut setelah itu bulan April, libur tiba. Selama bulan April ini aku libur sebulan karena term B sudah selesai dan exam baru diadakan pada bulan Mei. Sangat menyenangkan sekali libur di musim semi. Namun waktu itu musim semi masih terasa dingin bahkan tak jarang bersalju karena anomali cuaca yakni adanya Beast from The East. Karena fenomena tersebut, tak jarang masih ada salju di sejumlah tempat dan temperatur masih rendah. Bunga-bunga pun jadi lambat bermekaran padahal kata Mbak Ayod, musim semi adalah musim paling cantik karena bunga-bunga bermekaran.

Berhubung liburan satu bulan, aku meluangkan waktu untuk jalan-jalan ke kota-kota UK lainnya. Aku tidak pergi ke Eropa karena aku merasa spring bukan waktu yang tepat untuk melakukan Europe Trip. Satu, aku masih memiliki tanggungan volunteering dan bekerja. Dua, ada exam di bulan Mei sehingga setidaknya aku harus menyicil review pelajaran agar tidak goblok-goblok amat saat exam. Saat itu aku memutuskan untuk pergi ke Oxford dengan si teman baruku itu, lalu ke Birmingham dengan Mas Freddy di minggu berikutnya dan terakhir ke Liverpool sendirian. Aku sudah mempersiapkan perjalanan ini jauh-jauh hari. Lalu tentu saja aku puas!

Setelah membahagiakan diri di bulan April di sela-sela kesibukan volunteer dan bekerja, tidak terasa bulan Mei tiba juga. Desember 2017 lalu aku masih berpikir bahwa bulan Mei baru datang lima bulan berikutnya. Kenyataannya, bulan Mei datang begitu cepat dan mau tidak mau aku harus menghadapi exam. Apalagi Ramadan juga jatuh di bulan Mei sehingga aku perlu usaha ekstra untuk tetap fit saat mengerjakan exam dan harus bisa bangun pagi untuk sahur. Saat itu aku agak tersiksa karena pola tidurku jadi berantakan lalu itu cukup mengganggu konsentrasiku saat mengerjakan exam. Kebetulan juga saat itu Ron datang ke London sehingga aku mengantarnya ke sana ke mari. Sisi positifnya adalah cuaca bulan Mei sedang bagus sehingga aku dan Mbak Ayod bisa berpergian ke taman-taman di London dan bisa mengabadikan gambar dengan bunga-bunga yang cantik. Kalau tidak salah, aku juga jadi semakin sering menginap di Uxbridge karena Mas Kiva tidak kunjung kembali ke London.

Satu momen yang mungkin patut kukenang dan kumasukkan ke dalam kaleidoskop 2018 ini adalah aku berhasil menonton konser Walk Off The Earth. Siapa sangka kalau konser pertama yang kuhadiri adalah konser mereka bukan konser K-Pop? Aku ingat sekali saat itu aku menonton konser dua hari berturut-turut, yang pertama konser Harry Potter karena menggantikan Mas Freddy lalu hari berikutnya konser Walk Off The Earth dan di hari berikutnya aku harus menjalani exam. Lagi-lagi tanpa disangka justru nilai exam mata kuliah yang kujalani pasca konser malah cukup tinggi. Lebih tinggi dari mata kuliah yang kupelajari mati-matian bahkan aku harus mengulang ujian mata kuliah tersebut karena gagal.

Begitu Mei berubah jadi Juni, aku merasa sangat menyayangkan musim semi yang kelewat singkat. Bagaimana tidak singkat? Hingga pertengahan musim semi saja cuaca masih se-dingin Winter lalu bunga bermekaran hanya sekelebat saja dan tiba-tiba musim panas menjelang.


Bulan Juni 2018, aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Salah satu alasannya mungkin adalah merayakan lebaran bersama keluarga tapi faktor terbesar kepulanganku adalah untuk menonton konser. Pada bulan April sebenarnya telah dibuka penjualan tiket GOT7 Eyes On You in Berlin tapi aku tidak mendapatkan tiket. Aku baru mendapatkan tiket saat konser digelar di Jakarta, lalu aku memutuskan untuk pulang saja. Bulan Juni ini rasanya menjadi puncak kehidupanku selama di London. Bila sebelumnya isi kehidupanku adalah sibuk bekerja, sibuk bersosialisasi, sibuk sekolah,  dan sibuk menjadi orang yang positif maka bulan Juni ini mulai timbul hal-hal negatif dari lingkungan sekitarku.

Seiring dengan kepulanganku ke Indonesia, timbul konflik di antara flatmate-ku. Saat itu aku masih belum berpihak pada sisi manapun dan aku belum terimbas banyak namun pada bulan berikutnya, masalah jadi semakin runyam dan cukup berpengaruh pada kondisiku.

Pertengahan tahun 2018 atau sekitar 9 bulan setelah tinggal di London, aku memang merasakan perubahan dalam diriku sendiri. Begitu pulang ke Indonesia, jam biologisku untuk tidur mulai beradaptasi pada jam London. Aku bukanlah anak yang tidurnya jam 8 lagi tapi jam 12 lewat. Lalu salah seorang teman juga bilang bahwa aku jadi lebih kelihatan bahagia dan positif. Dia juga bilang kalau pola pikirku jadi jauh lebih terbuka daripada sebelumnya. Aku sendiri merasa bahwa aku jadi lebih disiplin dan rajin membuang sampah pada tempatnya lalu hidup dengan fast pace seperti di London. Dan meski sebenarnya aku gatal sekali ingin menceritakan banyak hal yang kualami di London, aku tidak melakukannya bila aku tidak ditanya. Aku tidak ingin orang fokus pada ceritaku tapi aku yang berfokus pada cerita mereka. Saat itu juga aku mulai merasa terpisah dari kebiasaan-kebiasaan buruk orang Indonesia, aku berusaha untuk mengasimilasi culture shock-ku pelan-pelan.

Bulan Juli 2018 merupakan bulannya sepak bola, sayangnya aku tidak menghabiskan banyak waktu di Eropa. Justru aku menghabiskan babak eliminasi di Indonesia dan tim kesayanganku kalah telak. Berhubung Jerman gagal melaju ke babak berikutnya, aku jadi tidak semangat mengikuti World Cup 2018. Namun begitu aku pulang ke London, euforia sepak bola di sana semakin menjadi. Hal tersebut disebabkan oleh kuatnya kesebelasan Inggris yang selama ini kuremehkan. Karena timnas Inggris sedang memiliki performa bagus, suasana World Cup 2018 di Inggris jadi makin meriah. Bahkan aku sempat nonton bareng perempat final Inggris vs Kroasia di Hyde Park bareng dengan suporter-suporter Inggris. Di situ aku jadi merasa bahwa aku benar-benar ada di negara sepakbola!

Bulan Juli ini juga menjadi bulan terakhirku melaksanakan volunteer. Alasannya adalah karena aku ingin berfokus dalam mengerjakan tesis dan mengurangi jam kerja volunteerku untuk menambah jam kerja-ku di restoran. Aku sempat dibuatkan sebuah Volunteer Party untuk di bulan Ramadan lalu dan aku merasa sangat terharu. Tujuh bulan lamanya aku bekerja dengan Jan, Carrie, Theodore, Jairzeno, dan Dot. Aku sangat beruntung memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari Cystic Fibrosis Trust. Tak hanya melaksanakan tugas harian, aku pun diberi kesempatan untuk mengerjakan e-learning yang kuyakin akan meningkatkan nilai tambah untuk CV-ku. Bagaimana aku tidak bahagia kalau aku dikelilingi dengan orang positif dan berilmu seperti itu? Sayangnya semua harus berakhir. Yang jelas melakukan kegiatan volunteer ini akan menjadi satu pengalaman berharga yang kudapatkan semasa di London.

Tidak melulu hal positif, di bulan Juli aku mulai menghadapi kenyataan yang cukup pahit yakni harus  mengambil resit alias ujian ulang karena aku gagal di dua mata kuliah. Untungnya aku gagal di dua mata kuliah saja sehingga aku hanya perlu belajar dua kali. Aku juga cukup puas dengan nilai-nilai mata kuliahku yang lain bahkan beberapa mata kuliah mendapatkan nilai yang sebenarnya di atas ekspektasiku. Bulan Juli itu aku berkonsentrasi untuk setidaknya mendapatkan nilai Pass dan lulus sesuai dengan target yang kupasang yakni 'Merit'. Selain ujian, ada tesis yang harus diselesaikan juga. Konsentrasiku memang terpecah tapi karena tesis memiliki deadline yang cukup panjang jadi aku memusatkan fokus pada resit terlebih dahulu. Yang membuat konsentrasiku terpecah-pecah lagi sebenarnya adalah masalah flat yang tidak ada ujungnya dan justru semakin parah.


Masalah flat pada musim panas itu mencapai klimaks pada bulan Agustus 2018, saat itu aku yang semula netral jadi berpihak dan mulai menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan kondisi keuangan rumah. Beruntung aku hanya punya tesis yang melambai-lambai untuk dikerjakan. Untuk meminimalisir masalah flat yang semakin rumit, aku menyibukkan diri dengan bekerja hampir satu minggu penuh dan pulang malam. Sehingga tidak ada waktu untuk terlibat dalam drama tidak penting yang terjadi di rumah. Aku juga senang karena aku semakin akrab dengan teman-teman Malaysia di kafe tempatku bekerja sehingga kami sempat pergi ke Hitchin. Saat aku menuliskan Hitchin, rasanya aku sedang ditarik kembali ke masa itu dan aku bisa merasakan angin musim panas di Inggris. Aku juga menyibukkan diri dengan hang out bersama teman-teman sekelasku ke Kew Gardens karena dua di antara mereka akan segera pulang for good ke China.

Sekali lagi aku bersyukur telah dipertemukan dengan orang-orang baik di sekitarku selama aku di London, jadi aku juga menghabiskan ulang tahun dengan mereka. Terlepas dari drama rumah itu, aku bahagia bisa menghabiskan waktu dan belajar dari banyak orang. Aku senang mengobservasi orang-orang di sekelilingku, teman-temanku. Pernah suatu kali di hari ulang tahunku, aku hendak mengajak orang-orang terdekat untuk makan bersama namun karena masalah rumah acara tersebut dibatalkan. Akhirnya aku dengan nekat pergi ke Brighton sendirian di tengah cuaca yang buruk dan naik Brighton 360. Aku memang butuh untuk pergi sendiri sekali-kali, setelah melakukan kenekadan itu rasa sedih dan kesalku agak berkurang.

Stress akibat drama flat pun mulai berkurang karena di summer ini aku juga jalan-jalan terus. Aku sempat pergi ke Yorkshire dengan Mas Freddy lalu bertemu dengan Mbak Ulfah di sana. Aku juga menyibukkan diri untuk mempersiapkan Europe Trip yang pada awalnya ingin kulakukan bareng Mbak Ayod. Europe Trip yang hendak kulakukan sebenarnya ada alasannya yakni Music Bank in Berlin. Namun alih-alih Europe Trip, aku justru menutup bulan Agustus dengan berkunjung ke Harry Potter Studio Tour. Bisa dibilang aku mendapatkan hadiah yang menyenangkan dari diriku sendiri dan orang lain selama bulan Agustus itu.

Entah karena aku dikutuk akibat masalah flat atau memang aku mudah sekali ter-distract, kebodohan yang kulakukan pada bulan September 2018 jadi semakin parah. Mula-mula aku sempat hampir gagal menjalankan Europe Trip tepat waktu karena masalah pembuatan visa yang gagal dan mepet. Sempat juga aku telat mengejar transportasi di sana-sini. Sebenarnya banyak hal yang harus kupikirkan awal September itu: yang pertama dan jadi prioritas adalah menyelesaikan tesis, lalu pengurusan visa, mencari rumah baru, packing untuk pindah ke rumah baru, membagi keuangan dengan bijaksana, mengatur jadwal Europe Trip, dan lain sebagainya.

Jujur aku sempat stress tidak ketulungan, ditambah lagi selain masalah rumah semakin tidak beres aku juga resign dari kafe tempatku bekerja. Mana resignnya tidak diikhlaskan oleh si pemilik kafe lagi. Menurutku aku resign baik-baik karena aku sudah izin dengan sopan tapi menurut temanku aku tidak resign baik-baik karena aku langsung memutuskan berhenti ketika di hari terakhirku bekerja aku menyebabkan masalah besar. Fokusku juga terpecah karena tiba-tiba saja aku mendapatkan e-mail bahwa lamaran magangku di Bank Indonesia London juga diterima. Mas Kiva bahkan sempat bilang, "Udah magang aja Gis, Europe Tripnya nanti aja." Aku sempat ragu dan ingin magang tapi karena banyak urusan yang harus kuselesaikan dan aku juga sudah membeli tiket serta booking hostel, aku tidak bisa membatalkan Europe Trip-ku begitu saja.

Sebelum Europe Trip, pindah rumah menantiku. Aku memutuskan untuk men-submit tesis sebelum mulai Europe Trip agar setidaknya satu bebanku lepas. Jadi begitu Europe Trip selesai aku langsung bisa mengurusi kepindahan rumah. Setelah melakukan banyak viewing dan mem-PHP sejumlah agen, aku pun akhirnya berhasil menemukan hunian yang lumayan. Harganya murah dan fasilitasnya mencukupi. Ketika menemukan rumah baru di Leytonstone itu, aku sempat menyesali keputusanku untuk tinggal di flat lama yang kutempati. If only I knew the effective method to find a home in London, begitu pikirku. Pencarian rumah ini pun dibantu oleh banyak orang, memang tidak membantu secara langsung tapi setidaknya orang-orang tersebut memberiku cukup petunjuk sehingga aku bisa menemukan hunian yang baru dan tidak merugikanku.  Apalagi salah satu flatmate-ku sudah pindah duluan, sejak bulan Agustus sebenarnya aku sudah sangat jarang tinggal di flat lamaku. Suasana flat lama sudah tidak se-menyenangkan itu. Pada tanggal 5 September 2018 aku pindahan rumah dibantu oleh teman baruku dan tanggal 7 September 2018 aku sudah pergi dari flat lamaku.

Untuk kali pertama seumur hidupku, aku melakukan Solo Trip di kota yang jauh. Solo trip di Inggris tidak dihitung karena jaraknya terhitung masih dekat dari London atau masih berada di kawasan yang sama. Namun untuk kali pertama aku benar-benar jalan sendirian tanpa teman ke Eropa. Kalau dibilang nekad, iya. Bahkan itinerary Europe Trip pertamaku itu sangat menyusahkan diriku sendiri padahal niatnya kan cuma nonton Music Bank in Berlin. Pada roadtrip solo-ku yang pertama itu, aku berkunjung ke 5 negara dan 9 kota selama 9 hari. Itu artinya aku menghabiskan satu hari di satu kota yang berbeda. Tentu saja hal itu sangat melelahkan dan dari situ aku belajar untuk mengatur itinerary agar tidak terjatuh ke lubang yang sama. Memang sih aku berhasil main ke sejumlah kota-kota besar dan ikonik di Eropa tapi experience yang kudapatkan tidak terlalu banyak karena aku dikejar-kejar waktu. Jujur Europe Trip di akhir musim panas ini telah memberikanku banyak pelajaran saking banyaknya kebodohan yang aku lakukan.

Bila ditanya, apakah aku kapok melakukan solo europe trip? Jawabannya tidak. Tapi aku kapok kalau aku melakukan trip se-ambisius itu. Untuk itu pada bulan Oktober 2018 aku mulai merancang Winter Europe Trip dengan perencanaan yang lebih matang dari Summer Europe Trip.


Aku sudah pindah rumah, aku sudah menyelesaikan tesis, aku sudah Europe Trip, dan aku juga sudah membuang orang-orang toxic dari hidupku dengan cara resign dan move out. Bulan Oktober 2018 merupakan fresh start usai drama panjang selama musim panas kemarin. Pada Oktober 2018, aku resmi memulai kegiatan magangku dan lagi, bertemu dengan orang-orang baru. Aku masih memiliki simpanan tabungan dari bulan-bulan sebelumnya untuk bertahan di London di bulan Oktober ini jadi aku tidak terlalu khawatir, meski demikian aku masih mengharapkan bahwa uang deposit flat lamaku segera turun untuk menyambung hidupku di bulan berikutnya.

Kupikir hidupku akan berjalan semestinya dan bebas dari orang toxic, nyatanya tidak. Akibat urusan deposit yang belum terselesaikan, aku masih harus berurusan dengan flatmate lama hingga akhirnya dia melakukan klarifikasi di sosial medianya. Yang mana menurutku itu tidak menyelesaikan masalah karena masalah utamanya adalah uang. Tapi tak mengapa, aku tidak terlalu memikirkan hal tersebut karena aku masih punya cukup dana untuk bertahan hidup dan aku sudah disibukkan oleh tugas-tugas selama magang.

Aku senang bisa mendapatkan kesempatan magang di Bank Indonesia London, untuk kesekian kalinya aku belajar hal-hal yang tidak aku pelajari di kampus. Aku belajar dari dasar mengenai pengelolaan devisa negara, belajar Bloomberg, belajar trading, belajar memahami konsep moneter dan lain sebagainya. Aku juga belajar bagaimana cara menulis report yang baik dan benar, belajar memilah data serta melakukan analisa. Inilah yang aku suka selama hidup di London, aku belajar banyak hal dari orang-orang yang berbeda. Tidak hanya masalah pendidikan, politik, dan ekonomi, aku juga mempelajari perspektif orang yang berbeda-beda. Di London, aku menemukan hal-hal yang tidak pernah aku temui di Malang.

Rumah baru tempatku tinggal juga ternyata tidak seburuk itu. Memang kamarnya jauh lebih sempit dan kecil dan aku harus berbagi rumah dengan lebih banyak orang, apalagi mereka adalah Eastern Europe people. Saat aku tinggal di rumah dengan penghuni non-Asia, ternyata justru lebih menyenangkan. Mereka cenderung masa bodoh satu sama lain, orangnya baik dan ramah, dan kami hidup dengan tenang tanpa mengurusi orang lain. Tidak ada masalah juga mengenai pembayaran bills dan utilities karena biaya sewa sudah termasuk tagihan. Sama sekali tak ada masalah dan jujur aku sangat betah tinggal di rumah baru tersebut.

Satu hal yang mungkin membuatku sangat sedih di bulan Oktober adalah Mbak Ayod dan Mas Kiva pulang ke Indonesia. Tanpa mereka berdua, entah aku jadi apa di London. Sebenarnya ada sisi positif juga aku tinggal di flat lama, melalui flatmate-ku itu aku jadi kenal Mbak Ayod dan Mas Kiva. Aku bisa bilang bahwa mereka berdua itu orang-orang yang sangat baik dan tulus yang pernah aku kenal.

Kepergian Mbak Ayod dan Mas Kiva cukup berpengaruh pada kondisiku di bulan selanjutnya, November 2018. Sudah ditinggal Mbak Ayod dan Mas Kiva pulang, teman baikku juga pulang karena dia mendapatkan pekerjaan di Indonesia. November 2018 adalah masa-masa dimana aku merasa sangat kesepian dan benar-benar bertahan hidup dengan usahaku sendiri. Aku sudah tidak bekerja di kafe, selama lima hari dalam seminggu aku magang, uangku mulai menipis, sementara deposit dari rumah lama tidak kunjung turun. Pada akhirnya depositku dikembalikan juga meski harus nge-drama dulu. Yang kata agen aku mengancam dia akan lapor ke Home Office lah, yang kasusku di-blow up lagi di sosial media lah, yang begini dan begitu lah. Intinya sederhana, aku hanya perlu membayar tagihan terakhir kalau ingin depositku kembali tapi masalah justru dipanjang-panjangkan oleh pihak sebelah sana. Padahal tinggal bilang, "Maaf saya tidak bisa menalangi tagihan kamu, kamu harus bayar baru nanti depositnya keluar." Tidak susah kan? Tapi malah ketika aku tagih tidak ada balasan pesan justru sindiran di sosial media *facepalm.

Aku bertahan hidup dengan nominal yang sedikit sekali pada bulan November 2018 itu hingga aku pun cukup takjub dengan diri sendiri. "Oh ternyata aku bisa juga hidup se-miskin ini." Bulan-bulan sebelumnya aku bisa berfoya-foya dan bisa makan enak tapi pada bulan November aku hanya bisa makan mie instan atau makanan cepat saji dari supermarket dan McD. Itupun terbantu dengan ajakan makan dari Mas dan Mbak BI. Aku bahkan sempat meminta uang pada orangtuaku di Indonesia saking kerenya hanya untuk ongkos transportasi dari rumah ke kantor, aku tidak pernah keluar rumah saat weekend. Aku juga tidak pernah bertemu dengan teman-temanku yang lain. Ibuku sempat memintaku untuk segera pulang saja daripada hidup miserable seperti itu tapi aku bilang padanya bahwa aku masih memiliki tanggung jawab untuk magang dan aku bilang, "Dengan begini aku jadi tahu seperti apa rasanya jadi miskin." Toh, tidak cuma aku yang pernah jadi miskin teman-temanku bahkan kondisinya pernah lebih parah dariku.

Kesepian dan kekurangan pada bulan November 2018 itu terbayar sudah di bulan selanjutnya, Desember 2018. Periode magangku telah berakhir di akhir November 2018 meski sebenarnya aku juga bisa melanjutkan magang lagi di bulan berikutnya. Mempertimbangkan biaya sewa kamar dan lain sebagainya, aku memutuskan untuk mengakhiri masa magang saja dan hidup 'menggelandang'. Mengapa aku sebut 'menggelandang'? Karena hampir secara harfiah aku hidup berpindah-pindah tanpa punya rumah yang tetap, aku melakukan Europe Trip kedua on budget. Backpacking se-minimal mungkin. Sebelum melaksanakan Europe Trip, aku packing lagi dan memindahkan koperku ke rumah flatmate lama yang sudah pindah. Secara harfiah, aku tidak punya tempat tinggal di London lagi sehingga aku memutuskan untuk melang-lang buana saja.

Meski hidup dalam keterbatasan dan on budget, Winter Europe Tripku malah terbilang sukses besar. Itinerary yang kusiapkan dengan cukup matang, aku bisa berhemat banyak, dan aku malah puas dengan perjalanan yang kulakukan. Paket komplit pokoknya. Rasa kesepianku juga berkurang karena aku malah menemukan kepuasan batin tersendiri selama Europe Trip ini. Intinya aku berhasil membahagiakan diri sendiri meski aku juga masih melakukan kebodohan-kebodohan yang tidak perlu.


Aku menutup akhir tahun 2018 ini sebetulnya sebagai gelandangan karena hingga hari ini pun aku masih belum settle kembali ke rumah. Awal Desember hingga pertengahan, aku berkeliling Eropa dan berpindah-pindah tempat tidur. Dilanjutkan dengan masa-masa menuju graduation di London dengan tinggal di airbnb yang lebih mirip hostel. Sebelum pulang pun sempat terjadi drama mengenai masalah tiket kepulangan dan aku terancam jadi homeless. Sebab di akhir keberadaanku di London, aku sudah benar-benar tidak memiliki cukup uang lagi. Lalu setiap kali melihat para homeless tidur di pinggir jalan, aku langsung berimajinasi bagaimana kalau aku pada akhirnya ended up being homeless karena tiket kepulangan yang tak kunjung di-approve oleh pemberi beasiswaku?

Meski pada akhirnya aku bisa pulang dengan selamat dan sampai di rumah, aku tidak tinggal terlalu lama. Tiga hari setelah aku sampai di rumah dan mulai beradaptasi dengan Malang, aku bertolak ke Jakarta untuk mengikuti assessment yang diadakan oleh salah satu Kantor Akuntan Publik Internasional. Lalu aku berpindah lagi ke rumah Mbak Ayod di Depok dan sayangnya terjadi hal yang tak diinginkan yakni Mas Kiva harus dirawat di rumah sakit. Terakhir, aku harus bertolak ke Bandung dan pulang ke Malang dari Bandung tanggal 2 nanti. Kalau dipikir-pikir, aku terlalu banyak berpergian sendirian dan menggelandang selama akhir tahun 2018 ini.

Tahun 2018 merupakan salah satu tahun terbaik yang pernah terjadi di hidupku. Aku belajar untuk jadi orang yang lebih ikhlas dan lebih bisa mengendalikan emosi, aku belajar dari kecerobohan yang sering aku lakukan, aku belajar dari orang-orang baik dan hebat yang sudah aku temui. Awalnya aku tidak percaya pada rezeki yang tergantikan tapi seiring berjalannya waktu aku paham bahwa memang ada orang yang datang dan pergi dalam hidup dan mereka memberikanmu pelajaran. Rezeki yang hilang bila diikhlaskan akan digantikan dengan rezeki yang jauh lebih baik. Aku juga jadi belajar untuk mulai meninggalkan lingkungan negatif karena memang hidup itu pilihan. Apakah seseorang ingin menjadi sosok yang lebih baik atau lebih buruk semua tergantung jalan yang dipilihnya. Aku juga mempelajari begitu banyak perilaku manusia selama tahun 2018 ini, mulai dari yang membuatku kagum hingga yang membuatku geleng-geleng kepala saking herannya.

Menginjak usia 25 tahun di tahun 2018 ini juga membuatku tak lepas dari quarter life crisis. Aku sempat hilang arah tentang apa yang akan aku lakukan begitu kembali ke Indonesia nanti. Lambat laun aku menemukannya. Lambat laun aku mulai menemukan jalan yang menunjukkanku kemana aku harus melangkah. Dan semoga setelah banyak hal terjadi di tahun 2018, setelah sempat tinggal di bagian dunia yang lain, setelah mengumpulkan energi positif, aku bisa berubah menjadi sosok yang lebih baik di masa depan. Aku yang dulu ambisius sekarang jadi lebih santai, aku yang dulu keras kepala sekarang jadi lebih bisa berlapang dada, aku yang dulu pendendam sekarang jadi lebih bisa bersikap ikhlas. Aku berharap aku tidak akan berubah ke arah yang negatif setelah ini, justru dari pengalaman yang kudapat selama tahun 2018 aku ingin berubah ke arah yang lebih positif.

Oh ya bisa dibilang juga aku hampir berhasil memenuhi resolusiku pada tahun 2018 kemarin. Sesungguhnya itu resolusi sejak tahun 2015 sih seperti: bisa kuliah di luar negeri, mendapatkan beasiswa, bisa pergi ke Old Trafford dan Allianz Arena, aktif di kegiatan volunteer, bisa solo trip, bisa membeli merchandise Harry Potter, bisa membeli laptop baru, bisa tetap istiqomah berhijab, sudah melakukan hal-hal yang belum pernah aku lakukan, bisa terlibat dalam tim yang keren, bisa melihat EXO perform secara langsung, bisa bertemu dengan orang-orang cerdas, wah pokoknya banyak sehingga tidak bisa aku sebutkan satu per satu. Satu hal yang perlu kalian catat dari perjalananku ini adalah: Jangan takut bermimpi dan jangan lupa untuk menuliskan mimpi itu agar terwujud satu per satu.

Terima kasih 2018, you will never be forgotten!



Comments