Kutinggalkan Hatiku di Edinburgh


Edinburgh (/ˈɛdɪnbɹə/; Edinbrah; city): the capital of Scotland, on the southern shore of the Firth of Forth; population 449,100 (est 2009). The city grew up around 11th century castle built by Malcolm III on a rocky ridge that dominates the landscape.

Sudah lama aku ingin pergi ke Edinburgh namun tidak kunjung terlaksana. Tahun lalu sebenarnya aku bisa saja terbang ke Ibukota Skotlandia ini tapi aku tidak berani mengambil risiko, dalam bayanganku Edinburgh itu jauh lebih dingin dari London dan hampir setiap hari ditutupi salju. Padahal faktanya tidak demikian. Aku ingat sekali saat aku mengajak Mbak Ayod untuk pergi ke Edinburgh winter tahun 2017 lalu, beliau bilang "Ke Edinburgh pas winter begini? Yakin? Orang di London aja sedingin ini." Lalu berikutnya aku berpikir untuk pergi ke Edinburgh pada musim panas nanti saja, siapa tahu udaranya yang lebih sejuk tidak akan terlalu menyiksaku. Nyatanya, aku malah melewatkan Edinburgh selama musim panas lalu.

Hingga suatu hari di musim gugur, aku menemukan tiket pesawat London - Edinburgh dengan harga yang sangat terjangkau yakni GBP 20 pulang-pergi. Aku tidak peduli apakah itu winter atau musim gugur atau mungkin Edinburgh sedang dingin-dinginnya, aku membeli tiket itu. Apalagi temanku bilang, "Udah pergi aja ke Edinburgh itu tiketnya mumpung murah, ambil Gis ambil." Dan yah, berbekal kenekadanku seperti biasa, aku membeli tiket London - Edinburgh untuk 11-15 Desember 2018 ini.

Awalnya aku akan berada di Edinburgh dengan seorang teman yang kebetulan kami saling kenal karena beliau adalah pembaca blogku lalu dia juga menempuh pendidikan di almamater yang sama denganku, Mbak Dias namanya. Kami sempat bertemu satu kali, sejak dia bertanya-tanya mengenai akomodasi, aku dan dia saling berkontak. Suatu kali, aku menyebutkan bahwa aku ingin ke Edinburgh dan kebetulan Mbak Dias mau ikut. Jadilah kami merencanakan kepergian kami bersama ke Edinburgh. Tentu saja aku bahagia karena aku sudah berjalan-jalan sendirian selama 10 hari, di perjalanan ke Edinburgh kali ini aku ingin pergi bersama seorang teman atau setidaknya ada teman untuk mengobrol. Sayangnya, rencana kami tidak berjalan semulus yang kami kira,

"Gis, aku barusan jatuh," tulis Mbak Dias pada pesan Whatsapp yang dia kirim padaku. Saat itu aku sudah khawatir mengenai keadaannya, apalagi kondisi Mbak Dias sedang hamil. Mbak Dias menjelaskan padaku bahwa dia jatuh di sekitaran kampus dan berharap bahwa janinnya tidak terpengaruh, aku pun mengkhawatirkan hal tersebut. Setelah berbincang cukup lama, Mbak Dias menjelaskan padaku agar aku tetap pergi ke Edinburgh saja. "Suamiku datang ke sini kok, Gis. Kamu pergi aja gakpapa." Dengan berat hati, aku pun tetap pergi ke Edinburgh. Sempat sedih dan kecewa, sedih karena Mbak Dias tiba-tiba jatuh, kecewa karena lagi-lagi aku sendirian.

Mau tidak mau, suka tidak suka aku tetap berangkat ke Edinburgh.

Aku berangkat dari Takeley, sebuah daerah yang berada dekat dengan bandara keberangkatanku, Stansted. Aku memang sengaja tidak pulang ke London selepas mendarat dari Milan, aku memilih airbnb dekat Stansted untuk memudahkan mobilisasiku ke bandara. Sempat terpikir untuk bertemu dengan teman kuliah saat aku berada di Takeley itu karena penerbanganku adalah pukul 5 sore tapi setelah kupikir lagi rasanya tidak akan sempat. Maka dari itu, pukul 11 siang aku sudah bersiap-siap meninggalkan airbnb yang super nyaman itu untuk ke bandara. Pukul 12 siang aku sudah stay di Stansted dan menuliskan postingan ini.

Begitu tiba di Edinburgh sore harinya, aku sempat nge-blank dan disorientasi lagi. "Hmm, coba ada Mbak Dias di sini mungkin aku tidak akan kesepian." Aku sempat salah mengambil halte bus dan berujung pada berputar-putar di area kedatangan dan keberangkatan. Dari bandara menuju ke airbnb tempatku tinggal sebenarnya jalurnya cukup mudah, aku hanya perlu naik bus shuttle dari bandara ke city centre lalu ganti bus kota. Berhubung disorientasi, aku jadi bingung apakah aku harus naik tram atau bus? Aku berulang kali mengecek mesin tiket dan Google Maps. Sehingga pada akhirnya aku menjatuhkan pilihanku untuk naik bus Airlink 100 yang berada di stop D Edinburgh Airport. Harga tiket satu kali jalan ke city centre adalah GBP 4.5, cukup mahal bila dibandingkan DAMRI tapi cukup murah bila dibandingkan harga tiket tube dari Heathrow ke Central London.

Transportasi di Edinburgh cukup convenient dan sangat sadar akan contactless payment, aku sangat suka hal itu karena aku malas sekali buka-buka dompet untuk mengambil kartu atau mencari ATM untuk mengambil uang cash. Cukup berbekal handphone saja aku bisa melakukan pembayaran dimana-mana, sangat mudah kan? Begitupun saat aku membeli tiket untuk bus Airlink 100, aku tidak perlu mengeluarkan uang cash sepeserpun. Masalah muncul ketika aku sudah sampai city centre, bus kota Edinburgh tidak menerima contactless payment. Mereka mengharuskan pembayaran menggunakan kartu transportasi (semacam Oyster) dan juga uang cash yang jumlahnya harus pas karena tidak ada kembalian. Beruntung aku masih punya uang koin yang bisa kugunakan untuk  naik bus dari city centre ke airbnb.

Keesokan harinya aku mulai panik karena uang koin yang kupunya telah kugunakan untuk membayar tarif bus ke airbnb di malam sebelumnya. Aku masih punya GBP 1.5 tapi jumlahnya tidak cukup untuk membayar satu kali perjalanan ke city centre, aku butuh GBP 0.2 lagi. Karena tidak punya uang koin yang mencukupi aku memutuskan untuk jalan saja, kupikir ah bisa jadi city centrenya dekat kan? Dari airbnb aku jalan hingga 8 stop bus. Di bus stop ke-8 aku baru sadar kalau ada sebuah apps khusus yang bisa digunakan untuk naik bus. Aha! Mengapa aku tidak mencobanya sedari awal? Akhirnya aku mengunduh apps Lothian bus, satu untuk menunjukkan jalur (semacam Citymapper khusus Edinburgh) dan satunya adalah E-ticket. Selesai mengunduh, aku sebal karena minimum pembelian lewat aplikasi tersebut adalah GBP 10 sementara aku hanya butuh single ticket ke city center. Akhirnya aku sekalian beli daily ticket (GBP 4) untuk tiga hari ke depan agar bisa membeli tiket secara online.

Begitu naik bus, ternyata aku hanya perlu turun tiga stop saja. Oke, harusnya tadi kulanjutkan jalan saja.


Sampailah aku di city centre dan lagi-lagi disoriented karena aku masih nge-blank dan tidak punya rencana akan kemanakah hari itu. Semua serba spontan, aku baru memutuskan hendak kemana setelah kakiku melangkah dan berputar-putar di sekitaran city centre dan stasiun Waverley. Yang ada di pikiranku begitu pagi itu jalan-jalan di Edinburgh adalah suasana Skotlandia-nya. Aku bahkan sempat berpikir, "Mungkin akan berasa Scotland banget kalau aku menemukan orang main bagpipe," dan benar saja, satu blok berikutnya aku mendengar pengamen jalanan main bagpipe! Ditambah lagi pengamen tersebut mengenakan pakaian tradisional Scotland: Kilts! Wah fix aku tidak berada di London tapi ada di Edinburgh, ibukota Skotlandia.

Setelah sempat mengagumi permainan bagpipe pengamen tersebut dan jalan-jalan di city centre, aku baru memutuskan akan pergi ke Edinburgh Castle. Lagi dan lagi, sebelum menemukan Edinburgh Castle aku sempat tersesat padahal Edinburgh Castle terlihat jelas di depan mata. Setelah sempat naik turun ke city centre lagi, aku berhasil sampai di Edinburgh Castle. Malam sebelumnya, aku sempat melihat-lihat website Edinburgh Castle dan mereka bilang aku tidak perlu tiket untuk masuk. Saat aku sampai dan berusaha untuk masuk ke dalam kastil, ternyata ada admission ticket seharga GBP 18.  Aku langsung melipir kembali ke luar. Pertimbanganku saat itu adalah aku sudah kenyang naik ke kastil di Ljubljana dan Salzburg dan harga tiketnya agak sedikit kurang manusiawi menurutku. Jadi aku hanya mengambil foto Edinburgh Castle di sekitaran Esplanade ini.

Setelah puas mengambil foto, aku melanjutkan perjalanan di sekitaran Old Town. Hanya perlu lurus saja dan di dekat Edinburgh Castle ada sejumlah attraction lain seperti Scotch Whisky Experience dan Camera Obscura. Aku ingin masuk keduanya tapi aku tidak mungkin dong mencoba Whisky, kalau aku mabuk siapa yang bakal nolongin? Mana toleransi alkoholku sangat rendah lagi. Jadi aku memutuskan untuk masuk Camera Obscura saja karena penasaran. Harga tiket masuk kamera Obscure masih cukup manusiawi, apalagi aku mendapatkan concession karena berstatus sebagai student. Di dalam Camera Obscura terdapat bermacam optical illusion, sedikit banyak mirip dengan attraction Museum de Mata gitu tapi Camera Obscura ini punya sebuah show yang diadakan di waktu-waktu tertentu. Itulah jualan utama mereka.

Show tersebut adalah Dark Room yang mana terdapat sebuah piringan putih besar yang terbuat dari kayu untuk merefleksikan bayangan yang dihasilkan lensa di ujung gedung. Sampai saat ini, aku masih belum bisa percaya kalau show tersebut hanya merupakan refleksi lensa karena gambarnya sangat mirip dengan hasil refleksi LCD Proyektor. Satu hal yang membuat show ini menarik adalah narasi sang pencerita, pria tersebut membawakan shownya dengan sangat menghibur dan secara tidak langsung menjadi guide-ku mengenai tempat-tempat ikonik di Edinburgh.

"JK Rowling itu sebenarnya nggak kreatif. Tau nggak nama-nama yang ada di Harry Potter itu dia ambil dari kuburan ini," jelas si petugas sembari menunjukkan graveyard yang menginspirasi JK Rowling dalam membuat nama karakter di buku Harry Potter.

"Nah terus ini kalian lihat deh, ini namanya New Town. Para orang pintar seperti insinyur, matematikawan, ilmuwan ngebangun New Town ini dengan harapan bakal jadi nyaman dan modern gitu kan. Eh mereka lupa dong kalau ada sumber bau di sekitara sini yang baunya bakal dibawa angin ke tempat mereka."

"Aku dulu pernah dimarahin bos karena terlalu lama ngebiarin sinar matahari mengenai lensa ini. Kalian tahu kan prinsip kerja kaca pembesar? Nah lensa ini juga sama, kalau aku ngebiarin mataharinya kesorot lensa maka papan kayu (yang seperti pensieve) ini bakal kebakar. Itulah sebabnya aku nggak terlalu suka matahari, kita geser aja ya. Aku masih sayang kerjaan nih," kelakar petugas Camera Obscura tersebut.

Selepas show, aku tidak langsung turun ke bawah yakni ke ruangan-ruangan ekshibisi tapi aku masih berada di puncak gedung untuk melihat Edinburgh dari ketinggian. Tidak tahunya, si petugas tersebut juga ada di luar dan tiba-tiba mengajakku ngobrol saat aku tengah mengira-ngira penjelasan dia tadi.

"Apakah kamu punya pertanyaan? Kamu kok ngangkat tangan kayak orang mau tanya gitu?"

"Oh, engga. Aku cuma mengira-ngira tempat aja. Oh by the way, yang di sana itu yang New Town tadi ya?"

"Iyaa di sana yang New Town, sebelah sana Old Town," jelasnya. Lalu obrolan kami berlanjut saat kutanya dia berasal darimana. Dia bilang dia dari Skotlandia tapi dari wilayah Stirling, "Kamu pernah dengar Stirling nggak?" tanyanya dan aku menggeleng. Dia menceritakan daerahnya tersebut dan bilang kalau di sana lebih banyak kastil yang bagus dan menarik. Dia pindah ke Edinburgh untuk kerja dan sangat menikmatinya. Dia juga bertanya darimana asalku dan aku bilang kalau aku tinggal di London untuk sekolah. Aku bilang padanya bahwa Edinburgh sangat cantik dan aku suka, "Well yeah Edinburgh is pretty indeed. I liked it here too." Setelah cukup banyak berbincang, aku turun ke bawah dan bilang makasih padanya sekalian say goodbye. Sekali lagi, aku membuktikan bahwa aku lebih sering bertemu dengan orang baik daripada orang jahat di sini (di Eropa, di UK).

Salah satu ekshibisi Camera Obscura, infinity room. Berasa ada di dunia Doctor Strange.
Puas melihat-lihat semua ekshibisi yang nggak jarang bikin aku terkesima di Camera Obscura, lagi-lagi aku dilanda kebingungan. Setelah dari Camera Obscura aku tidak tahu mau kemana karena memang sengaja tidak menyusun itinerary. Akhirnya aku memutuskan untuk jalan-jalan di sekitaran Old Town saja. Tanpa sengaja aku sudah melewati Road Mile dan Mary King's Close. Aku juga sudah menemukan gereja St. Giles dan melewati patung Adam Smith. Saat itu aku tidak ngeh saja akan keberadaan patung Adam Smith. Hari pertama di Edinburgh aku tidak henti-hentinya meracau, "Wah anjir ini kota bagus banget sih? Wah gila sih please stop making me fall in love with you."

Ketika sore menjelang, aku teringat pada keberadaan The Elephant House. Konon JK Rowling menulis saga Harry Potter dari tempat ini. Penasaran, aku berjalan mengikuti Google Maps ke The Elephant House, begitu ketemu ternyata tempat itu adalah restoran biasa yang dikelola oleh orang China. Bukan restoran Asia karena menu yang mereka sajikan pada umumnya adalah menu Western seperti pasta, sandwich, dan makanan berbau Western lain. Aku sempat ingin mampir tapi kuurungkan karena aku ingin pergi ke Maki & Ramen. Jadi aku hanya memotret The Elephant House dari luar. Rupanya kafe lain tidak mau kalah, ada sebuah kafe atau pub di area yang sama yang memasang tulisan "Harry Potter probably was written here too."

Puas jalan-jalan dan menemukan The Elephant House, aku memutuskan untuk mampir ke Maki & Ramen. Seharian itu aku memang belum makan sama sekali sehingga aku lapar banget. Aku mencari tahu kedai Maki & Ramen yang terdekat, seingatku ada sekitar tiga atau empat cabang Maki & Ramen di Edinburgh. Bagaimana aku bisa tahu Maki & Ramen? Suatu kali aku mengajak teman magangku untuk mencoba ramen di Bone Daddies. Banyak orang bilang bahwa ramen Bone Daddies adalah yang terbaik dan terenak di London dan aku ingin membuktikan hal tersebut. Saat kubawa ke sana, salah teman magangku bilang, "Di Edinburgh ada ramen yang lebih enak dari ini dan harganya lebih murah." Penasaran, aku sempat bertanya ramen apakah itu? Jawabannya adalah Maki & Ramen dan dia bilang, "Tapi di situ yang paling enak yang babi. Aku nggak tahu soal yang lain."

Bukan Agista namanya kalau nggak mencoba. Aku benar-benar mendatangi Maki & Ramen di dekat city centre, tepatnya di Leith Street, dekat juga dengan Calton Hill. Agar aman, aku memesan Beef Tataki Ramen. Pikirku karena beef kemungkinan bebas dari babi lah ya. Ternyata aku salah, "Sorry to ask you a sensitive question," tanya waitress-nya. "The broth of the ramen contains pork," jelasnya. "But I ordered beef tataki ramen, right? It's beef," kataku. "Yeah but you know the broth that being used is containing pork, are you okay with that?" Sempat muncul keraguan tapi akhirnya aku mengiyakan. Sebenarnya aku bisa saja mengganti pesanan ke Yakisoba tapi kuyakin Yakisoba-nya tidak akan senikmat rasa Aburamen Crispy Duck-nya Bone Daddies. Dan untuk kali pertama aku ingin makan mie berkuah sebab aku bosan dengan mie kering. Usai mengiyakan, aku istighfar. Izinkan aku sekali saja makan babi Ya Tuhan!

Pilihanku tidak salah, ramennya memang pedas dan nikmat. Jadi, memang se-enak inikah babi itu?

Beef Tataki Ramen, Maki & Ramen
Sama seperti judul postingan ini, hari pertama di Edinburgh membuatku sejenak lupa akan London. Aku meninggalkan hatiku di kota ini. Kalau disingkat, mungkin Edinburgh itu London dalam versi yang lebih melankolis dan British banget. London sangat diverse, ada begitu banyak jenis orang yang tinggal di kota itu. Edinburgh masih didominasi oleh British-vibe. Apalagi bangunan-bangunan tua di Edinburgh seperti menarikku ke dalam film kolosal Eropa zaman Renaissance. Aku tidak tahu pasti apa yang membuatku sangat menyukai Edinburgh.  Yang jelas selama empat hari berada di sana aku benar-benar menikmatinya.

Aku setuju dengan pendapat beberapa orang yang mengatakan bahwa Edinburgh itu cantik, kini aku telah membuktikannya secara langsung. Edinburgh juga bisa mengobati kekecewaanku akan Milan. Dari semua kota yang kukunjungi selama Winter Trip ini, sangat sulit untuk menentukan kota mana yang paling kusuka tapi kurasa Edinburgh dan Salzburg akan melesat ke prioritas utama kalau aku ditanya ingin tinggal dimana. Edinburgh juga membuatku jadi sangat melankolis, saat berada di sana aku ingin sekali menulis sebuah cerita yang tidak tahu apakah aku bisa menyelesaikannya atau tidak. Karena kisahku sendiri pun masih belum berakhir.

Meski aku sempat bersedih karena Mbak Dias tidak dapat menemaniku, Edinburgh lama-lama membuatku tidak merasa kesepian lagi justru membuatku bisa berimajinasi dengan lepas. Dan agar keesokan harinya aku jadi lebih siap, malam hari setelah pergi dari Maki & Ramen, aku menyusun itinerary. Aku memutuskan agar hari kedua di Edinburgh kuhabiskan untuk hiking saja. Aku ingin menguji diriku sendiri, seberapa kuatkah aku hiking sendirian dan apakah Edinburgh jauh lebih indah bila dilihat dari ketinggian?

Aku memutuskan untuk pergi ke Arthur's Seat dan Calton Hill keesokan harinya. Awalnya aku tidak punya gambaran bahwa Arthur's Seat akan benar-benar setinggi itu. Aku pergi dari airbnb seperti biasa dan turun di stop yang direkomendasikan oleh aplikasi Lothian Bus yakni Bernard Terrace. Rute bus yang kutempuh ini lebih panjang dari hari sebelumnya. Dengan naik bus itu, aku jadi tahu sudut-sudut Edinburgh yang lain dan mengetahui hal-hal yang tidak aku temukan di city centre. Bahkan aku pun sempat notice sejumlah restoran Korea dan Jepang yang tidak ada di city centre, lalu another Maki & Ramen. Melewati sejumlah kampus University of Edinburgh yang membuatku berpikir, "Apakah aku lebih baik mengambil PhD di sini saja?". Singkat cerita, aku jadi membayangkan segala macam kemungkinan.

Pagi itu aku belum sarapan sehingga aku mampir dulu ke Sainsburry's untuk membeli susu dan Croissant, sebenarnya aku agak tersiksa karena aku jadi sangat melankolis. Melihat brioche saja aku sudah merasa sangat sedih, ya roti itu mengingatkanku pada seseorang. Move on, aku hampir saja tersesat lagi! Alih-alih mengambil jalan menuju ke Arthur's Seat, aku malah mengambil arah sebaliknya. Karena ragu, aku mengecek Google Maps lagi. Ternyata firasatku benar, aku salah jalan. Setelah mengambil jalan yang benar aku kembali dilanda keraguan saat tiba di persimpangan. Papan penunjuk jalan menunjukkan belok kiri tapi aku tidak yakin kiri yang mana? Yang jalan raya atau yang lewat perumahan? Aku sempat berputar-putar di blok yang sama selama sekian menit sambil menghabiskan croissant-ku. Lalu melihat seorang pria yang bertanya pada satpam dan ditunjukkan jalannya untuk mengikuti palang itu saja. Akhirnya aku ikuti pria tersebut dan berharap kami mengambil jalan yang benar.

Setelah berjalan cukup lama melewati perumahan, jarakku dan pria tersebut makin mengecil. Dia berbalik arah dan melihatku, "Apa kamu mau naik ke atas?" dan kujawab iya. "Arahnya kemana ya?" tanyanya, dengan sok tahu banget aku bilang, "Kita jalan lurus saja sampai ketemu jalan raya depan situ terus belok kiri." Padahal aku sendiri tak tahu, hanya saja gut feeling-ku mengatakan bahwa jalan yang kutempuh ini benar. Faktanya? Memang benar! Aku dan pria itu jalan lurus hingga bertemu jalan raya lagi lalu belok kiri dan tada! Sampailah kami di Holyrod Park. Arthur's Seat-nya masih naik lagi ke atas.

Beruntung dekat dengan Holyrod Park terdapat peta offline. Aku lebih bisa memahami peta offline daripada GPS kadang-kadang, katakanlah aku ini aneh tapi itu fakta. Aku sangat jarang menyalakan GPS. Di London pun aku mengecek Citymapper tanpa menyalakan location, aku hanya butuh jalur transportasi dan selama ada peta atau denah offline aku akan bisa mencari suatu lokasi dengan tepat. Makanya ketika aku ditantang untuk hidup tanpa GPS selama seminggu aku pasti akan bisa mengiyakannya. Selain itu, alasanku jarang menyalakan GPS adalah agar Google tidak dengan mudah mendeteksi kemanapun aku pergi. Kalau dipikir-pikir ngeri juga gak sih kita diintai oleh satelit dan data kepergian kita direkam oleh internet?

Aku dan pria tersebut akhirnya sampai di tempat yang dituju dan hanya perlu hiking untuk sampai di Arthur's Seat. Saat mulai hiking, aku sempat ragu. "Ini beneran aku harus jalan sampai ke puncak sana? Like really? It's going to be really painful." Ditambah lagi, hari itu dingin dan anginnya sangat kencang. Sekali lagi, bukan Agista namanya kalau tidak menantang diri sendiri dan hidup dengan berbahaya. Aku meyakinkan diriku sendiri, "Kamu sudah jalan sampai sini, yakin nggak mau naik ke atas? Orang lain aja bisa naik ke atas."

Oke fine, aku mulai berjalan naik ke atas.

Medan hikingnya tidak seburuk itu kok ternyata, masih cukup landai dan masih bisa ditempuh dengan cepat. Dibandingkan dengan Budug Asu, medan hiking ke Arthur's Seat ini terbilang sangat nyaman. Namun tetap saja ada pikiran-pikiran buruk yang berkecamuk dalam otakku, contohnya: aku hiking sendirian nih kalau nanti terpeleset siapa yang bakal nolongin aku? Bagaimana kalau jalan setapak ini terjal lalu aku jatuh menggelinding dan mayatku tidak ditemukan? Bagaimana kalau ada ular yang tiba-tiba muncul atau jatuh ke coat-ku seperti yang kutonton di National Geographic Channel edisi Iguana Galapagos? Bagaimana kalau aku terbang ditiup angin yang kencang? Bagaimana kalau aku tidak bisa turun dari puncak?

Semakin naik ke atas, kekhawatiranku semakin berkurang tapi aku tetap meragukan diri sendiri. "Ini kalau aku jatuh gimana ya? Mana sendirian lagi." Saat itu aku langsung memikirkan judul headline berita kematianku.

Aku juga sempat ingin menyerah di tengah jalan, ingin sekali turun dari bukit itu karena aku benar-benar mendaki sendirian tapi aku menyemangati diri sendiri. "Hayo kurang sedikit lagi! Kamu harus bisa, orang lain bisa sampai ke atas masa kamu mau nyerah?" di saat yang sama aku merutuk diri sendiri, "Kamu tuh ya antara nekad dan cari mati sih. Kamu suka tantangan mbok ya jangan gini-gini amat." Ujung-ujungnya sebagai motivasi aku berbicara pada diri sendiri, "Kalau kamu bisa bertahan dan sampai puncak, berarti dalam hidup kamu juga harusnya bisa keluar dari masalah pelik dan jadi sukses."

Usai memaksa diri sendiri untuk terus berjalan, aku benar-benar sampai di Arthur's Seat dan it's worth it!



Di puncak Arthur's Seat, aku bertemu dengan Mbak-Mbak Australia yang telah lama tinggal di Edinburgh. Dia bilang banyak sekali orang yang jogging sampai ke atas sini dan dia juga merekomendasikanku untuk mampir ke bukit-bukit kecil di wilayah itu. Dalam hati aku berkata, "Aku tidak akan naik bukit lagi. Udah capek, udah tua." Faktanya yah aku masih mendaki bukit juga, yakni Calton Hill. Mbak-Mbak Australia itu aku mintai tolong untuk mengambil fotoku dan akhirnya kami sempat berbincang-bincang sebentar. Menuju perjalanan turun, kami berpisah jalan. Saat lihat banyak orang berlarian naik dan turun bukit, aku jadi ingat salah satu sahabatku di Malang. Dia suka sekali berlari dan tak jarang naik turun gunung dengan lari, mungkin bila dia ke Edinburgh dia akan suka berada di sini dan akan sering naik turun Arthur's Seat. Satu fakta lagi: ketika aku naik ke Arthur's Seat, cuacanya jadi tidak sedingin itu malah panas. Mungkin karena aku membakar cukup banyak kalori saat naik ke atas? Di lain sisi, kencangnya angin di puncak Arthur's Seat membuatku ngeri, saking kencangnya aku takut kalau aku benar-benar bisa tertiup angin.

Setelah turun dari Arthur's Seat aku memutuskan untuk menyimpan Calton Hill sebagai destinasi esok hari. Namun seringkali otak dan tubuhku tidak sinkron. Alih-alih kembali ke kota dan mencari makan karena kelaparan, aku malah berjalan menuju Calton Hill. Saat itu aku berpikir, "Kalau capek ya udah capek sekalian." Jadi aku lanjut jalan ke Calton Hill dan lagi, hampir tersesat. Itu karena aku mengikuti Google Maps.

Turun dari Arthur's Seat lalu sampai di Scotland Parliamentary membuatku bangga pada diri sendiri. Dari pelataran parlemen, aku bisa melihat ketinggian Arthur's Seat dan aku takjub. Wah, tadi aku benar-benar berada di atas sana ya? Hebat juga ya? Kekuatan nekad memang luar binasa. Kakiku sebenarnya sudah sakit dan ingin sekali duduk, istirahat, tidak mau naik bukit lagi tapi aku memaksanya. "Ayo sebentar lagi senja dan pasti pemandangannya bakal bagus banget." Aku memaksa diriku melewati jalan yang naik ke Calton Hill hingga aku sampai pada monumen yang jadi ikon Edinburgh yaitu Dugald Stewart monument. Aku tidak salah, sampai di atas Calton Hill senja menjelang dan aku berhasil mengabadikan sejumlah foto di sana meski tanpa bantuan tripod atau orang lain.

Ada kepuasan tersendiri ketika aku berhasil memenuhi ceklis atau itinerary begitupun dengan pencapaian seperti berjalan sekian langkah atau harus sampai di puncak pukul sekian. Padahal sebenarnya kalau aku mau pun aku bisa melakukan itu esok harinya. Kalau sudah bertekad aku memang bisa jadi orang semacam ini tapi kalau sudah bodoh ya bodoh aja sih.

Sampai di Calton Hill, lagi-lagi aku membuktikan bahwa orang Indonesia itu tidak ramah. Berbeda dengan orang Malaysia yang sering kutemui. Seperti kemarin contohnya saat aku berjalan-jalan sendirian di Oxford Circus, ada Bapak-Bapak Malaysia dan kebetulan kami bertukar pandang, beliau tiba-tiba menyapaku lalu bertanya apakah aku dari Indonesia? Kujawab Iya. Lalu beliau bertanya apakah aku sedang sekolah? Kujawab iya juga. Tanpa aku harapkan Bapak-Bapak itu bilang, "Wah Alhamdulillah, sukses selalu ya dek. Semangat ya." Saat di Salzburg pun begitu, orang Malaysia selalu menyapaku duluan, di Manchester juga, di Edinburgh juga aku bertemu dengan gadis-gadis Malaysia dan mereka ramah bila kuajak bicara. Orang Indonesia tidak demikian, aku bertemu dengan orang Indonesia di Old Town (pasangan suami istri) dan di Calton Hill, meski kami bertukar pandang atau tahu muka-muka kami orang Indonesia tidak ada senyum ramah atau sapaan sederhana. Bahkan meski aku tersenyum pun, tidak ada senyuman balik justru acuh tak acuh. Di situ aku merasa bahwa orang Indonesia ramah-ramah seperti yang dinyanyikan Trio Kwek-Kwek adalah kebohongan besar.

Orang Indonesia hanya ramah pada sosok yang mereka kenal.

Uniknya, ada seorang pria yang tiba-tiba mengucapkan Assalamualaikum padaku dan sebagai Muslim yang baik tentu kujawab dong. Setelah dia mengucapkan salam, aku pergi karena memang tidak ada yang perlu dibicarakan. Masih di Calton Hill, aku duduk sambil memindahkan foto dari kamera ke handphone. Pria yang sama datang mendekat dan bertanya siapa namaku. Demi keamanan, aku tidak menyebutkan nama asliku tapi nama samaran. Pria tersebut bertanya darimana asalku dan apakah aku sudah menikah. Aku memalsukan identitasku. Aku sering sekali bertemu dengan orang-orang semacam ini, orang yang menanyakan identitasku apakah sudah menikah atau belum. Beginilah risiko jalan-jalan sendirian. Untung masih aman-aman saja.


Usai menikmati senja di Calton Hill, aku memutuskan untuk turun dan kembali ke kota. Ternyata aku baru tahu bahwa Calton Hill itu lebih dekat dari kota daripada dari Arthur's Seat. Oke fix, aku yang semula hendak naik bus jadi mengurungkan niat dan memilih jalan kaki saja menuju city centre. Untuk kali kedua, aku melewati Maki & Ramen Leith Street. Malam itu aku memutuskan untuk makan Double Cheeseburger-nya McD saja sebagai bentuk penghematan.

Di McD pun tiba-tiba aku dimintai stiker kopi McD oleh seorang warga lokal. Di situ benar-benar berpikir, apakah memang hanya aku atau aku yang mainnya kurang jauh sehingga aku jarang sekali bertemu dengan orang yang jahat atau diskriminatif? Di hari berikutnya pun, seorang warga lokal malah mengingatkanku agar berhati-hati terhadap barangku.

"Excuse me," aku tidak menghiraukan panggilan itu sampai seorang wanita menepuk pundakku.
"Yes?"
"Do you leave your phone in your bag pocket? It's very visible. Better be careful," katanya.
"Don't worry it's just a power bank," jelasku. Memang power bank-ku ku biarkan ada di saku samping tasku sementara HP Androidku di saku depan tasku. Kupikir wanita itu merujuk pada hape androidku.
"I thought it was your phone. But you have to be really careful, okay? Make sure it's not visible."
"Thanks a lot, I appreciate that." Aku menurut saja, akhirnya aku selipkan power bank-ku lebih dalam agar tidak mengundang kejahatan.

Sampai saat ini aku masih belum bisa mengerti apakah aku memang terlalu naif atau aku memang hanya bertemu dengan orang-orang baik? Apakah aku yang memandang semua hal di dunia ini terlalu positif?

Hari ketiga, aku memutuskan untuk Harry Potter tour saja. Satu-satunya checklist yang belum aku lakukan adalah pergi ke The Boy Wizard meski aku sudah pernah pergi ke cabangnya yang ada di Yorkshire dan di London sudah ada Platform 9 3/4. Tetap saja, rasanya kurang afdol kalau tidak mampir ke The Boy Wizard langsung. Aku memutuskan untuk kembali ke city centre dan berjalan menuju Victoria Street tempat The Boy Wizard berada, konon Victoria Street ini adalah inspirasi JK Rowling dalam menggambarkan Diagon Alley.

Begitu masuk ke The Boy Wizard, aku tak berhenti membandingkannya dengan Platform 9 3/4. Sebagai potterhead London yang spoiled af, aku cuma berfokus pada satu item saja yakni passport case Platform 9 3/4. Ternyata produk The Boy Wizard dan Platform 9 3/4 cukup berbeda. Ada sejumlah barang yang ada di The Boy Wizard tidak tersedia di Platform 9 3/4 begitupun sebaliknya. Harga tongkat sihir pun lebih murah yang ada di Platform 9 3/4 daripada di The Boy Wizard. Aku hanya berputar-putar di toko dan daripada pulang dengan tangan kosong, aku membeli Butterscotch Beer. Apakah rasanya seperti Butterbeer? Mirip! Hanya saja Butterscotch Beer ini tidak dilengkapi dengan whipped cream. Yang jelas rasanya enak banget sih, ada aroma vanilla, rasa mentega, soda, manis, dan tidak memabukkan.

Lepas dari The Boy Wizard aku masih berjalan-jalan di sekitaran Victoria Street lalu masuk ke toko lainnya yakni Museum Context. Desain interior Museum Context benar-benar dibuat mirip dengan suasana film Harry Potter. Bahkan ada kepala Basilisk dan juga cermin yang bertuliskan "Chamber of Secrets has been re-opened. Enemy of the heir, beware." yang ditulis dengan darah (re: lipstik) ada juga pojokan yang bisa digunakan untuk mengambil foto secara gratis! Usai berfoto-foto, tanpa tahu malu aku keluar tanpa membeli apa-apa.

Aku melanjutkan perjalanan hingga senja kembali ke kawasan Road Mile dan St. Mary King's Close. Aku ingin menemukan Greyfriars Kirke tapi tidak kunjung ketemu, aku malah bertemu tiga ekor Husky yang ganteng tapi aku nggak berani mendekat karena mereka besar. Akhirnya aku berkeliling toko mencari souvenir dan sempat masuk ke dalam museum of childhood. Di penghujung hari, aku sempat ingin masuk ke dalam Writer's Museum tapi aku tidak berani karena aku harus meninggalkan backpack. Aku ragu apabila aku masuk dan ditegur oleh petugas padahal ternyata ada Bapak-Bapak dan seorang anak yang masuk saja tanpa meninggalkan ransel mereka.

Aku menutup hari itu dengan makan Chicken Curry Sainsburry's dan istirahat di airbnb.

Aku melewatkan Christmas Market Edinburgh karena aku sudah sering mengunjungi Christmas Market di sejumlah kota lain sebelum ini dan lagipula aku juga sudah minum Kinderpunsch. Aku melewatkan kunjungan ke Glasgow karena kupikir Glasgow tidaklah se-menarik itu meski temanku hendak merekomendasikan aku sebuah tempat makan yang enak. Aku juga melewati museum-museum karena kupikir, "Museum di London aja belum aku jelajahi." Oh my God! Aku sudah mau pulang tapi aku masih belum masuk ke Natural History Museum London!

Terlepas dari hal-hal yang kulewatkan itu, aku sangat menyukai Edinburgh. Empat hari di sana rasanya tidak cukup, aku masih ingin terus tinggal. Untuk kali pertama aku berkata, "Apakah aku harus balik ke London?" Padahal selama ini London adalah kota yang paling kucintai dan kurindukan. Akhir kata, meski aku bilang London adalah kota yang paling kucintai atau Edinburgh adalah kota yang paling kusukai, aku harus kembali ke Indonesia dalam waktu dekat. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali ke kota-kota indah yang kusukai di Eropa ini? Hanya waktu yang bisa menjawab. Setidaknya, aku sudah pernah ke sana dan aku sangat bersyukur pernah berkunjung ke kota-kota tersebut. Tidak semuanya indah tapi semuanya punya kesan tersendiri untukku.

Bye Edinburgh! Bye my love! See you when I see you!

Victoria Street, Edinburgh
Museum Context, Edinburgh







If only you were here with me then it would be perfect, you know that? 

Comments