Post Graduation Anxiety and Stupidity


Saat menuliskan ini, jujur aku rindu sekali dengan London. Padahal masih belum ada seminggu sejak aku meninggalkan kota itu untuk pulang for good. Terus terang aku masih berusaha untuk beradaptasi lagi dengan lingkungan di Indonesia. Di satu sisi, aku senang aku bisa berbahasa Jawa dengan bebas lagi. Di sisi lain, aku merasa ada yang hilang dari hidupku. Bisa jadi itu kebiasaan atau entah apa aku tidak bisa menyebutkannya. 

Saat aku menulis postingan ini, aku berada di Jakarta. Yang ada dalam pikiranku hanyalah bisa menyelesaikan deadline artikel yang ditawarkan padaku dengan honor yang lumayan. Sayangnya hingga saat ini aku belum bisa menyelesaikan tulisan tersebut akibat keterbatasan internet dan waktu. Agak susah juga membagi waktu selama beberapa hari terakhir karena aku jadi sibuk banget. 

Hari pertama pulang, aku malah bersih-bersih rumah karena sepeninggalku baik kamar maupun dapur bentukannya tidak jelas dan aku tidak nafsu makan melihat barang-barang menumpuk begitu saja. Hari kedua, aku beres-beres koper hingga malam dan menata ulang kamarku. Hari ketiga, orangtuaku mengajakku pergi ke Taman Safari untuk liburan. Hari keempat aku bertolak ke Jakarta untuk mengikuti preliminary assesment keesokan harinya. Dan ini adalah hari kelima kepulanganku, selesai mengikuti tes aku ada janji dengan salah seorang kenalan yang ujung-ujungnya dia tidak menemuiku. Oke. 

Selama lima hari pulang, aku belum bertemu dengan teman-temanku atau orang-orang yang ingin sekali aku temui. Malah seperti biasa, aku melakukan banyak kebodohan. Hari ini contohnya, sudah tahu akan menghadapi preliminary assesment tapi aku malah tidak membawa berkas-berkas yang dibutuhkan seperti transkrip, ijazah, pas foto, dan juga fotokopi KTP. Aku baru menyadari hal tersebut tadi pagi setelah mengecek ulang e-mail dari perusahaan tempatku melamar. Malam sebelumnya, temanku juga sudah menyinggung hal tersebut, “Kamu bawa ijazah gitu-gitu Gis?” lalu kujawab, “Engga deh. Eh jangan gitu dong, aku jadi keliatan nggak siap nih. Kayaknya gak dimintain deh,” kilahku sebagai sosok yang paperless-oriented atau malah careless-oriented

Begitu aku mengecek e-mail paginya, aku langsung menepuk jidat. “Agista, Agista, kamu niat kerja nggak sih?” Di situ aku sangat kesal terhadap diriku sendiri. Bukan Agista memang namanya kalau nggak punya kisah ajaib seperti ini. Karena Gojek sudah menjemputku, seperti biasa aku jadi bodo amat. “Yah kalau nanti ditolak nggak boleh masuk ya sudah, pasrah saja.” BAHKAN AKU NGGAK BAWA PENSIL 2B! Jadi aku terpaksa meminjam peserta lainnya. Faktanya, aku masih bisa mengikuti preliminary test. Oke. 

Lalu bagaimana dengan kisah preliminary assessment-nya? Sejauh yang bisa kukatakan, I’ve done well. Ada dua tes yakni Bahasa Inggris dan Assurance karena aku melamar untuk posisi Junior Auditor. Sejak mendapatkan e-mail sebenarnya aku sudah khawatir dengan ingatanku soal audit dan akuntansi karena sudah lupa-lupa ingat. Malam sebelumnya, ada seniorku semasa kuliah S1 mampir dan mengajariku sejumlah hal. Bahkan beliau mengirimkanku ‘kitab suci’ mahasiswa Akuntansi. Terus terang aku tidak cukup persiapan dan selama mengerjakan aku hanya main logic saja. Untuk tes bahasa Inggris, aku cukup puas dengan pekerjaanku karena aku tahu aku bisa mengerjakannya lebih dari 90%. Jadi saat ini tugasku tinggal berdoa dan menanti keputusan apakah aku lolos ke tahap berikutnya atau tidak. 

Kalau tidak lolos, masih ada dua tes dari dua perusahaan yang berbeda yang harus aku lakukan. Untungnya tes dari dua perusahaan tersebut bisa dilakukan secara online. Aku sempat kepikiran untuk ngekos di Jakarta saja tapi yah siapa tahu? Dilihat nanti saja rezeki dimana. 

Ada lagi kebodohan lain yang kuperbuat yakni lupa PIN ATM rekening BCA-ku. Seingatku, semua PIN ATM-ku aku samakan. Namun sudah tiga kali aku gagal memasukkan PIN yang benar sehingga ATM-ku diblokir dan aku jadi terpaksa menggunakan kartu Monzo. Monzo, terima kasih karena telah menyelamatkanku agar tidak jadi gelandangan. Padahal saldo yang ada di Monzo sengaja aku simpan untuk membayar biaya shipping koper dari UK ke Indonesia yang akan kuceritakan di bawah. 

Sehubungan dengan ATM yang terblokir, aku sudah mencoba berbagai cara termasuk menelepon Halo BCA dan datang ke KCP terdekat tapi aku benar-benar lupa dengan PIN ATM. Masalahnya bila aku benar-benar lupa, maka aku harus mengganti PIN tersebut dengan mengunjungi kantor cabang tempatku membuat rekening BCA, yang mana itu adalah di Malang! Betapa nggak efektifnya sistem perbankan di Indonesia kan? Kesel nggak sih? Dari sekian banyak peluangku, akhirnya aku mengingat PIN ATM-ku setelah Halo BCA membantuku membuka blokir kartu. Satu kali percobaan mengecek kebenaran PIN salah, kedua kali juga salah, di kali ketiga untungnya benar. Dan aku bisa selamat sekali lagi. 

Kalau tidak selamat, masih ada Monzo sih. 

Saat di bandara minggu lalu, temanku berkata, “You are a lucky bastard Agista.” didukung oleh pernyataan Mas Adjuy, teman satu flat-ku dulu. “Agista ini memang lucky bastard kok tapi masalah travelling dan begini begitu selalu sial.” 

Kalau dipikir-pikir iya juga, di satu sisi aku ini beruntung sekali. Di sisi lain ya sial karena kebodohan diri sendiri. 


H-2 pulang ke Indonesia pun hidupku masih dipenuhi oleh drama, yakni drama tidak mendapatkan tiket pesawat. Ceritanya, aku sudah memesan tiket pesawat untuk pulang for good pada organisasi yang membiayai kuliahku di Inggris sejak akhir November. Namun karena masalah birokrasi dan penerima beasiswa bukan hanya aku, urusan jadi tertunda-tunda. Yang pertama, aku diminta untuk melakukan laporan kelulusan. Begitu mendapatkan notifikasi, aku langsung melakukan laporan kelulusan dan mengunggah transkripku ke dalam sistem. Sayangnya, permohonan tiketku masih ditolak karena aku belum mengunggah ijazah. Sementara itu, ijazahku baru bisa kuterima saat aku wisuda pada tanggal 19 Desember 2018 dan aku berencana pulang tanggal 21 Desember 2018. Terbentur masalah ijazah, aku berusaha untuk mem-follow up berkali-kali pada divisi terkait dan menjelaskan kondisiku. Hanya saja butuh berhari-hari bagi mereka untuk memproses enquiries-ku hingga aku mendapatkan keputusan diperbolehkan pesan tiket tanpa unggah ijazah lebih dulu. Ketika aku sudah mendapatkan approval dari divisi pelaporan, divisi pembelian tiket masih menolak permohonanku. Jujur saat itu aku sangat kesal karena kesannya tidak ada komunikasi yang baik antar divisi dalam organisasi tersebut. Hingga H-1, aku masih belum mendapatkan tiket kepulangan dan akhirnya aku memperpanjang waktu tinggalku di Airbnb. Untungnya host Airbnb-nya baik dan untung juga banyak sekali orang yang mau menawarkanku tempat tinggal. Agista beruntung dikelilingi oleh orang-orang baik. 

Setelah aku memutuskan untuk memundurkan waktu kepulangan ke tanggal 22 Desember 2018, aku bersikeras mendapatkan tiket pesawat pada tanggal 21 Desember 2018. Pagi-pagi sekali aku bangun dan berkomunikasi dengan PIC Tiket. Setelah bertukar e-mail berkali-kali, akhirnya permohonan tiketku dikabulkan dan aku fix pulang keesokan harinya. Kalau kalian bertanya, apakah harganya jadi mahal? Oh ya tentu saja tapi kan kejadian semacam ini bukan salahku karena aku sudah mengajukan permohonan sejak hampir satu bulan sebelumnya. 

Masalah pertiketan selanjutnya adalah bagasi. Jujur saja, H-1 kepulangan tidak membuatku rileks tapi justru membuatku stress. Dengan harga tiket yang cukup mahal, kuota bagasi yang kudapatkan hanyalah 35 kg. Sementara barang-barangku sejumlah tiga koper kalau ditotal bisa mencapai 50 kg. Awalnya aku berharap akan mendapatkan kuota bagasi 23 kg x 2 karena waktu aku berangkat ke Inggris jumlah itu yang kudapatkan. Agista sepertinya tidak kapok berpikir positif.

Aku juga sempat mendiskusikan hal ini dengan organisasi beasiswa tersebut dan mencari alternatif maskapai lainnya. Faktanya justru maskapai yang dipilihkan oleh organisasi tersebut adalah yang paling cocok untuk kondisiku. Ada satu maskapai lain yakni Garuda Indonesia yang bisa memberikan bagasi 40 kg tapi aku harus memesan sendiri (tanpa melalui organisasi beasiswa) dan membayar sendiri. Sebenarnya total harga bisa di-reimburse tapi aku berpikir hal itu justru akan makin rumit di lain hari. Jadi, aku memilih ikut tiket pilihan mereka saja. 

Terlepas dari drama ‘Hampir Jadi Homeless di London’, aku bisa dibilang cukup beruntung karena mendapatkan tiket tidak terlalu jauh dari tanggal ekspektasi kepulanganku. Akhirnya, aku tetap bisa pulang dengan tenang. 

Masalah bagasi yang kelebihan pun bisa kuatasi dengan cara menitipkan salah satu koperku pada temanku yang baik hati, Shaheera dan baru akan ku-shipping pada Januari nanti. Sekali lagi keberuntunganku ini nggak lepas dari keberadaan orang-orang baik di sekitarku juga kok. 

Dalam perjalanan pulang pun aku sempat mendapatkan pesawat dengan kursi kosong di sebelahku sehingga aku bisa tidur tanpa perlu menekuk lutut. Beruntung sekali bukan? Yah keberuntunganku mungkin mentok di situ-situ saja sih, kebodohanku yang rasanya tidak ada batasnya. Seharusnya semakin bertambah usia dan lulus S2, aku jadi tambah bijak dan dewasa. Yang terjadi malah sebaliknya, aku jadi makin bodoh dan ceroboh sampai pada taraf aku tidak sanggup menghadapi kecerobohanku lagi. Gila banget sih, kalau begini mana bisa aku jadi Ibu yang baik bagi anak-anakku nanti? 

Itulah mengapa sebenarnya aku tidak terlalu bahagia atas kelulusanku. Aku malah sepertinya mulai merasakan gelombang low self-esteem pasca lulus dari pendidikan Master-ku. Satu, aku tidak sepintar ekspektasi orang-orang dan aku tahu betul hal tersebut. Boleh jadi aku lulus membawa gelar Master atau lulusan London tapi sebenarnya tidak ada yang istimewa dari diriku, aku tidak terlalu punya skill yang helpful dalam membangun karirku sebagai praktisi nantinya. Apalagi setelah aku bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih cerdas daripadaku, rasanya levelku berada di tingkat terbawah dari yang paling bawah. Ya begitulah pokoknya. 

Lulus memang membuatku bahagia tapi lebih banyak membawa anxiety dan keraguan pada diriku sendiri. Seperti: apa yang harus kulakukan selanjutnya? Atau bagaimana caraku memanfaatkan ilmuku ini? 

I always have a plan but sometimes it doesn’t work

Selesai preliminary test ini saja, aku pasrah. Aku tahu betul aku tidak memberikan kemampuanku dengan maksimal dan aku tahu betul kalau itu asalnya dari diriku sendiri. Dengan low self-esteem ini aku selalu merasa I’m not good enough and I don’t think I will get it. Oleh sebab itu aku memilih untuk just get over with it. Prinsipku: yang penting mencoba karena tidak ada salahnya mencoba. Begitupun mencoba untuk menjemput jodoh yang nampaknya memang bukan jodohku. Lupakan bagian terakhir. 

Sebenarnya di hari kelulusanku dan beberapa hari sebelum aku pulang, aku terlibat percakapan yang cukup serius dengan teman-teman terdekatku. Percakapan tersebut cukup penting dan cukup membantuku meningkatkan self-esteem. Temanku Rochelle berkata, “Just be yourself Agista. Never think that you’re not good enough. You have value.” ditambahkan oleh Aimee, “You have internship experience here, volunteering, you’ve done well.” Bahkan Rochelle sempat bilang, “Once again you said that you’re nothing, I will slap your head bitch.” 

I don’t know man. There are lots of people who are better than me that’s why I don’t think I deserve a powerful position. However thanks for supporting me, that means a lot. 

Beberapa hari terakhir ini pun selain galau soal London karena hatiku masih tertinggal di sana, aku juga jadi sering mempertanyakan introversion-ku. Beberapa tahun terakhir, aku memang memilih untuk menjaga agar circle-ku tidak terlalu melebar. Fakta bahwa ternyata ada begitu banyak significant people in my life sepertinya tidak linear dengan trait introversion-ku. Bukan hal yang buruk sebenarnya punya banyak teman tapi jadi agak tidak konsisten saja nggak sih? 

Jujur aku masih merasa agak canggung berada di Indonesia saat ini. Bila sebelumnya aku sangat menyukai Malang karena aku tahu betul seluk beluk jalanan di Malang Raya, kini berada di kota tersebut aku justru merasa asing. Sebisa mungkin aku menjaga agar tidak terlalu ke-London-London-an tapi dalam hati sebenarnya aku sangat sedih. Sedih harus kembali lagi ke tempat yang sama dan menghadapi batasan yang sama. Seperti yang kubilang, London memberiku kesempatan seluas-luasnya untuk jadi diriku sendiri dan aku sudah terbiasa berjalan dalam waktunya. Kembali ke Malang berarti aku harus menyesuaikan diri lagi. Lalu fakta bahwa saat ini aku berada di Jakarta pun demikian, Jakarta mungkin memiliki sejumlah hal yang dimiliki London tapi dia berbeda. Jakarta ya Jakarta, London ya London. Mau tidak mau, suka tidak suka aku harus menghadapi kenyataan kan? Kenyataan bahwa Only God knows when I will be back to London. Bisa jadi saat aku kembali ke London, aku lupa rasanya mencintai kota itu. 

Toh di minggu-minggu terakhir saat aku masih di London aku juga galau. Karena terlalu banyak jalanan, tempat, dan kenangan yang menyeruak. Agak pedih sebenarnya ketika aku melewati sejumlah ruas jalan tapi teman-temanku tak lagi ada di sana. “I want to cry but I just can’t,” ucapku pada Aimee. Lalu dia menyarankanku untuk menghindari jalan-jalan yang membuatku jadi ingat kenanganku selama di London. Bagaimana mau menghindar dan lupa? Hampir semua sudutnya punya cerita. 

Sebenarnya bagian akhir tulisan ini agak cringe dan berlebihan sih tapi ya memang Agista anaknya agak lebay kok. Anaknya suka mengenang soalnya, emosional juga. Maklumi saja, penulis jadi sukanya keingetan hal-hal gak berguna. 

Lalu apakah inti dari postingan tidak berfaedah ini? Yang jelas saat ini aku sedang butuh wadah untuk mengungkapkan ide-ide yang ada di kepalaku, berikut juga kegelisahan. Platform yang paling tepat untuk menuliskannya ya blog ini. Hanya di sini aku bisa bercerita secara bebas mengenai apa yang sedang aku alami, termasuk menceritakan kebodohan-kebodohan parah yang aku lakukan. Saat ini pun, aku masih berharap bahwa aku akan sembuh dari kecerobohan parah yang aku lakukan. Aku juga berharap untuk bisa menjadi sosok yang percaya diri lagi. Semakin ke sini aku semakin kehilangan kepercayaan diri dan tumbuh semakin naif. Aku juga berharap dengan menuliskan kegalauanku soal London, lambat laun aku akan bisa get over it. Bagaimanapun hidup terus berjalan dan aku harus terus berlari mengejar ketertinggalan atau mengejar jodohku yang hampir-hampir tak bisa diraih? Lupakan bagian terakhir.

Comments