Financial Planning 101: Tips Perencanaan Finansial untuk Pemula

cr: PCMag
Beberapa waktu terakhir, cukup banyak teman yang bertanya padaku mengenai financial planning terutama soal personal finance. Karena di usia 20-an akhir sepertiku ini, nggak ada guide khusus untuk jadi orang dewasa. Berbeda dengan hal-hal lain yang bisa dipelajari di sekolah, nggak ada yang ngebantu kita untuk tumbuh dewasa terutama di masalah yang berhubungan dengan keuangan. Itu yang jadi concern generasi Y sepertiku dan teman-teman. Beruntungnya, aku sudah lebih dulu belajar akuntansi dan ekonomi, sedikit banyak jadi lebih mengerti daripada teman-temanku. Walaupun aku sendiri harus mengakui bahwa aku juga masih butuh banyak belajar. Menjadi lulusan akuntansi atau finance tidak lantas membuatku jadi seorang konsultan keuangan juga.

Yang perlu digarisbawahi dalam postingan ini adalah aku berbagi pengalaman mengatur keuanganku dan mari kita sama-sama belajar mengatur keuangan bersama. Perlu dicatat juga bahwa sebenarnya aku merupakan seorang impulsive buyer, kalau ada benda atau sesuatu yang aku inginkan (dan selagi ada uang) aku pasti akan rela merogoh kocek untuk mendapatkan barang tersebut. Oleh sebab itu, tujuan tulisan ini selain berbagi pengalaman mengatur keuangan yang baik juga bisa jadi pengingatku untuk mengurangi kebiasaan impulsive buying.

Pertanyaan umum yang sering diajukan padaku (dan sebagian sudah terjawab di podcast) adalah sebagai berikut:
  1. Di usia kita ini, berapa banyak aset yang harus dimiliki agar terbilang "financially safe"?
  2. Bagaimana sih cara kita menabung dengan baik?
  3. Lebih baik uangku di-apakan ya?
  4. Gimana caranya agar kita bisa ngerem jajan dan lebih semangat menabung?
Sebenarnya angka untuk mencapai predikat "financially safe" masing-masing orang berbeda-beda. Mengapa? Karena masing-masing orang tentu punya kebutuhan yang nggak bisa dipukul rata ke semua orang. Namun menurut beberapa sumber serta artikel Jenius ini, dana darurat yang disarankan adalah 3-12 kali pendapatan. Jadi kalau pendapatan kamu sekaran Rp 5 juta, maka setidaknya kamu harus punya tabungan Rp 15-60 juta. Kelihatannya besar dan berat ya? Memang. Oleh sebab itu, lagi-lagi hal ini dikembalikan ke pribadi masing-masing.

Beberapa saat yang lalu, aku juga ditanyai oleh temanku: "Untuk modal nikah aku butuh berapa ya? Rasanya di usia segini kok uangku habis dan nggak punya tabungan?" Pertanyaan tersebut lalu merembet ke dana minimal di tabungan yang harus dia miliki. Di kasus temanku ini, dana daruratnya bahkan tidak sampai 3 kali gaji sementara dia dikejar target untuk menikah dalam waktu dekat. Cukup susah, bila dilihat dari kacamata teori. Namun begitu aku tanyakan break down bulanan dari penghasilan dan pengeluaran yang dia lakukan, hal itu jadi wajar. Ternyata salah satu pengeluaran terbesarnya adalah untuk pendidikan yang mana bisa digunakan untuk menaikkan standar gajinya di masa depan. Nah, hal ini disebut sebagai hutang produktif. Sayangnya, realistically speaking dia harus bekerja dua kali lipat lebih keras untuk memenuhi kebutuhan target tabungan pernikahannya. Solusinya adalah dengan menambah income dari hal lain atau mengundur tanggal pernikahan.

Kasus kedua, temanku bekerja di tempat yang sama denganku. Bisa kubilang, untuk perencanaan keuangan dia lebih detail dan matang daripadaku. Karena suatu hari dia pernah memberi tahu break down pengeluaran bulanan lengkap dengan pos tabungan yang dia punya. Salah satunya adalah tabungan pernikahan. Anak ini bisa kubilang visioner, dia membagi pos simpanan tidak hanya di satu keranjang (pot) tapi di berbagai macam instrumen. Dia juga konsisten menjalankan kehidupan sederhana dan berhemat agar tujuannya tercapai. Yang bisa dicontoh dari temanku yang satu ini adalah: 1) mencatat dengan detail goals, break down pendapatan dan pengeluaran; 2) konsisten dengan prinsip berhemat untuk mempercepat pundi-pundi simpanan; 3) membagi simpanan ke dalam berbagai macam instrumen; 4) tetap tidak lupa bersedekah dan memberi bagian untuk orangtua.

Berlanjut ke pertanyaan kedua, belajar dari temanku di kasus kedua ada hal yang penting untuk membuat kita bisa menabung dengan baik yaitu melakukan pencatatan. Di Behavioural Finance, yang semacam ini disebut dengan Salience yang berarti kelihatan. Psychologically, manusia itu kalau melihat sesuatu secara langsung jadi aware/waspada. Misal nih, kita ngeliat harga barang di Ind*maret jadi mahal ketika pajak yang dikenakan atas barang tersebut tertera di harga barang. Akhirnya kita nggak jadi beli. Sama, dengan mencatat pengeluaran kita jadi bisa melihat seberapa banyak uang yang kita terima atau keluarkan per bulannya. Hal itu membuat kita sadar kapan kita harus berhenti jajan, kapan kita harus mulai nabung.

Aku mulai mencatat penghasilan dan pengeluaran sejak temanku (yang berbeda lagi) memperkenalkan aplikasi Money Manager. Awalnya dia bilang: "Biar tahu aja seberapa banyak uang yang kita keluarkan per bulan." Belajar dari dia, aku mulai merunut satu-satu pengeluaran yang aku lakukan tiap harinya. Ternyata memang berpengaruh, karena aplikasi ini bisa menunjukkan total pengeluaran untuk satu sub akun per bulannya. Sedikit banyak cukup membantu dalam hal mengerem pengeluaran tidak penting serta membantu kita tracking di pos mana sih sebenarnya keuangan kita bocor? 

Apalagi Money Manager ini juga bisa di-back up via e-mail. Bahkan versi pro-nya bisa digunakan di dua device (smartphone dan laptop). Untuk versi aplikasi lain yang lebih canggih dari Money Manager, ada yang sampai bisa dihubungkan dengan akun bank sehingga saldo di bank terupdate real time dengan aplikasi. Kini, sudah dua tahun aku menggunakan Money Manager. Manfaatnya sudah bisa membagi keuangan ke dalam pos-pos berbeda setiap bulannya serta memonitor belanja yang perlu diprioritaskan atau tidak perlu diprioritaskan. Padahal awalnya aku hanya mencatat pengeluaran, sekarang sudah bisa membandingkan antara pengeluaran dan penghasilan. Kira-kira besar pasak daripada tiang tidak? Kira-kira wishlist mana yang sudah tercapai?





Yang perlu dicatat juga agar konsisten menabung adalah: menentukan skala prioritas. Kita nggak bisa memenuhi wishlist dalam satu waktu kecuali bila kita mau trade-off (mengorbankan) konsumsi kita untuk hal lain di masa depan. Skala prioritas ini bisa kamu tentukan sendiri disesuaikan dengan kebutuhan, kira-kira apa sih yang lebih mendesak bulan ini? Dari situ kamu bisa hitung berapa saldo yang ada saat ini dan berapa yang kamu butuhkan untuk memenuhi prioritas nomor dua dan ke-sekian setelah prioritas pertama tercapai. Menentukan skala prioritas ini juga membantu sekali untuk menghindari impulsive buying. Meskipun harus kuakui, kadang aku suka melanggar skala prioritasku sendiri (karena prioritas yang lain tergeser) hahaha.

Nah setelah keresahan tabung-menabung ini dilalui, pertanyaan selanjutnya adalah: Uangku diapakan? Apalagi buat beberapa orang yang tiba-tiba kena durian runtuh, dapat THR misalnya atau dapat bonus tahunan yang jumlahnya cukup besar (lump sum). Biasanya pilihan pertama untuk menyalurkan uang dalam jumlah besar adalah deposito. Seperti yang kujelaskan dalam podcast, deposito ini paling aman tapi return-nya juga paling kecil. Deposito bermanfaat untuk menjaga agar kita tidak membelanjakan uang dalam jumlah besar ini dalam waktu singkat, kayak uang kaget itu. Deposito ini juga bisa menjadi wadah pertama sebelum kamu yakin mulai investasi di hal-hal lain seperti: saham, obligasi, sukuk, atau reksadana. Lagi-lagi mengenai instrumen finansial yang tepat dengan individu sebenarnya disesuaikan dengan kebutuhan individu tersebut. Masing-masing orang memiliki preferensi risiko yang berbeda, solusinya adalah bekali ilmu investasi dulu, banyak membaca dan bertanya, lalu sesuaikan dengan kebutuhan.

Di kasus temanku yang kedua, dia memilih untuk menyimpan uangnya dalam tabungan emas karena dianggapnya lebih menguntungkan. Sementara aku tidak demikian karena aku memandang bahwa emas adalah komoditas yang mana harga naik-turunnya tidak terlalu menguntungkan untukku. Sementara ini aku menabung di deposito dan uang valas (ini juga sebenarnya naik turunnya cepat banget sih) tapi sekalinya naik, aku bisa untung lumayan banyak. Yang jelas sebelum memutuskan untuk berinvestasi pelajari dulu risiko investasi tersebut dan sesuaikan dengan kebutuhan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Bila ingin aman, pilihan yang paling tepat adalah deposito atau reksadana. Dan di masa pandemi ini, disarankan untuk tidak investasi di peer-to-peer lending atau saham karena kondisi ekonomi sedang melemah.

Yang terakhir, bagaimana agar kita konsisten menabung dan ngerem jajan? Biasanya pertanyaan ini sering banget ditanyakan di base menfess (contohnya pake base menfess karena aku lagi observasi financial behaviour fangirl). Kembali lagi ke poin di atas, konsisten dan tentukan skala prioritas. Uniknya, anak-anak fangirl ini memiliki cara tertentu untuk menabung dalam membeli barang mereka inginkan (e.g: album, merchandise, tiket konser). Yang pertama adalah menabung manual, iya masih menggunakan celengan yang tidak bisa dicukit/dipecah sebelum waktunya. Tips menabung yang bisa dipakai adalah menabung sesuai dengan konten yang diberikan oleh bias. Sebenarnya hal ini sempat aku singgung di podcast karena hal ini menarik, siapa tahu nggak cuma fangirl aja yang sukses mempraktikkan hal ini tapi kita-kita juga. Menabung dengan cara self-rewarding secara psikologis tidak membebani karena kita melakukannya dengan sukarela.

Jadi, anak-anak fangirl ini menerapkan standar tabungan sebagai berikut:
  • Menabung Rp 5.000 bila bias nge-twit
  • Menabung Rp 10.000 bila bias memposting selca
  • Menabung Rp 15.000 bila bias melakukan Live Broadcast
  • Menabung Rp 25.000 bila bias menang di acara music show
  • dan seterusnya
Kelihatannya mungkin angkanya kecil tapi bila dilakukan dengan penuh cinta dan konsistensi jumlahnya akan jadi besar, target tabungan tercapai. Sesuai dengan peribahasa: sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit kan?

Ada juga cara unik (alias nudging) yang diinisiasi oleh salah satu challenger bank di UK yakni Monzo. Ada challenge untuk menabung 1.65 pence per minggu yang otomatis dipotong dari saldo aktif Monzo, sehingga dalam setahun terkumpul sekitar ratusan poundsterling. Baru-baru ini bahkan ada challenge untuk menabung via Twitter dengan cara mengkoneksikan akun Twitter dengan akun Monzo. Jadi, setiap kali nge-twit maka secara otomatis saldo aktif akan terpotong dan berpindah ke pots (sub-tabungan yang tidak bisa diambil) dan terkumpul di sana. Bayangkan, kalau komitmen 1 Tweet menabung £1 maka jika dalam sehari ngetweet 100 kali maka akan terkumpul £100 tanpa disadari. Menarik bukan?

Sebenarnya ada banyak cara untuk membuat kita konsisten menabung tapi lagi-lagi semua kembali pada diri sendiri. Apakah kita sendiri sudah firm dengan jalan untuk berhemat? Atau justru kalah karena racun jajan ini itu? Kini Jenius pun sudah hadir lho untuk mengakomodasi kesusahan kita dalam menabung, tinggal kitanya sendiri yang niat apa nggak untuk menambah pundi-pundi tabungan tersebut. Kalau orang lain bisa, masa sih kita nggak bisa? Hehehehe.

Akhir kata, yang perlu disadari dalam merencanakan tabungan atau rencana keuangan adalah seberapa kuat keinginan kita untuk mencapai tujuan. Everything will eventually find its way to be achieved. Jangan berkecil hati kalau belum punya tabungan banyak, nggak pernah ada kata terlambat untuk memulai kebiasaan baik. Dan mari kita belajar sama-sama! Yok bisa yok! Jangan lupa dengarkan podcast ber(nir)faedah di bawah ini. Kalau ada pertanyaan, silakan langsung tulis komentar di bawah!


Comments