Respect is Earned not Forced

Barusan aku melihat adikku melaksanakan seleksi wawancara untuk masuk ke OSIS. Yang membuatku tergelitik untuk menulis adalah kenyataan bahwa feodalisme di Indonesia ini sudah mendarah daging dan sepertinya susah untuk dihilangkan. Padahal untuk menjadi orang yang dihormati dan membuat diri terlihat lebih baik itu nggak perlu pakai menjatuhkan, menyudutkan, atau membuat orang lain merasa kerdil. Dan ya, aku sangat bermasalah dengan feodalisme dan senioritas. Dan penyakit orang Asia ini memang sepertinya adalah merasa yang paling tua, merasa paling berpengalaman, merasa memiliki jabatan yang lebih tinggi sehingga membuat mereka enggan mengakui kesalahan atau bersifat andhap asor kalau kata Orang Jawa. Maunya dihormati karena jabatan, usia, dan pengalaman mereka. Tapi mereka nggak sedikit pun terpikirkan untuk membuka pikiran atas ide orang yang lebih muda dan tidak terlalu berpengalaman.

Contoh nyata adalah ketika adikku diwawancara dan diberikan pertanyaan mengenai senioritas, menurut si kakak kelas ini senioritas ini terbatas di ruang lingkup jarak jabatan, usia, dan pengalaman. Padahal senioritas ini merupakan perlakuan. Memang ada orang yang lebih senior, lebih berpengalaman, tapi hal tersebut tak lantas membuat mereka berhak melakukan power abuse. Ini yang menurutku jadi salah kaprah. Karena merasa lebih tua dan berpengalaman, yang senior selalu merasa lebih benar dan lebih punya kuasa. Padahal kita kan sama-sama manusia, sama-sama belajar. Tidak peduli berapa lama pengalaman yang dia punya, the world is constantly changing. Kita nggak bisa bertahan pada prinsip-prinsip yang lama. Lagipula, kalau terlalu berpatok pada pengalaman, kita akan terpapar pada bias anchoring and adjustment atau conservatism bias. Yang mana sebenarnya akan mempengaruhi cara objektif kita dalam memecahkan masalah. Bagaimana bisa kita menjadi masyarakat madani kalau cara berpikir kita masih terlalu terpaku pada masa lalu dan enggan untuk berubah? Apalagi dalam masalah bermasyarakat dan berkolaborasi yang sekarang nilai-nilainya sudah bergeser menjadi equality bukan seniority?

Kedua yang bikin aku gemas dan tergelitik adalah kebiasaan feodal mereka dengan memberikan pilihan hitam dan putih, contoh: pilih keluarga atau organisasi? Ini sudah abad ke-21, merupakan sebuah kemunduran bila kita terus melihat sesuatu sebagai hitam dan putih, A atau B, utara atau selatan. Inilah yang membuat kita masih saja terpolarisasi, karena kita tidak pernah melihat jalan tengah. Dan ini yang membuatku tumbuh dengan pola pikir yang ekstrem, karena orang-orang di sekelilingku selalu membuatku memilih antara A atau B. Padahal kita bisa memilih keduanya atau tidak memilih sama sekali. Mengenai hal ini, masing-masing orang memiliki prioritas yang berbeda. Dan menjadi bagian dari organisasi juga tidak berarti kita akan memberikan waktu kita 110% untuk organisasi tersebut. Memang ada unsur komitmen tapi unsur prioritas and necessities juga perlu dipertimbangkan. Ada saatnya kita memilih sebuah organisasi jika memang perlu dan penting. Ada saatnya kita fokus pada hal yang kita sukai. Ketika negara dunia pertama sudah memperhatikan keseimbangan dalam hidup, masih ada saja pikiran-pikiran bahwa segala sesuatu tidak bisa diseimbangkan tapi harus dipilih. Dan yang paling menyedihkan, anak usia sekolah generasi Z yang melakukan hal tersebut. Bagaimana negara ini bisa berubah jika si generasi muda tidak berani menantang pola pikir yang sudah usang tersebut? Bagaimana masyarakat bisa berubah jika terus-menerus dicekoki narasi bahwa dunia adalah biner. Padahal dunia itu tidak bersifat biner.

Kita bisa memperlakukan orang dengan baik tanpa harus membuat mereka tidak menghormati kita. Kurasa, lebih banyak orang di sekitarku yang berpikir kalau kita harus "tegas" ke pada orang lain hanya untuk mendapatkan respect. Dulu aku pun berpikir demikian, kalau tidak "tegas" maka orang tidak akan menghormati kita. Tapi setelah menjalani berbagai macam hal, aku baru tahu bahwa kadang manusia hanya ingin dimanusiakan. Manusia nggak perlu merasa lebih kuat dari yang lain hanya untuk dihormati. Manusia nggak perlu berpura-pura jadi lebih pintar dan tidak mengakui kalau mereka tidak terlalu tahu hanya untuk membuat orang lain segan padanya. Kadang menjadi diri sendiri, menjadi orang yang mau mengakui kesalahan, dan menjadi orang yang tidak menutupi kekurangan justru menjadi kekuatan itu sendiri. Respect is earned

Tegas boleh, tegas dalam membuat batasan pribadi dengan orang lain misalnya. Atau tegas pada prinsip yang kita pegang. Tapi menjadi "tegas" dalam artian suka memaki-maki, membentak, menyudutkan, atau bahkan mengkerdilkan orang lain bukanlah solusi. Sekali lagi, memanusiakan manusia itu penting. Kenapa kita tidak mencoba untuk menggali perspektif orang lain sebelum menilai? Kenapa kita tidak mencoba untuk mulai memahami untuk mencari solusi bersama? Dan kenapa kita harus memaksakan nilai-nilai diri kita sendiri pada orang lain jika orang lain tidak mau menerimanya? 

At the end of the day, you do you.

Mungkin memang perlu lebih banyak edukasi atau prinsip yang sudah mulai diubah, dimulai di lingkungan sekolah. Bahwa orientasi siswa berbasis perploncoan itu sudah usang. Bahwa budaya yang tidak membawah manfaat melainkan lebih banyak mudharat harus dihapuskan. Dan bahwa generasi selanjutnya perlu diajarkan untuk menjadi lebih kritis. Kritis bukan berarti membantah. Kritis berarti mempertanyakan kenapa sesuatu bisa terjadi dan apakah hal tersebut masih relevan untuk dilakukan? Budaya di dalam sekolah, dunia kerja, perkuliahan mengenai senioritas atas dasar "Budaya ini sudah dilakukan bertahun-tahun" bukanlah alasan yang bisa diterima lagi di saat ini. Zaman sudah modern, sudah seharusnya pola kita berpikir dan menghadapi sesuatu juga berubah. Remember, the world is constantly changing.

We are not going to create these monster of youth who dedicate themselves to feudalism, seniority, lack of logical reasoning, defensive, anti-critic, and close-minded. We need to make changes, starting from your closest relation. The world isn't just black and white, it's full colour beaches!

Comments