Friendzone

Pengalaman terakhirku di dunia percintaan ini mungkin sudah hampir berlalu selama dua tahun belakangan? Terakhir aku punya pacar tahun 2017 lalu. Setelah itu, naksir-naksiran sama orang yang berakhir pada Friendzone. Kemudian dua tahun belakangan aku intens suka banget tapi sama artis Korea. Nah sepertinya kali ini aku mulai kembali ke dunia nyata karena naksir orang beneran di dunia nyata. Tapi sepertinya juga akan berujung di-friendzone lagi. Kalau dipikir-pikir, mungkin ini karma karena aku tuh suka banget nge-friendzone orang circa 2008-2010. Baru beneran jatuh cinta dan suka sama orang ya ke mantanku yang sekarang sudah menikah dan beranak satu di saat itu.

Terakhir aku di-friendzone oleh orang yang aku sukai selama aku kuliah di Inggris. Tanggal lahirnya cuma beda seminggu, kami memiliki beberapa kesamaan, kalau ngobrol sama dia rasanya waktu nggak pernah berhenti. Dia ada saat aku butuh sesuatu. Kami berdua sering pergi bareng berdua juga. Udah berasa pacar tapi statusnya cuma teman. Aku juga udah sempat bilang ke dia kalau aku suka dia. Berujung ternyata dia sudah punya pacar di Indonesia dan tentu saja kami berdua berbeda agama. Jadi mau gimanapun nggak bisa dilanjutin. Sigh.

Menyukai dia itu bisa bertahan sampai cukup lama, sampai akhirnya aku ketemu Jae dan Sungjin. Sampai akhirnya aku menerima kenyataan bahwa ya dia sudah punya pacar. Dan kini bahkan dia sudah menikah. I'm happy for him. Sampai sekarang kami masih berteman baik, walaupun ya ada riwayat aku pernah suka sama dia. Segitu sukanya sampai aku buta kalau mungkin ternyata ada orang lain yang suka sama aku waktu itu, di saat yang sama.

Nah, sekarang. Setelah dua tahun cuma mencintai Jae, aku mulai suka ke orang yang ada di dunia nyata. Orang terdekat. Sebenarnya naksir-naksirnya udah dari lama sih. Sejak kami bintal bahkan. Pas liat dia, aku tahu aku bakal naksir dia. Cuma waktu itu nggak diseriusin aja. Kan masih banyak ikan di laut ceunah. Kami pertama kali berinteraksi karena ada satu kelas di Corpu. Nggak ada angin, nggak ada ujan dia tuh ngajakin kenalan. Padahal aku nggak pernah sedikitpun berinteraksi sama dia sebelumnya. Ya sudahlah kami kenalan. First impression: anak ini akan sama seperti orang yang sudah pernah aku sukai di London. Bau anak ini wangi, aku suka. Cara dia berpakaian juga rapi. Cara komunikasinya juga bagus. Semua aspek yang aku suka pertama kali dari seorang pria dicentang semua.

Tapi setelah interaksi kecil itu, kami nggak pernah lagi komunikasi. Aku cuma memandanginya dari jauh dan berharap akan dipertemukan lagi nanti. Ya gimana? Kan penempatan orang kita tidak ada yang tahu kan?

Sepertinya Tuhan menjawab doaku bahwa kalau memang jodoh didekatkan dan kalau bukan dijauhkan. Rupanya penempatan kami tidak jauh berbeda. Bahkan jaraknya mungkin hanya sejengkal? Saat itu aku masih denial: Masa sih Tuhan betulan menjawab doaku kalau ini orang adalah jodohku?

Tapi thanks to our assignment, kami makin dekat. Dari beberapa anak lain, aku dan orang ini paling sering berinteraksi. Mungkin karena obrolan kami nyambung? Atau nggak tahu kenapa. Lagi-lagi dalam hati aku menduga bahwa ini hanya akan jadi the next friendzone dalam hidupku. Makanya aku nggak pernah mengatakan bahwa aku naksir dia. Dan aku menyimpan perasaan ini aja. Sampai aku akhirnya terdistraksi oleh Jae dan Sungjin.

Kini setelah menghabiskan cukup banyak waktu berhalu-halu ria soal Jae, aku sudah mulai kehilangan sparks untuk Jae. Ya karena ini dan itu. Dan aku kembali ke dunia nyata. Aku dan orang ini makin dekat lagi. Iya, aku pindah ke tempat dia bekerja. Lagi-lagi aku bertanya: apakah ini memang jawaban dari Tuhan? Walaupun di saat yang sama aku juga meragukan kebenaran atau kemungkinan kami akan bersama.

Ada beberapa hal yang ternyata nggak terlalu bisa aku toleransi. Dan hal tersebut lebih ke menunjukkan ketakutanku bahwa ini orang akan jadi seperti Ayahku. Aku nggak suka orang yang patriarkis, aku nggak suka orang yang terlalu family man, aku nggak suka orang yang merokok, aku nggak suka dengan orang yang kehidupan sosialnya terlalu baik. Dan di beberapa kesempatan juga dia sudah mengutarakan bahwa ada orang lain yang sedang menunggunya. Berarti kesempatanku dan dia makin berkurang kan? Ada juga pertimbangan mengenai kemungkinan kami bersama akan mengganggu pekerjaan secara profesional kan? Karena kami satu unit.

Di satu sisi aku menyadari bahwa ada banyak hal yang nggak bisa aku terima nantinya kalau misal kami memang ditakdirkan bersama. Tapi di sisi lain, makin ke sini aku makin suka dia. Nggak tahu kenapa. Mungkin karena aku menemukan kenyamanan kalau lagi ngobrol sama dia? Mungkin karena dia di kepalaku adalah sosok yang ideal? Atau mungkin karena aku belum menemukan alternatif selain dia? Entahlah.

Yang jelas, berkaca dari pengalamanku di London aku nggak akan bilang suka duluan ke orang ini. Biarkan orang ini saja, kalau dia peka, yang memancingku. Yah walaupun sepertinya lagi-lagi kemungkinannya kecil karena aku bisa meyakinkan kalian kalau hubungan ini akan mentok di zona pertemanan.

But it's just nice to have someone who loves us as much as we love them. And having someone that will listen to us ranting, complaining, or whining. It's nice having someone we can lean to. It's nice if that someone would be you.

Comments