Junji Ito Maniac: Japanese Tales of the Macabre

Sejujurnya aku bukan orang yang terlalu suka dengan hal-hal horor, justru malah kalau bisa menghindari horor sejauh-jauhnya. Namun di saat yang sama aku tuh suka dengan hal-hal aneh yang sifatnya gore atau menjijikkan. Ya jijik tapi ya suka aja ngeliatnya. Padahal tahu itu sakit.

Nah, banyak orang bilang bahwa Junji Ito ini salah satu manga artist genre horor yang paling respectable. Karyanya-pun sering seliweran dimana-mana, dari gambar-gambar yang sering muncul di internet horornya Junji Ito ini justru menjurus ke horor gore dan menjijikkan seperti kesukaanku yang sudah aku sebut sebelumnya. Makanya pas Netflix meluncurkan original content mereka yaitu Junji Ito: Tales of Japanese Macabre, ngga butuh waktu lama bagiku untuk segera sit back and relax menikmati suguhan Netflix ini. Pasca dirilis tanggal 19 Januari 2023, aku membutuhkan waktu sekitar 3-4 hari untuk menamatkan series anime horor ini.

Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku suka dengan hal gore dan menjijikkan. Ekspektasiku terhadap rilisan Junji Ito di Netflix ini juga demikian. Sejauh ini jujur aku belum pernah membaca manga Junji Ito, jadi aku cukup memasang ekspektasi bahwa anime seriesnya akan mampu mengcapture kengerian dan kejijikan karya-karya Junji Ito dalam medium anime.

Ternyata di episode awal-awal aku agak kecewa. Kecewa karena ternyata anime yang kusangka akan horor banget, bikin kebayang, dan bikin aku mual-mual nggak terjadi. Dari total 23 cerita dalam 12 episode, hanya ada 3 cerita yang membekas di pikiranku. Itupun hanya 1 yang menurutku top horornya walaupun sebetulnya nggak horor-horor amat kalau dibandingkan dengan film-film horor yang sudah pernah aku tonton. Waktu nonton-pun aku nggak harus tutup mata. Tapi pas abis nonton bisa keingetan sampe nggak bisa tidur semaleman hahahaha.

Ditambah lagi series Junji Ito yang diangkat dalam bentuk anime ini ada yang memotong beberapa frame dari komik, mungkin untuk viewer discretion kali ya biar bisa dinikmati lebih banyak kalangan. Jadi aku harus baca juga di website fandom Junji Ito untuk mendapatkan gambaran cerita yang utuh. Menariknya selain pure horor, ada kisah-kisah Junji Ito yang juga memberikan metaphor dari kejadian asli dunia nyata sebagai bentuk kritik sosialnya. Adapun 3 kisah yang menurutku paling memorable adalah sebagai berikut, warning spoiler alert:

  1. The Hair in the Attic

    The Hair in the Attic ini berkisah tentang seorang cewek yang diputusin pacarnya. Si cewek ini sudah bertahun-tahun menjalin hubungan dan suatu malam diputuskan begitu saja. Di akhir perbincangannya dengan kekasihnya, si cewek sempat bertanya "Bagaimana dengan rambutku? Katamu kamu cinta aku karena rambutku yang cantik?". Sementara itu si cowok tetap bersikukuh untuk putus dan bilang kalau dia sudah lupa pernah memuji si cewek karena rambutnya. Ngomong-ngomong soal rambut, memang rambut cewek ini panjang banget hingga hampir selutut. Warnanya hitam dan legam, terlihat seperti rambut yang dirawat dengan baik. Awalnya aku mengira si cewek akan bunuh diri, lalu rohnya akan meneror si cowok yang sudah tega memutuskan dia tanpa alasan yang rasional. 

    Yaaa... ngga sepenuhnya salah sih. Begitu cewek ini pulang ke rumah, dia disambut oleh adiknya. Adiknya berusaha menghibur kakaknya yang terlihat sedih. Tapi pas sang adik menghibur di kamarnya, terdengar suara gelodakan di atas atap si cewek ini. Coba tebak itu suara apa? Tenang itu cuma suara tikus kok. Si cewek berambut panjang ini kemudian melampiaskan kemarahannya pada si tikus "Ih berisik banget sih, at least bayar sewa dong!". Malam itu si cewek ini masih merutuki nasibnya pasca diputuskan oleh sang pacar. Dia mengingat-ingat masa lalu yang menyenangkan. Saat dia masih berambut pendek, sang mantan betulan bilang kalau si cewek akan tampak lebih cantik dengan rambut panjang. 

    Ingat guys, ngga semua omongan cowok itu bisa dipegang. 

    Keesokan paginya setelah si cewek akhirnya tertidur sambil menangis semalaman pasca diputuskan, tiba-tiba si tikus yang semalam mengganggunya tersangkut di rambutnya. Jijik kan? Jijik dong. Tokoh utama kita ini juga jijik dan akhirnya membersihkan rambutnya sambil mengutuk rambutnya sendiri. "Wah benar-benar deh, akan kupotong rambut ini hari ini juga." Well, banyak orang bilang kalau setelah putus baiknya potong rambut sebagai pertanda move on dan pertanda membuang kesialan yang mengikuti pasca putus. Tekad cewek ini sudah bulat dan dia meminta tolong adiknya untuk membantunya potong rambut. 

    Saat adiknya mencari gunting untuk memotong rambut sang kakak, tiba-tiba terdengar teriakan. Begitu sang adik mendatangi kamar sang kakak, ternyata sang kakak sudah tewas dengan kondisi kepalanya ngga ada. Coba tebak apa kisah selanjutnya? Pasti sudah ketebak dong? Belum bisa menebak? 

    Pasca kematian sang kakak, sang adik penasaran dengan keberadaan tikus di atap. Karena penasaran dia coba untuk mengecek atapnya tapi dilarang oleh sang Ayah. Sang ayah-lah yang menawarkan diri untuk mengecek atap. Sang adik sudah mencoba untuk memperingatkan kalau jantung Ayah lemah dan takut kenapa-napa. Ternyata benar. Sang Ayah tidak kembali, dipanggil juga tidak nyahut. Ternyata eh ternyata sang Ayah meninggal karena shock melihat sesuatu di atap. Ya tidak lain tidak bukan adalah... pasti sudah ketebak dong sekarang? 

    Kepala sang kakak tersangkut di atap dengan rambut yang menjalar ke rongga-rongga rumah. Sang adik sempat kaget tapi dia tidak takut karena dia tahu itu kakaknya. Atau at least itu muka kakaknya. Sang adik menyadari kematian aneh kakaknya tidak disebabkan oleh bunuh diri akan tetapi sebuah fenomena supernatural dimana rambut sang kakak menjadi hidup dan membunuh kakaknya karena berniat untuk memotongnya. Rambut itu kemudian merambat keluar dari rumah dan diketahui di akhir cerita mantan sang kakak terbunuh dalam keadaan yang sangat mengerikan dengan banyak rambut yang mencekiknya.

    Awal menonton episode ini aku tidak terlalu ketakutan. Aku juga sebetulnya sudah mulai menebak-nebak kira-kira endingnya seperti apa. Tidak melenceng terlalu jauh dari ekspektasi memang. Tapi kalau diingat-ingat scene dimana si bapak kena serangan jantung pas lihat kepala sang kakak di atap itu agak merinding disko ya bun. Kalau dibandingkan dengan gambar Junji Ito di manga, apa yang terlihat di anime ngga terlalu horor. Tapi coba kalau di-search manganya di Google, yakin bun akan susah tidur semalaman. Oleh sebab itu, please jangan Google "Junji Ito The Hair in the Attic Manga". Please jangan.

  2. The Bully

  3. Kalau cerita yang ini daripada horor lebih membuat kita merasa simpati dan kasihan. Pasalnya dari judulnya saja sudah terlihat bahwa kisah yang satu ini mengangkat tema bullying. 

    Alkisah ada seorang anak wanita yang berdiri diam di sebuah taman. Tampaknya anak wanita ini ingin bermain bersama dengan geng para anak cowok yang bermain di taman yang sama. Namun karena salah satu anak cowok bernama Tsutaro ini sudah diceng-cengin sama teman-temannya sama si cewek ini, akhirnya si anak cewek ini ngga ikut diajak main. Biasalah anak kecil kalau diceng-cengin suka malu gitu kan. 

    Di saat yang sama, ada seorang ibu pindahan baru dengan anak cowok berusia lebih muda dari si cewek. Bahkan sepertinya anak cowok ini masih berusia 3-5 tahun, sementara si cewek sudah berusia 8-9 tahun. Si Ibu minta tolong pada si anak cewek untuk mengajak anak cowoknya ini bermain dan menemaninya. Awalnya tidak ada masalah. Awalnya kukira yang terbully dalam kisah ini adalah si anak cewek dan anak kecil cowok ini. Ternyata aku salah lagi. Justru Tsutaro and the gank malah mengalah dengan tidak main di taman yang sama dengan si dua anak ini. Dan si anak cewek mengajak main si anak kecil dengan baik.

    Tibalah suatu hari si anak cewek pulang ke rumah dan Ibunya mendapatkan satu kotak kue strawberry shortcake. Si anak cewek bertanya "Ini kue apa mah?". Mamahnya menjawab, "Oh itu kue dari tetangga baru sebagai ucapan terima kasih karena kamu selalu ngajak main anak mereka." Hal inilah yang menjadi pivot dari perubahan sikap si anak cewek pada si anak kecil ini. Si anak cewek ini jadi merasa terbebani dan memiliki kewajiban untuk terus-menerus bermain dengan si anak kecil cowok itu. Ditambah lagi karena si anak kecil ini hanya kenal si cewek, si anak kecil ini terus clingy pada si anak cewek.

    Anak cewek ini lama-lama merasa jengah. Satu, dia merasa terbebani. Dua, dia jadi ngga bisa main sama gebetannya yaitu Tsutaro. Akhirnya si cewek ini mulai mengarahkan kemarahannya pada si anak cowok yang ternyata bernama Naoya ini. Awalnya si cewek menjewer kuping Naoya karena dia bilang Naoya terlalu imut. Lalu dia berpura-pura membisikkan sesuatu di kuping Naoya tapi nyatanya dia berteriak keras banget sampe Naoya menangis. Lalu dia juga suka memukul Naoya dengan ranting dengan dalih mengajak Naoya main pedang-pedangan. Bullying si cewek makin hari makin parah, sampai di level dia menenggelamkan kepala Naoya di air got hanya karena Naoya juga ingin minum dari keran taman. Dan hampir menyuruh Naoya melompat dari ketinggian. Beruntung di kejadian terakhir, Ibu Naoya datang untuk menyelamatkan Naoya. Bullying terakhir sebelum akhirnya Naoya pindah dari tempat itu adalah si cewek menyuruh Naoya mengambil bola dekat anjing galak. Begitu Naoya entah digigit atau dicakar si anjing, si cewek pergi meninggalkan Naoya sendirian. 

    Time skip, kini si cewek sudah dewasa dan dia duduk di taman bersama Tsutaro. Rupanya kisah-kisah tadi merupakan pengakuannya terhadap Tsutaro sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Si cewek berkata, "Aku dulu orang yang sangat jahat dan mengerikan. Maka dari itu, apakah kamu betul-betul mau menikah denganku?"

    Begitu Tsutaro bilang bahwa dia akan menerima si cewek apa adanya, Naoya dewasa datang. Di saat itu si cewek menjelaskan pada Tsutaro bahwa dia dan Naoya sudah bertemu dan dia juga sudah meminta maaf atas perlakuan buruknya di masa kecil. Sehingga si cewek memilih untuk menerima perasaan Naoya dan menikah dengan Naoya bukan Tsutaro. Namun begitu anak mereka lahir, Hiroshi, Naoya memilih untuk tidak pernah pulang ke rumah. Sementara si cewek ini masih berpikir bahwa Naoya hanyalah sibuk di luar. Hiroshi kini berusia 4 tahun dan wajahnya sangat mirip dengan sang Ayah. Di situlah si cewek ini mulai sering memanggil anaknya dengan nama "Naoya" dan dia berpikir untuk bermain "kasar" kembali pada anaknya.

    Jujur setelah nonton episode ini aku merasa bahwa ini adalah episode yang sakit. Dan bahwa Naoya memang sengaja menemui kembali pembullynya di masa lalu untuk balas dendam. Sayangnya cara balas dendam Naoya ini tidak bisa kuterima karena yang harus menerima balasannya adalah si anak yang tidak tahu apa-apa. Daripada harus menikahi si cewek pembully dan menjadikan anaknya sebagai korban, bukankah lebih baik dia menuntut si cewek ini agar dihukum secara adil? Psychologically speaking pun, si cewek ini memang sakit jiwa. Sampai sekarang aku sangat ngga tega kalau memikirkan kelakuan dia kepada Naoya padahal waktu itu dia masih berusia 8-9 tahunan. Kalau ngga memang dasarnya jahat, mana ada anak kecil tega melakukan hal-hal itu kan?

    Episode ini adalah satu-satunya episode yang bikin aku gemes, marah, dan kesal. Hanya saja kejadian macam ini paling dekat dengan dunia nyata. Paling relatable dan paling mungkin terjadi. Meskipun ya ini adalah salah satu episode dimana Junji Ito tidak memasukkan unsur supranatural dalam ceritanya. Ternyata memang manusia itu kelakuannya lebih horor daripada entitas supranatural apapun.

  4. Layer of Terrors 

    Nah kalau cerita yang ini sepertinya cerita yang paling sakit. Cerita ini diawali dengan penemuan arkeologi yang unik. Alkisah pada tahun 1996, ditemukan sebuah site dengan kontur tanah yang menarik. Tanah itu berlapis-lapis tapi lapisannya membentuk pola wajah manusia dengan irisan samping. Si Profesor menduga bahwa ini merupakan kuburan dari sebuah suku yang memang sengaja dibuat per layer. Di bagian paling bawah situs galian itu ditemukan tengkorak kecil dan tengkorak tersebut diambil oleh sang Profesor dengan klaim dapat menghasilkan terobosan besar pada penelitian arkeologisnya.

    Time skip ke tahun 2017, tiga orang wanita berada di dalam satu mobil. Anak perempuan tertua Narumi memegang kemudi, sementara sang Ibu dan sang adik Reimi duduk di kursi penumpang belakang. Rupanya tiga orang wanita ini sedang dalam perjalanan menuju peringatan hari kematian Sang Ayah. Ketiga wanita ini terlibat argumentasi sengit, salah satunya disebabkan oleh komplain si anak tertua terhadap sikap Ibunya yang memanjakan adiknya dengan tidak wajar. Omong-omong soal tidak wajar, sang Ibu memang sangat memfavoritkan si bungsu karena wajahnya yang rupawan. Reimi, si bungsu, memang merupakan seorang model cilik namun berhenti dari dunia hiburan karena dia merasa tidak nyaman. Sementara sang kakak memang tidak terlalu rupawan. Saat argumen memanas, sang Ibu yang memang rada sakit jiwa berkata, "Kalau aku sudah tidak bisa membantumu lagi, kamu tidak tertolong karena kamu jelek."

    Terkejut, tersinggung, dan marah dengan ucapan sang Ibu, akhirnya Narumi tidak fokus menyetir dan membuat keluarga ini hampir meninggal. Ternyata sang adik Reimi yang jadi korban, wajahnya terkelupas papan penanda jalan. Di sini kita mulai berekspektasi bahwa Reimi yang diagung-agungkan sang Ibu pada akhirnya akan menjadi buruk rupa juga. Rupanya tidak saudaraku, Junji Ito selalu punya twist dalam setiap ceritanya.

    Di rumah sakit, Dokter menemukan sebuah fenomena yang aneh di dunia medis. Rupanya Reimi bukanlah manusia biasa. Tubuhnya terdiri dari lapisan demi lapisan, seperti bawang, seperti pohon. Reimi tidak memiliki organ tubuh selayaknya manusia biasa, yang ada di dalam tubuhnya adalah versi dirinya yang lebih muda. Dan saat ini dia sudah berada di lapisan ke-20 di usia 20 tahun.

    Mendengar hal ini, awalnya sang Ibu shock lalu sang Ibu tertawa histeris seperti menemukan pencerahan dalam hidupnya. Alih-alih membiarkan tenaga medis mengatasi masalah Reimi untuk mencari tahu penyebab kelainan ini, sang Ibu malah meminta Reimi dirawat inap di rumah. Di sinilah terkuak bahwa sepertinya kondisi Reimi berkaitan dengan proyek eskavasi arkeologi mendiang Sang Ayah. Narumi yakin bahwa yang terjadi pada dirinya dan sang Adik merupakan kutukan karena Narumi juga memiliki layer gigi di dalam mulutnya. Dalam kondisi medis kelainan yang diidap Narumi merupakan hyper-ortodonti.

    Ketika Narumi menyarankan untuk mengembalikan tengkorak yang sempat diambil sang ayah untuk penelitiannya tersebut demi menghentikan kutukan, sang Ibu menolak mentah-mentah. Reimi teryakinkan oleh argumen sang Kakak dan setuju untuk melakukan sebuah ritual demi menghentikan kutukan itu. Namun hal itu malah menaikkan tensi pada keluarga mereka. Hal ini berujung pada adu argumen Reimi dan Sang Ibu yang membuat Reimi akhirnya muak dan jengah karena terus diperlakukan seperti anak berusia 2 tahun oleh sang Ibu.

    Ini merupakan bagian tersakit dari cerita ini. Malamnya, Sang Ibu merintih pada Reimi yang sedang tidur. Tahu bahwa Reimi yang berusia 2 tahun masih ada di dalam tubuh Reimi 20 tahun, Sang Ibu memanggil-manggil Reimi kecil. Hingga pada akhirnya Reimi kecil menjawab dan meminta untuk dikeluarkan dari tubuh Reimi 20 tahun. Di saat itulah sang Ibu mengelupas kulit Reimi satu per satu hingga dia menemukan Reimi kecil. Jujur scene ini paling menjijikkan dan gory di sepanjang 12 episode anime.

    Begitu Sang Ibu berhasil mencapai Reimi berusia 2 tahun, Sang Ibu kecewa. Rupanya tidak ada tubuh Reimi berusia 2 tahun, hanya wajah Reimi 2 tahun saja dengan bentuk badan yang memanjang dan aneh. Saat sang Ibu kecewa, sang Ibu semakin gila. Dia berpikir bahwa dia juga membawa kutukan berlapis ini sehingga dia menyayat wajahnya sendiri. Rupanya sang Ibu salah, dia tidak membawa kutukan itu bersamanya. Akhirnya wajahnya tinggal otot saja. Reimi juga tidak kembali menjadi Reimi 20 tahun melainkan berubah menjadi monster aneh.

    Kisah ini berakhir dengan Narumi yang harus mengurus sang Ibu yang mengurung diri di kamar Reimi dan Reimi yang telah berubah menjadi makhluk aneh.

    Ngga ada yang bisa aku katakan selain "Sakit jiwa". Ibu di dalam kisah ini sungguh sakit jiwa karena terlalu terobsesi pada anak bungsunya yang berusia 2 tahun. Sang Ibu juga sangat egois. Dan parahnya lagi, orangtua semacam ini juga ada di dunia nyata. Orangtua yang terlalu terobsesi pada anaknya. Orangtua yang tidak memberikan anaknya kesempatan untuk tumbuh dan memiliki pilihan mereka sendiri. Orangtua yang selalu merasa menjadi pengontrol utama anak mereka. Hanya saja Junji Ito menggambarkan kondisi ini dalam kisah yang lebih gory. Walaupun pada nyatanya, bisa jadi kita memang dikuliti oleh orangtua kita selapis demi selapis hingga ke versi kita yang lebih muda dan ideal menurut mereka tapi itu malah membuat kita berubah menjadi monster aneh yang tidak bisa diterima masyarakat.

Selain 3 cerita di atas sebetulnya ada 2 cerita lagi yang menurutku perlu mendapat perhatian dan memang memiliki sense of metaphor yang tinggi yaitu The Hanging Balloons dan 4 Walls. The Hanging Balloons ini mengangkat isu bunuh diri dan bagaimana bunuh diri (khususnya untuk orang terkenal) dapat membangkitkan wabah bunuh diri massal. Sementara 4 walls ini sebetulnya memiliki metafora salah seorang anggota keluarga yang sibuk menjadi attention seeker karena memang jarang diperhatikan oleh keluarganya.

Pada umumnya ngga salah kalau karya-karya Junji Ito digemari. Nggak hanya mampu menuliskan cerita yang benar-benar menimbulkan kengerian, Junji Ito juga mengobservasi lingkungan sekitarnya dan mengangkat isu sosial yang dibalut dengan tema horor. Ditambah lagi artwork manga dia yang juga ikonik. Gorenya dapet, jijiknya dapet, horornya dapet. Awalnya kukira Junji Ito ini merupakan artist yang twisted mind. Namun setelah menonton serangkaian ceritanya dalam Junji Ito Maniac: Tales of Japanese Macabre, rupanya dia ngga se-sakit orang-orang yang bikin film snuff yang bahkan kekejiannya aku nggak bisa comprehend dengan otak warasku.

What I wanted to change dari serial anime Junji Ito di Netflix ini adalah beberapa artwork karakter yang dibuat jadi tidak terlalu seram seperti di manga dan juga cerita yang tiba-tiba dipotong tanpa sebab. Cerita yang dipotong ini jadi membuat keutuhan cerita dipertanyakan sehingga penonton perlu baca lagi versi wiki fandomnya atau perlu baca manganya betulan. But hopefully Netflix will release more of Junji Ito's story.

Dari rate 10, tingkat horor serial ini adalah 7/10. Justru malah lebih horor anime Mieruko-Chan daripada Junji Ito karena Junji Ito lebih fokus pada esensi gore-nya. Soundtrack yang dipilih pun sengaja yang musiknya agak aneh dan uneasy, makin meningkatkan keanehan dunia Junji Ito. But overall buat yang pengen mencoba hal baru dan/atau mencari rekomendasi anime horor, serial Junji Ito ini bisa jadi tontonan casual. Yah, kecuali episode The Hair in the Attic sih.

Comments