Resensi Buku: Hidup Apa Adanya - Kim Suhyun

Hidup dalam kolektifitas dan komunitas sehingga menimbulkan konstruksi sosial untuk hidup berdampingan dan lebih memperhatikan perasaan orang lain sepertinya menjadi akar masalah rendahnya kebahagiaan orang-orang Asia. Di budaya Asia, khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara hidup tenggang rasa, penuh empati seringkali diimbangi dengan toleransi terhadap perbedaan yang cukup rendah. Meskipun untuk kasus di Indonesia, sudah cukup jelas bahwa Indonesia itu beraneka ragam dan nilai toleransi ini ditanamkan sejak dini. Tidak begitu halnya di Korea Selatan maupun di Jepang, karakteristik individualisme lebih sering ditekan. Tiap anak dijejali dengan ajaran tata krama dan sopan santun, untuk memahami bagaimana cara bertingkah di depan umum dan menjaga kenyamanan orang lain. Tidak salah sih, hanya saja ternyata hal ini menjadi bom waktu.

Kurang lebih seperti itulah yang dirangkum dalam buku Hidup Apa Adanya (I decided to live as myself) oleh Kim Suhyun.

Tingginya tingkat kolektifitas dan keseragaman masyarakat cenderung menekan kebebasan individu untuk berlaku sesuai dengan hati nurani. Ditambah lagi dengan standar-standar kebahagiaan yang sudah ditentukan sedemikian rupa oleh masyarakat dalam konstruksi sosial. Contohnya: bagi wanita pernikahan yang paling bagus adalah di bawah usia 30 tahun, berat badan tidak boleh lebih dari 50 kilogram bagi wanita, minimal harus punya hunian di usia 30 tahun, dan lain sebagainya. Padahal standar kebahagiaan orang bisa berbeda-beda.

Tekanan dari masyarakat untuk hidup lebih madani, mapan, dan sukses dengan definisi yang sengaja dibuat seragam inilah yang disinyalir menjadi penyebab tingginya tingkat stress maupun depresi masyarakat Korea. Dengan mengangkat sisi “ngga apa-apa jadi diri sendiri”, Kim Suhyun mencoba untuk mengupas satu per satu bahwa menjadi pribadi yang unik di tengah masyarakat yang homogen itu tidak masalah.

Kim Suhyun adalah salah satu orang yang kental menggunakan referensi baik dari buku maupun film untuk mendukung ideologinya, bahwa semua orang di dunia ini terlahir unik. Berbeda juga dengan penulis-penulis buku pengembangan diri Korea yang sering aku baca, Kim Suhyun merupakan salah satu orang yang beruntung karena dibesarkan dalam keluarga yang lebih membebaskannya untuk jadi apapun yang dia mau dan tidak membebaninya dengan membanding-bandingkan dirinya dengan kakak perempuannya yang lebih sukses. Menjadi Kim Suhyun di tengah masyarakat Korea merupakan sebuah privilege tersendiri. Oleh sebab itu, gaya bahasanya cenderung lebih bebas dan tidak terlalu menggurui dibandingkan dengan buku-buku sejenis yang ditulis penulis Korea.

Dalam perspektif Kim Suhyun, menjadi diri sendiri itu berarti kita perlu menerima dan mengeksplorasi apa yang kita suka tanpa terlalu banyak memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Salah satunya adalah dengan mulai mengabaikan angka-angka yang ditetapkan menjadi standar kebahagiaan masyarakat, di sini Kim Suhyun memberikan pencerahan dengan lebih menitikberatkan pada esensi atau kualitas dari kebahagiaan kita daripada menghitunganya hanya dalam bentuk angka. Tulisan tersebut kemudian didukung lagi oleh tulisannya di bab akhir “Untuk kehidupan yang lebih berarti dan juga lebih baik” bahwa kita harus bisa mengapresiasi kebahagiaan yang sifatnya muncul dari dalam diri sendiri dan hal-hal kecil.

Kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain karena kebahagiaan itu berasal dari diri sendiri.

Mungkin memang di era saat ini, kita harus lebih bisa memperhatikan diri sendiri daripada terus-menerus berkubang pada apa yang orang lain pikirkan terhadap kita. Sebab pada dasarnya pandangan orang tidak terlalu berarti pada hidup kita kecuali jika memang kita melakukan tindakan di luar norma sosial atau sudah menjurus ke tindak kriminal.

Menjaga kenyamanan orang lain merupakan suatu keharusan tapi ada hal-hal yang bisa kita abaikan jika hal tersebut mengganggu ketidaknyamanan kita juga.

Di dalam buku ini Kim Suhyun memberikan afirmasi dan konfirmasi terhadap orang-orang yang masih merasa ragu-ragu akan dirinya sendiri dalam bertindak. Khususnya dalam konteks membela diri sendiri jika ada yang menghina atau merendahkan individu jika tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Sederhananya, Kim Suhyun ingin bilang bahwa kita hidup di dunia ini tidak melulu harus memenuhi ekspektasi orang lain. Dan kalau boleh saya tambahkan, hanya diri sendirilah yang bisa meletakkan ekspektasi di bahu ini.

Buku ini tepat bagi orang-orang yang masih merasa ragu-ragu dan sungkan untuk menjadi diri sendiri hanya karena ingin diterima oleh lingkungan. Bagi orang yang pada dasarnya sudah keras kepala dan percaya dengan diri sendiri (seperti saya) buku ini justru menjadi encouragement dan konfirmasi bahwa saya sudah berada di jalan yang benar. Jadi berbeda itu ngga masalah, ngga mengejar meritocracy juga ngga masalah. Yang penting kita bahagia dengan pilihan-pilihan hidup kita.

Tidak ada jawaban sempurna untuk hidup ini. Tapi, jika kamu berani bertanggung jawab atas segala keputusan yang dibuat maka semua keputusanmu adalah benar.” Ch 02 - p. 95.

Comments