Mengenal Dunia di Balik Kacamata Sosiopat Lewat YOU

Pernah ngga sih kamu mencintai orang tapi jadinya sampe obsessed dan bersedia melakukan apa aja untuk orang tersebut? Saya pernah dan sering.

Kebetulan saya kalau lagi bucin banget sama sesuatu, baik itu hobi, benda, idol, maupun manusia in real life saya punya kecenderungan untuk jadi obsessed. Namun setelah melihat kelakuan Joe Goldberg dalam serial yang diangkat dari novel Caroline Kepnes, YOU, saya mencoba untuk ngga terlalu obsessed dan freak. Karena jadi freak itu rupanya berbahaya juga baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Di dalam serial yang dibintangi oleh Penn Badgley ini, diceritakan seorang manajer toko buku yang kharismatik dan cukup tampan, Joe Goldberg. Joe Goldberg ini sebetulnya tipikal seorang nerd yang cupu, pendiam, nggak banyak omong. Hobinya baca buku, referensi soal bukunya banyak banget dan dia sukanya sama buku-buku klasik yang suka dikoleksi oleh orang kaya. Awalnya ngga ada yang terlihat salah dengan Joe Goldberg, sampai ternyata ditunjukkan bahwa Joe Goldberg ini memiliki twisted mind.

Pada dasarnya YOU berkutat pada kehidupan si manajer toko buku di pinggiran New York, Joe Goldberg dan pencarian cintanya itu. Di series pertama Joe Goldberg naksir pada seorang mahasiswi Master of Fine Arts (MFA) Columbia University New York, Guinevere Beck. Kebetulan Mbak Beck ini memang cantik seperti dewi dengan selera buku yang menarik pula bagi Joe Goldberg. Seperti penampilannya, mbak Beck ini selain cantik juga cerdas. Hanya saja Beck ini terjebak di circle yang salah, menurut Joe.

Apa hak penonton untuk ngejudge circle Guinevere Beck salah kan?

Menjadi mahasiswi MFA salah satu universitas Ivy League merupakan sebuah prestige, ngga cukup di situ Guinevere Beck juga berteman dengan beberapa orang terpandang di area kota New York seperti Peach Salinger dan berpacaran dengan salah satu founder start-up hits. Namun menurut Joe yang sekaligus berperan sebagai narator dari serial ini, lingkaran pertemanan Beck justru membuat Beck tidak mengembangkan potensinya secara maksimal. Beck yang dikenal Joe adalah seorang aspiring writer namun sedang mengalami writer's block.

Everyone said that New York city is the place where you can become anything and Beck wanted to be a writer.

Bagaimana cara Joe mengenal Beck?

Bagi seorang sosiopat yang obsessed kebangetan, stalking dengan jalur Google bukanlah hal yang sulit. Joe mendapatkan nama lengkap Beck hanya dengan melihat kartu kredit yang digunakan Beck untuk membayar buku di toko tempat Joe bekerja. Voila! Everything's there on the internet. Mulai dari facebook Beck, ultah Beck, asal-usul nama Beck, jumlah saudara Beck, hingga alamat rumah Beck. Iya, hingga alamat rumah Beck. Di sinilah kengerian itu muncul dan sedikit banyak menjadi pengingat untuk lebih berhati-hati dalam memposting sesuatu di sosial media. Kita ngga pernah tahu kapan kita akan bertemu dengan orang seperti Joe Goldberg yang straight stalker and full of creepiness.

Joe tidak menganggap hal tersebut sebuah masalah besar, justru untuk semakin membuat pedekatenya dengan Beck semakin lancar Joe bahkan berani mengambil extreme measure to get rid off people around Beck. Hal ini membuat Beck jadi harus bergantung pada Joe. Dan uniknya, at some point Beck is on her best self when she's with Joe.

Dari season 1, dimana love interest Joe Goldberg adalah Guinevere Beck sebetulnya sudah dapat disimpulkan bahwa Joe akan melakukan apapun untuk orang yang dicintainya. Meskipun caranya ya memang ekstrem yaitu sampai menghilangkan nyawa orang. Di saat yang sama, saking obsessednya Joe terhadap hal yang dia cintai, dia selalu membenarkan semua tindak kriminalnya. Intinya Joe Goldberg ngga ingin ditinggalkan oleh orang yang dicintainya karena sisi gelapnya itu. Tapi begitu ketahuan, akhirnya mau tidak mau dan suka tidak suka dia jadi harus mengakhiri hidup orang yang dikasihinya.

Pola Joe Goldberg ini terus berulang hingga ke Season 4 (season terakhir di Netflix saat ini). Penyebabnya masih belum betul-betul dijelaskan. Entah karena Joe Goldberg memiliki trauma masa kecil yang tidak tersembuhkan atau apa? Atau memang Joe terlahir sebagai seorang sosiopat berdarah dingin? Atau simply Joe cuma butuh diterima apa adanya?

Di season 2, 3, dan 4 Joe sebetulnya sudah menemukan orang yang mencintainya apa adanya. Despite of him being a serial murderer. Di season 2 dan 3 contohnya, Joe bertemu dengan Love Quinn yang ternyata adalah Joe dalam bentuk wanita. Bisa dibilang Love merupakan love interest Joe yang sebetulnya cerminan diri Joe banget. Keduanya sama-sama obsessed dan mau melakukan segala cara untuk melindungi orang-orang yang mereka cintai. Keduanya juga sama-sama berdarah dingin. Satu-satunya perbedaan Joe dengan Love adalah metode pembunuhan Joe yang lebih tertata rapi dan lebih discreet. Dalam hal membunuh, Love Quinn lebih mengandalkan impulse dan serampangan. Tidak seperti Joe yang melakukan pembunuhan jika dia rasa memang perlu.

Dunia lewat kacamata Joe ini sungguh twisted.

Dalam satu dan lain hal karena Joe adalah seorang kutu buku, dia memandang dunia lebih kritis dan skeptis. Joe memahami social behaviour dari calon-calon korbannya yang notabene adalah orang-orang toxic di lingkaran orang yang dia cintai. Joe paham betul bagaimana harus bersikap untuk meyakinkan orang lain agar percaya padanya. All thanks to the books he keeps reading.

Joe ini sosok analog alias dia tidak memiliki kemelekatan dengan hal-hal yang ada di internet. Joe tidak memiliki sosial media. Dia menjaga agar dirinya tetap lay low dan tidak disorot publik. Cara-cara yang digunakan Joe untuk menutupi jejak dan melancarkan aksi-aksinya juga berasal dari buku, bukan dari internet. Bayangkan jika seorang pembunuh bisa browsing cara membersihkan atau membuang mayat? History browsingnya pasti kelihatan dong? Karena Joe adalah orang analog, dia bisa menyembunyikan tendensi psikopatnya dengan sangat lihai.

At some point, ada beberapa hal yang aku aminin dari narasi-narasi Joe. Khususnya dalam caranya memandang dunia dan lingkungan high-class. Menurut Joe, kehidupan para influencer dan orang-orang kaya itu terlalu pretensius. Tema ini pula yang secara konsisten diangkat dalam serial YOU. Rata-rata individu yang menjadi korban Joe atau lingkungan pertemanan love interest Joe adalah orang-orang high profile. Salah satu contohnya adalah lingkaran sosial orang-orang di Los Angeles (LA) yang self-righteous, sipaling religius, dan sipaling edgy dengan segala tetek bengek healing practice dan gaya hidup vegannya. Di season tersebut, Joe mengupas satu per satu bahwa segala macam gerakan aktivis vegan, healing, dan back to nature itu hanyalah sandiwara kapitalisme.

Menurut Joe, dunia merupakan jebakan kapitalis. Dimana orang-orang kaya sebetulnya hanya memanfaatkan reputasi dan kedudukan satu sama lain untuk menyelamatkan diri sendiri.

Dan ngga salah juga sih, mungkin. Idk.

Joe sendiri sebagai bagian dari blue-collar worker di lingkungan high-class tersebut dapat menyamarkan diri dengan sangat baik. Kemampuannya membaca situasi, kemampuannya untuk menyediakan apa yang orang-orang kaya tersebut butuhkan justru malah memuluskan jalannya untuk menyelamatkan diri sendiri. Dan Joe menyelamatkan diri sendiri untuk menghadapi konsekuensi dari semua pembunuhan yang dia lakukan hingga saat ini.

Yang aku sayangkan dari series YOU ini adalah ending dari season terakhirnya. Dimana Joe yang memang betul-betul bisa lari dari konsekuensi yang menjerat dirinya atas segala perbuatannya. Meskipun aku setuju dengan cara Joe memandang dunia, aku ngga setuju dengan cara-cara yang dia lakukan. Apalagi penyakitnya dan sisi gelap dia yang merugikan orang lain. Ya gimana ngga merugikan orang lain orang dia melakukan pembunuhan dan dia bersih dari segala tuduhan pembunuhan. Ending ini hanya menjadi sebuah pemakluman atas keberadaan serial killer di dunia ini. Orang mana sih yang ngga punya empati dengan membiarkan serial killer berkeliaran sesuka dia?

Kalau dipikir-pikir lagi, apakah memang satu-satunya jawaban untuk menciptakan dunia yang ideal adalah dengan membunuh orang-orang yang not serving good deeds di dunia ini? Tapi kan kita bukan Tuhan. Kita ngga berhak atas penghakiman bahwa satu orang boleh mati dan membiarkan yang lainnya tetap hidup. Meskipun pahit untuk diakui, orang-orang yang dibunuh Joe kebanyakan memang beban masyarakat sih.

Series YOU ini seru untuk diikuti tapi semakin ditonton, semakin aku memahami bahwa ternyata memang serial killing itu sungguh diromantisasi oleh masyarakat Amerika Serikat. Sama seperti populernya serial Dahmer yang dirilis Netflix juga di tahun lalu. Padahal para keluarga korban pembunuhan tersebut masih belum sembuh betul dari luka atas kepergian orang terdekat mereka. Apakah ke depannya kegiatan bunuh-membunuh dan serial killing ini akan semakin dinormalisasi? Idk.

Satu hal yang aku benar-benar suka dari karakter Joe Goldberg adalah cara berpikirnya yang rapi dan runut. Joe Goldberg merupakan salah satu problem solver yang baik dan level-headed. Di situasi tersulit apapun, dia selalu bisa menemukan celah untuk keluar. Meskipun lagi-lagi aku ngga meng-encourage pembaca untuk meniru tindakan psikopat dan stalkingnya ya.

On the side note, mungkin aku juga bisa jadi Joe Goldberg jika aku membiarkan sisi obsessed-ku merajalela begitu saja. Mungkin. Meskipun nggak sampai harus melakukan segala cara, termasuk pembunuhan untuk melindungi orang yang benar-benar aku pedulikan.

Comments