All the Cameras I've Been Using in Review

Akhir tahun kemarin aku staycation sama teman yang kebetulan mau nikah bulan Januari 2024. Alasannya sederhana, aku cuma mau bikin bridal shower sederhana aja. Ya dia kan udah stress dengan persiapan pernikahan, libur dua hari dan goler-goler di hotel kan oke ya? Aku juga butuh liburan yang goler-goler doang untuk adjusting to civilian life post-Bangkok trip. Meskipun pada kenyataannya setelah staycation makin mager kalau disuruh ngantor.

Anyway, dari staycation tersebut aku sempat memberikan pujian ke foto-foto yang diambilnya ketika kami mampir ngafe-ngafe syantik di daerah Kemang. Nah, si teman ini malah jadi malu karena dia merasa pas ngambil foto selalu dikomentarin pasangannya karena kurang presisi. Dia juga bilang malu kalau aku komentarin karena aku anaknya fotografi banget. ((FOTOGRAFI BANGET)) gak tuh? Di situ aku bilang kalau justru aku tuh suka dengan foto yang menampilkan imperfection. I love the perfect imperfection. Dan sejak tahun lalu aku kenalan sama fotografi pake kamera analog, aku jadi makin appreciate ke foto-foto yang komposisinya ngga sempurna. Terus di tahun ini juga aku jadi makin suka ke genre street photography. Nah, dari situlah aku berangkat untuk mencoba review kamera-kamera yang aku pakai selama motret di tahun 2023 lalu.

Siapa tahu kalian juga lagi nyari referensi kamera kan?

CANON EOS M-3 Mirrorless 

Kamera Canon EOS M-3 ini merupakan kamera pertama yang aku beli setelah aku dapat kerjaan. Belinya di tahun 2017-an waktu itu dan harganya waktu itu di kisaran 5-6 juta. Pas aku lihat 7 tahun setelahnya (tahun 2023) harganya masih di kisaran yang sama kalau belinya baru. Kenapa waktu itu memutuskan beli mirrorless? Karena aku anaknya simple dan ngga terlalu jago setting kamera manual jadi lebih baik langsung beli point and shoot tapi kualitasnya ngga kaleng-kaleng. Ditambah lagi waktu itu memang ingin nge-vlog, nah Canon EOS M-3 ini layarnya sudah bisa dibalik sehingga bisa dipake sebagai kamera vlog. Sayangnya waktu itu teknologi belum secanggih saat ini, jadinya Canon EOS M-3 memang belum dibekali stabiliser. Jadinya kalau dipake nge-vlog di zaman sekarang ya video yang dihasilkan jadi berguncang.

Canon tentu kualitasnya cukup berbeda dengan Fuji yang sampai saat ini jadi andalan para fotografer di luar sana. Hasil gambar yang dihasilkan Canon menurutku kontras dan saturationnya tinggi. Jadi gambarnya terlihat lebih cerah dan warnanya juga tajam. Jeleknya baru muncul kalau digunakan di cuaca mendung, gambarnya jadi lebih gelap dan warnanya jadi lebih mute. Kalau dipakai nyetrit, seperti yang barusan aku lakukan di Jepang cukup oke karena sifatnya yang point and shoot selama pakai setting otomatis. Kamera ini juga masih bisa disetting manual dan hasilnya seperti gambar di bawah ini.

So far, selama hampir 8 tahun menggunakan Canon EOS M-3, hasil gambar yang dihasilkan masih bagus untuk standarku. Dan tentu saja masih sangat bisa digunakan untuk mengabadikan momen kalau lagi sering traveling karena bodinya compact dan ngga ribet setting. Oh iya lensa Canon EOS M-3 yang kupakai ini 35 mm dan bisa diupgrade ke lensa Canon yang lain. Untuk upgrade lensa ke yang lain perlu diperhatikan apakah perlu tambahan adaptor mounting atau tidak soalnya kamera ini menggunakan mount EF-M. Sejauh ini aku cuma pakai lensa bawaan dan ngga aku macem-macemin dalam penggunaannya. Dan mostly aku juga pakai mode auto sampai aku belajar setting manual kamera karena aku mulai pakai analog.

Street Photography using Canon EOS M-3, Shibuya (2023)
Close up Shot using Canon EOS M-3, TeamLAB Planet Tokyo (2023)

Instax Mini 9 Instant Camera


Kamera kedua yang hampir ngga pernah absen aku bawa saat traveling adalah Instax Mini 9 Camera yang merupakan hadiah ulang tahun dari Mbayodd dan Maskipa, tahun 2018. Ini kamera keren banget dan Mbayodd juga sangat observant karena aku dapetnya setelah Mbayodd melihat aku sepertinya tertarik punya polaroid. Luv banget pokoknya sama Mbayodd <3

Dulu sebelum memutuskan untuk punya kamera polaroid ini, aku sempat menimbang berkali-kali. Soalnya harga kameranya tuh memang ngga terlalu mahal cuma yang bikin mahal adalah harus beli isi polaroidnya berkali-kali. Yang mana satu kali beli isi polaroid isi 10 lembar kertas kisarannya ada di Rp 95-110 ribu. Kalau dikali 7 isi aja, sudah sama dengan beli kamera polaroid baru. Tapi setelah punya kamera polaroid, memang yang namanya fotografi dan mengabadikan momen itu ngga bisa digantikan dengan uang. Total sampai sekarang aku udah beli berkali-kali isi polaroidnya. Mungkin bisa dipake buat beli 2-3 kamera polaroid baru lagi hahaha.

Kamera ini dari segi desain ngga terlalu compact alias makan tempat karena bodynya bulky. Instax mini terbaru bodynya udah lebih kecil dan slimmer dibandingkan dengan punyaku. Warna instax mini yang baru juga lebih pastel. Tapi yang aku suka adalah fitur-fitur lawasnya seperti setting cahaya manual, shutter button masih berasa kalau dipake motret, daya tahan baterai yang awet, bahkan kamera ini masih dibekali juga dengan lensa tambahan untuk selfie (yang jarang aku pakai).

Untuk hasilnya, awal-awal aku punya polaroid (bahkan sampai sekarang juga sih) hasilnya gagal semua. Itu karena aku ngga tahu bahwa lensanya bisa diputar untuk setting diafragma kamera sesuai dengan pencahayaan yang ada. Cara settingnya gampang, tinggal lihat aja indikator lampu di setting cahaya, terus tinggal sesuaikan lingkaran lensa ke indikator lampu tersebut. Cuma setelah 7 tahun pakai, akhirnya aku mengerti gimana setting yang betul. Jadinya foto-foto yang dihasilkan lebih baik dan mostly masih jadi.

Sesungguhnya karena setting polaroid aja aku ngga pinter, inilah sebabnya awalnya aku ngga mau main kamera analog.


Analogue Camera Kodak M35

Kenapa akhirnya aku menjilat ludah sendiri? Menjilat ludah sendiri memang enak sih bun, tinggal pura-pura lupa aja sama alasan sebelumnya hahaha.

In my defense manusia itu berubah. Udah gitu aja daripada dibilang menjilat ludah sendiri. Awal jadi masuk ke kamera analog ini sudah aku jelaskan di postingan soal kamera analog. Awalnya karena gebetan suka main analog, terus aku merasa kok kayak repot ya harus cuci film dan sebagainya. Hingga akhirnya aku beneran menyaksikan temanku main analog di depan mataku. Dan menurutku itu menarik. Akhirnya aku coba-coba dulu sebelum serius main analog. Aku beli kamera analog diskonan, yang lebih tepatnya disebut sebagai toy camera karena bodi kameranya beneran ringkih dan terbuat dari plastik. Kayak si produsen ngga serius bikin kamera aja gitu.

Berhubung kameranya harganya masih murah dan ya udah aku coba dulu, akhirnya aku memberanikan diri untuk menggunakan kameranya di percobaan pertama yaitu ke Kebun Raya Bogor. Pas udah berhasil motret satu roll film dan puas sama hasilnya, di situlah aku berpikir "Wah ternyata main kamera analog ini memang seru ya."

Serunya adalah kita ngga pernah tahu hasil fotonya kayak apa sampai kita mencuci filmnya. Seperti kamera polaroid, awalnya rada susah. Kodak M35 ini memang kamera point and shoot alias ngga perlu setting-setting aperture, shutter speed, dll. Tapi justru karena settingnya sudah pakem itu, aku harus lebih cerdas melihat cahaya dan memutuskan pakai film dengan ISO berapa. Lensa kamera ini tuh setting bawaannya adalah: Shutter speed 1/120, Focus free 1m~, F aperture 1/8. Cocoknya dipakai untuk film dengan ISO/ASA 200 atau 400. Kodak M35 ini ngga terlalu oke buat low light alias dipake di malam hari. Kecuali mode foto close up dengan menyalakan flash. Nah untuk flash ini, harus siap baterai AA.

Untuk hasil fotonya, ini kebetulan aku lagi pakai film Kodak Ultramax dengan ISO 400 pas ke Bangkok kemarin. Sebetulnya udah dua kali aku pakai Ultramax tapi ngga untuk Kodak M35-ku, dan keduanya blank. Alhamdulillah banget aku pakai Ultramax di Bangkok semuanya jadi. Personally, aku lebih suka pakai Kodak M35 untuk point and shoot pakai film B/W soalnya hasilnya bagus dan effortless. Untuk film B/W, andalanku ada di Ilford Kentmere 200 dan 400 meskipun aku lebih suka yang hasil dari Kentmere 400 karena kontras black and white-nya makin kentara.

Street shot using Kodak M35 Ilford Kentmere 200, Kyoto (2023)
Street Shot using Kodak M35 Ilford Kentmere 400, Bangkok (2023)
Landscape shot using Kodak M35 Kodak Ultramax 400, Bangkok (2023)

Analogue Camera Yashica FX-3 Super 2000

Nah yang terakhir ini adalah kamera yang agak serius alias SLR. Sejak pegang kamera di tahun 2017, baru kali ini aku memberikan diri untuk beli kamera SLR. Tujuannya adalah untuk naik level dari yang kerjaannya motret otomatis dan point and shoot doang ke belajar nyetel kameranya, belajar teknik fotografi yang benar, dan belajar-belajar lainnya. Di perjalanan menggunakan Yashica ini sebetulnya banyak foto yang hasilnya kurang memuaskan tapi justru di situlah aku jadi mau mengakui kalau aku butuh banyak belajar.

Dan tentu saja ini membuktikan kalau aku tuh anaknya ngga ((FOTOGRAFI BANGET)).

Yashica FX-3 Super 2000 ini aku beli di Tokopedia di tahun 2022, pas setelah aku mulai enjoy main sama kamera analog dan mulai kepikiran untuk upgrade level. Jujur tahun 2022-2023 ini aku jadi makin tertarik sama dunia fotografi. Mungkin dari dulu tertarik tapi ngga pernah yang pengen religiously belajar seperti tahun 22-23 ini. Mungkin juga jadi serius belajar karena punya cukup modal dan privilege dalam mengakses bahan-bahannya. Pas pakai Yashica yang menurut beberapa orang oke untuk pemula ditambah dengan hasil fotonya ngga kalah sama kamera mahal lain (aka Nikon F2), aku merasa kalau ternyata emang yang bikin foto bagus itu bukan soal gear-nya. Untuk menghasilkan foto bagus, yang diperlukan cuma konsistensi dalam belajar, kemauan belajar, keterbukaan untuk belajar, dan terus upgrade teknik dan skill aja.

Misal pun aku langsung loncat ke pakai Leica atau Hasselblad, bisa jadi ya kualitas fotoku gitu-gitu aja juga. Selama aku ngga belajar komposisi, ngga belajar ngeliat arah cahaya, dan belajar teknik-teknik lainnya.

Pakai Yashica ini cukup hassle buatku karena aku ngga bisa setting kamera itu tadi. Awalnya belajar pakai aplikasi lghtmtr yang direkomendasikan temanku, hasilnya kurang oke. Terus setelah beberapa bulan pakai, baru ngeh kalau bisa pakai settingan lightmeter di kameranya sendiri. Setelah bisa pakai lightmeter kameranya, baru bisa menghasilkan gambar-gambar lumayan. Tapi masih kesusahan soalnya aku pakai kacamata dan kadang suka out of focus soalnya aku sendiri rabun. Jadi pas udah merasa fokusnya oke, ternyata hasilnya ngga fokus karena memang efek mataku rabun. Terus pas udah bisa fokus dengan baik, menghasilkan foto bagus eh lightmeter mati dan belum kuganti sampai sekarang. Terus kena cobaan film-film ngeblank. Dan seterusnya.

Yashica FX-3 Super 2000 yang aku beli ini dan aku udah bilang di twitter kalau ini best purchase in 2022 lensanya bisa ditarik sampe jadi lensa agak tele alias bisa digunakan untuk foto jarak jauh. Lensanya 25-55 mm. Semua fitur jalan termasuk lightmeter yang kemudian mati pas aku pakai ke Jepang kemarin. Kondisinya juga masih bagus banget. Somehow sangat bersyukur karena yang punya ngerawat kameranya banget dan bonusnya dapet lensa yang oke juga. Problemnya hanya di skill-ku yang ga upgrade upgrade aja. Jadi memang butuh membiasakan diri untuk banyak belajar pakai kamera SLR ini.

Sejujurnya main Yashica ini masih kayak main puzzle, aku belum ketemu cara yang tepat atau setting yang tepat sampai berasa nyaman dan tinggal cekrek-cekrek aja. Dan rasa-rasanya kalau untuk street photography aku akan memutuskan untuk terus pakai Kodak M35 aja biar mudah karena sifatnya point and shoot. Sementara untuk Yashica ini akan aku pakai untuk landscape atau beauty shoot yang perlu struggle dan kudu fokus pas pake. 

Masih ada banyak hal yang perlu aku pelajarin sebelum akhirnya betulan fasih pegang kameranya. Tapi ya untuk seorang yang baru setahun main analog, beberapa hasil foto dari Yashica ini cukup oke kok. Notabene dengan ada beberapa rasa sakit hati karena film-ku blank alias ga jadi, apalagi pas di Jepang hahaha.



Jadi sekian review terkait kamera-kamera yang aku pakai selama beberapa tahun ke belakang. Mungkin ke depannya aku akan tetap main semua kamera dan harapannya semakin meningkatkan skill fotografi. Alasannya sih bukan buat dijadikan pekerjaan tetap ya. Rasanya sayang aja kalau melakukan hal yang supposedly give us happiness jadi malah nambah beban hidup. Biarkan hobi ini tetap menjadi hobi, meskipun mahal hehehe.

Comments