Hijrah ke Cardiff

6 years had passed since I wrote this post "Hijrah ke London" and now I'll soon begin a new adventure in another part of the UK.

Sejak lulus dari jenjang Master pada tahun 2018 lalu, keinginan untuk melakukan PhD terus ada. Memang sih rencananya ingin banget PhD di tahun 2024 karena merasa akan cukup, cukup secara pengalaman dan cukup siap menjalani program PhD. Tapi siapa sangka rencana yang sempat membuatku menyerah dan sudah pasrah akan kegagalan justru memang terkabul di tahun 2024 ini?

Tanggal 14 Februari 2024 tidak hanya penting bagi masyarakat Indonesia, sebabnya hari itu sangat penting. PEMILU 2024 merupakan salah satu PEMILU yang tidak akan bisa dilupakan oleh sejarah, kecurangan di atas meja, kebobrokan demokrasi, dan pemerintah sukses mendorong orang-orang apatis seperti aku akhirnya mau memberikan pilihan. Walaupun tetap saja rasanya seperti main Bandersnatch, seolah-olah hidup memiliki freedom of speech and freedom of choice, nyatanya hasilnya sudah pre-determined. Demokrasi hanyalah ilusi, memilih juga hanyalah ilusi.

Selain PEMILU 2024 yang pantas untuk diangkat menjadi film dokumenter sejarah internasional, tanggal 14 Februari juga merupakan hari yang penting dan bersejarah untukku pribadi. Sebab ketika aku terbangun dari tidur, aku menerima surat cinta dari Cardiff University. Resmi. Surat itu adalah offer letter bahwa aku berhasil mendapatkan tempat untuk melanjutkan studi di Cardiff University.

Sempat ada keyakinan bahwa mungkin memang ini yang digariskan semesta, mungkin ini yang memang di-desain Allah untukku. Carut marut dunia politik, kelelahan bekerja di tempat yang sama dan sudah merasakan ketidaknyamanan bekerja di tengahnya, rencanaku selama 5-6 tahun lalu, semua terjawab oleh Letter of Acceptance dari Cardiff University ini. Ditambah lagi, programnya memang program yang kurasa cocok dengan keinginanku.

Aku pengennya ambil master lagi baru PhD, soalnya aku merasa pas Master kemarin kemampuan menulis risetku masih kurang.

Aku langsung diberikan jawaban oleh Allah melalui LoA ini. Program PhD Route di Cardiff University bahkan tidak tanggung-tanggung, aku harus melalui dua kali program Master lagi. Satu Master of Science in Economics, satu Master of Research in Advanced Economics. Baru setelahnya aku diberikan dua tahun untuk menyelesaikan program PhD. Ternyata Allah memang se-sayang itu padaku dan se-Maha Pendengar itu. Alhamdulillah, Masya Allah.

Namun yang perlu diketahui di balik LoA ini adalah usaha yang tidak pernah henti, penolakan berkali-kali, dan teman-teman yang supportif. Mungkin yang aku tunjukkan pada publik hanyalah bagian dimana aku berhasil mengamankan LoA, tapi proses di baliknya ini tidak semua orang mengetahui. Oleh sebab itu, aku menulis postingan ini agar proses itu dapat dipahami dan jika bisa diperbaiki oleh orang lain yang akan melakukan hal yang sama: melanjutkan studi.

Menemukan Alasan dan Tujuan Hidup


Seperti yang telah kujelaskan di paragraf di atas, semangat untuk melanjutkan studi tidak pernah padam. Meskipun pada prosesnya aku sempat mempertanyakan “Selanjutnya apa?” Atau “Apa yang sebenarnya kucari?

Benar-benar diperlukan alasan untuk menjaga semangat itu tetap ada. Dalam menghadapi ini, aku sama seperti manusia lainnya: kadang-kadang punya jawaban, namun seringnya tidak. Satu hal yang membuatku bersemangat adalah keinginan mengubah hidup.

Bagaimana caranya aku mengubah hidup?

Memiliki penghasilan lebih banyak, berada di tempat yang baru, memperjuangkan hal-hal yang aku inginkan, melakukan hal-hal yang aku inginkan.

Apa wujud nyatanya?

Bekerja di luar negeri. Salah satu langkah awalnya adalah dengan bersekolah di luar negeri.

Dengan bersekolah di luar negeri, lebih banyak pintu dan kesempatan yang terbuka. Aku berada di posisi saat ini salah satunya juga karena berkesempatan untuk bersekolah di luar negeri beberapa tahun lalu. Bisa jadi jika aku tidak berhasil kuliah Master di London, aku tidak akan bertemu Kak Alanda, aku tidak akan terpapar eksistensi The Behavioural Insights Team, dan aku tidak akan melanjutkan S3.

Harapan untuk mengubah hidup itulah yang membuatku terus mencoba. Harapan agar aku bisa melakukan apa yang kusuka: menulis, riset, dan menjadi cendekia. Harapan agar aku bisa berada di tempat dimana aku harusnya berada: fit in to the society. Harapan untuk menjadi bagian dari organisasi Ilmu Perilaku yang berkontribusi pada kebijakan Pemerintah, The Behavioural Insights Team. Harapan untuk melihat dunia yang lebih luas.

Mungkin yang lain memiliki asa yang berbeda dariku. Tapi yakinlah asa itulah yang akan mendorong kita untuk selalu maju dan bangkit kembali meski realita seringkali menjatuhkan kita ke bawah. Semangat dan alasan itulah yang membuatku berada di sini sekarang ini.

Krisis Identitas dan Keinginan Untuk Menyerah

Tidak selamanya aku konsisten bersemangat, ada juga masa-masa dimana aku merasa mungkin memang jalannya aku cukup menikmati hidupku yang sekarang. Pasrah pada keadaan menjadi budak korporat, pasrah bahwa mungkin memang kesempatanku untuk menjadi generasi pertama yang mengangkat derajat keluarga. Pun jika bukan aku yang berhasil bekerja di luar negeri, anak cucuku akan memiliki kesempatan itu. Karena aku sudah membuka jalan di keluargaku.

Ada juga masa-masa dimana aku mempertanyakan apa tujuanku melanjutkan studi hingga tinggi jika aku jalan di tempat. Aku hanya budak korporat, tidak berkeinginan untuk menjadi pengajar perguruan tinggi. Tapi aku suka menimba ilmu, aku suka membaca, aku suka menulis, dan aku suka melakukan riset. Apakah memang gelarku berguna untuk perusahaan aku bekerja sekarang?

Jika kuingat lagi tujuan utama untuk menjadi bagian dari The Behavioural Insights Team suatu hari nanti, di situlah aku jadi bersemangat lagi. Hanya saja aku tetap harus sadar dan menjejak tanah, bisa jadi rencanaku tidak semudah itu. Bisa jadi memang jalan yang digariskan Tuhan tidak selancar itu. Atau bisa jadi ada rencana lain yang aku tidak tahu. Di tengah krisis identitas itu, aku tetap memutuskan untuk tidak berhenti mencoba.

Pernah juga aku bingung harus mengangkat apa dalam risetku. Pekerjaanku saat ini tidak banyak bersinggungan dengan topik yang aku sukai. Sehari-hari aku berkutat menyelesaikan isu korporat, berurusan dengan hitungan keuangan, tidak ada singgungan dengan Ilmu Perilaku. Satu-satunya cara agar aku tidak lupa pada akarku maupun apa yang ingin aku pelajari lebih dalam terkait Ilmu Perilaku adalah menjadi bagian dari Advislab. Lagi-lagi kalau aku tidak kenalan dengan Kak Alanda, aku tidak akan menjadi bagian dari Advislab.

Saking tidak tahu bagaimana caranya untuk memulai atau apa yang ingin kulakukan dengan PhD, akupun hampir menyerah. Pernah terucap dari mulutku “Fuck it! Ya udah kalau memang bukan jalannya aku ngga akan maksa.”

Tapi ternyata bertemu dengan lebih banyak orang, membaca lebih banyak hal, menyelesaikan lebih banyak kasus di korporasi membuatku perlahan punya ide terkait riset. Hingga akhirnya terbersitlah ide, “Oh mungkin memang masih ada harapan untuk menerapkan Ilmu Perilaku bagi perusahaan ini.” Kemudian hal itulah yang membawakan LoA kepadaku.

Koneksi, Kegagalan Berkali-kali, Rencana Cadangan

Berapa kali aku mendaftar program PhD?

Berapa profesor/calon supervisor yang aku hubungi?

Berapa lama proses yang dibutuhkan hingga mendapatkan PhD?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: puluhan kali, belasan Profesor, dan 5 tahun.

Proses mengamankan rencana PhD ini panjang, aku sampai membuat sebuah laman Notion untuk tracking proses PhD ini dengan judul LSE 2024. Pada kenyataannya, isi laman tersebut malah ada banyak lowongan PhD hingga draft essai dan proposal riset. Halaman itu selalu aku update dengan tautan-tautan dan referensi baru. Disesuaikan dengan syarat dan juga tips mengamankan PhD. Bahkan ada suatu masa dimana aku ingin mengamankan jenjang Master dulu saja sebelum lanjut ke PhD.

Yang perlu digarisbawahi dalam proses ini adalah perencanaan, memang sih selama 5 tahun ke belakang aku ngga konsisten serius pursuing PhD program. Baru serius ya dua tahun terakhir ini karena memang aku nge-set target untuk PhD di tahun 2024, kalau ngga mulai earlier ya bisa jadi akan push back ke tahun-tahun berikutnya.

Adapun dalam proses merencanakan PhD itu ada beberapa hal penting yang aku lakukan:

1) Memutuskan mau lanjut studi apa?;

2) Memutuskan mau mengambil riset apa?;

3) Memutuskan mau sekolah dimana?

Walaupun ujung-ujungnya untuk nomor 3) aku kembali ke Inggris, aku juga tidak membatasi diriku untuk melamar di Universitas lain di luar Inggris. Ada yang di Australia, ada yang di Jerman, ada yang di Irlandia. Hingga mendapatkan tempat di Cardiff University saat ini, sebetulnya ada faktor lain yaitu koneksi dan kegigihan. Beruntung aku sudah berkenalan dengan Kak Alanda yang juga jadi atasanku di Advislab. Kak Alanda yang sudah menempuh PhD di University of Tasmania ngga pernah bosan mengirimkanku informasi dan lowongan PhD. PhD di Cardiff University ini adalah salah satu lowongan yang dia kirimkan padaku, jadi untuk hal ini sebetulnya credits ya dari Kak Alanda Kariza.

Selain mendapatkan lowongan PhD dari koneksi, ada juga lowongan PhD yang kucari mandiri di FindMyPhD. Untuk hal ini aku terbantu dari tips-tips Kak Annisa yang sekarang lagi menempuh PhD di Norwegia. Kak Annisa memberika tips bahwa PhD ngga melulu soal studi atau nyari supervisor tapi bisa juga dicari via Project. Nah dari situlah aku juga mencari-cari lowongan PhD by Project yang sistemnya lebih mirip kita bekerja dan melamar pekerjaan, jadi ngga perlu bikin proposal riset karena kita tinggal ikut Supervisor saja. Ada juga lowongan-lowongan PhD yang diposting oleh akun twitter (X) The BE Hub. Untuk lowongan PhD yang biasanya dari Jerman aku melamar via informasi dari The BE Hub.

Lagi-lagi kalau ditanya apakah aku sukses mengamankan lowongan dalam satu kali percobaan? Jawabannya tidak. Dan aku selalu bangga untuk bilang bahwa gagal itu ngga papa. Dari ratusan kegagalan pasti akan ada satu yang berhasil.

Hanya saja, untuk menghadapi kegagalan itu aku juga akhirnya mempersiapkan rencana cadangan yaitu: coba lagi S2. Siapa tahu dengan S2 yang kedua akan membuka jalan untuk PhD? Untuk itu aku sudah melamar Beasiswa Chevening dua kali dan gagal dua-duanya, melamar jenjang Master (MSc Behavioural Science) LSE satu kali dan gagal, lalu melamar beasiswa dari kantor (GPSP) dua kali dan dua-duanya ngga dapat info lanjut. Usut punya usut justru rencana cadangan ini juga tidak berjalan mulus. Malah dapat jawaban pasti di tahun 2024 ini, dijawab langsung untuk ambil Master dua kali sesuai dengan keinginanku sebelum PhD.

Satu fakta lagi adalah sepertinya aku memang tidak berjodoh dengan Jerman. Mau aku coba berapa kalipun melamar sekolah di Jerman sejak aku masih pursuing gelar Master, aku tidak pernah berhasil mendapatkan sekolah di Jerman. Mungkin memang jodohku di Inggris, atau memang ditakdirkan untuk fit in jadi warga negara Inggris. Soalnya Inggris selalu memberikanku kesempatan untuk studi di sana.

Pendanaan Studi

Kegalauan selanjutnya soal studi S3 ini adalah pendanaan (funding). Kalau kata mbayodd justru lebih mudah nyari funding S3 daripada S2 karena pada umumnya skema S3 adalah bekerja alias sekolah tapi digaji. Kak Annisa Sarah juga berpendapat hal yang sama. Ketika PhD atau S3 kita bekerja sebagai research assistant atau ya memang ditugaskan untuk belajar. Seringkali pendanaan S3 berasal dari dana hibah maupun permintaan riset dari berbagai macam organisasi, bisa perusahaan bisa juga organisasi nirlaba. Meski demikian fakta bahwa funding S3 ini bisa jadi ngga semulus funding S2 juga akan kurasakan di depan mata.

Jadi program yang memberikanku tawaran adalah skema PhD Route dimana aku akan dipekerjakan sebagai anggota Fakultas Bisnis Cardiff University (Cardiff Business School). Informasi yang kudapat terkait program ini adalah nantinya aku akan mendapatkan stipend (tunjangan) sebesar GBP 18.000-an per tahun, yang mana kalau dibagi 12 bulan sekitar GBP 1250 dan bebas bayar Tuition Fee (SPP). Syarat dari program ini adalah aku harus lulus MSc Economics dengan batas nilai 60% dan lulus MRes Advanced Economics dengan batas nilai 50%. Ini merupakan tantangan karena pas MSc Behavioural Finance lalu aku memang lulus di atas 60% tapi ngepress banget dan gagal di satu mata kuliah.

Sedihnya lagi, belum ada detail lebih lanjut terkait relokasi, imigrasi, dan biaya akomodasi. Okelah untuk akomodasi mungkin aku bisa membagi stipend untuk membayar akomodasi di Cardiff, tapi untuk urusan visa apalagi visa PhD aku butuh uang banyak. Belum lagi jika harus mengendapkan uang di tabungan 3 bulan sebelum pembuatan visa. Ada uang sih tapi kayaknya ngga cukup untuk mengcover Deposit yang disyaratkan oleh kampus, Deposit akomodasi, dan biaya National Health Surcharge (BPJS-nya UK) untuk visa PhD.

Tips untuk hal ini adalah komunikasikan secara detil dengan pihak admission departemen terkait pendanaan. Apakah visa disponsori dan ditanggung? Bagaimana dengan akomodasi? Dan lain sebagainya. Jika terpaksa memang tidak tersedia, sepertinya perlu lari ke pendanaan lain yaitu beasiswa pemerintah (apalagi kalau bukan LPDP?).

Yang perlu diperhatikan juga, ada program-program PhD yang tidak memberikan pendanaan sekalipun jadi full cost perlu didanai oleh pemberi beasiswa lain. Hal ini merupakan salah satu faktor yang tidak boleh luput dalam pertimbangan melanjutkan studi.

Akhir Kata

Meskipun tulisan ini dibuat dalam bentuk naratif, bukan disajikan dalam bullet point, pada dasarnya kesimpulan dalam proses melanjutkan studi ke jenjang PhD adalah sebagai berikut:

  1. Buat perencanaan dengan matang: atur timeline rencana studi, tentukan riset yang akan ditulis, persiapkan mental dan waktu untuk proses yang lama dalam mendapatkan sekolah dan supervisor.
  2. Tentukan tujuan dan motivasi: Motivasi serta tujuan akhir setelah PhD menjadi poin penting untuk meneguhkan hati dalam menjalani rangkaian proses mendapatkan sekolah. Motivasi ini juga yang akan terus mendorong kita untuk tidak berhenti mencoba dan mencari kesempatan.
  3. Mengembangkan koneksi: Koneksi bisa berasal darimana saja dan dalam bentuk apapun. Mencari tahu informasi terkait lowongan hingga detil juga termasuk usaha dalam mencari koneksi. Jalin relasi dengan rekan-rekan yang sudah menempuh PhD lebih dulu, perkaya skill, perbanyak membaca.
  4. Konsisten: Konsistensi adalah kunci. Meski gagal ataupun tidak berhasil, terus mencoba dan terus memperbaiki yang dirasa kurang. Jika perlu, konsisten juga mencari umpan balik dari peers yang juga memiliki keinginan yang sama untuk melanjutkan studi. Konsisten juga pada passion dan bidang yang akan digeluti karena pada dasarnya PhD adalah pendalaman terhadap bidang yang sudah dipelajari di jenjang pendidikan sebelumnya.
  5. Pasrah dan percaya jalan yang terbaik akan selalu ada: ini memang terdengar klise tapi ya ini fakta yang terjadi padaku. Things come to me when I expect it the less. Meskipun sudah berusaha yang terbaik tapi masih belum dapat ya berarti memang belum waktunya. What’s not yours will never be yours. Prinsipnya dalam konsep rezeki adalah kalau sudah digariskan dia ngga akan pergi kemana-mana.

Mungkin cukup di sini cerita soal perjalanan menuju Hijrah ke Cardiff, at the end of the day I will also ask for your prayer to wish me luck! Doakan semoga rezeki ini memang merupakan sebuah bentuk rezeki yang bisa dinikmati oleh lingkungan juga. Meskipun pada awalnya aku hanya ingin merasakan sekali lagi tinggal di luar negeri, ketika hal ini datang rasa itu sudah luntur. Sekarang yang ada di pikiranku adalah bagaimana caranya untuk jadi lebih bermanfaat bagi orang lain baik di lingkungan terdekat maupun lingkungan yang lebih besar.

Cheers!

Comments