Bukan PNS Tapi Dapat Pensiun? Bisa Saja Dengan #MoneySmartMenginspirasi


Sudah jadi rahasia umum masyarakat Indonesia bahwa pekerjaan impian para orangtua adalah PNS. Entah siapa yang mulai mencetuskan ide ini. Alasan sederhana para orangtua untuk mendorong anak mereka menjadi PNS adalah mengejar pensiunan. Mungkin tidak hanya pensiunan saja yang menjadi dorongan ada sebagian juga yang berpikir bahwa PNS adalah satu-satunya pekerjaan mudah dan tidak berisiko.

Fakta bahwa animo masyarakat untuk menjadi PNS masih tinggi terbukti dari jumlah PNS aktif yang tercatat sebanyak 4,5 juta orang. Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnadi menyatakan bahwa rasio PNS ideal harusnya 1.5% dari total populasi masyarakat. Jadi seharusnya jumlah PNS di Republik ini adalah 3,5 juta orang saja (1). Namun seperti yang dibeberkan sebelumnya, jumlah PNS di Indonesia lebih dari ideal. Ditambah lagi, pengeluaran untuk ASN diperkirakan mencapai 33.8% dari anggaran negara (2). Bukankah fakta-fakta ini setidaknya bisa mendorong sebagian orang untuk tidak lagi berkeinginan untuk jadi PNS?

Bila fakta bahwa anggaran belanja terancam semakin terbebani karena jumlah PNS yang tidak ideal dengan populasi masih kurang meyakinkan, mungkin alasan pensiunan harus mulai dilirik. Sekarang, tidak hanya PNS saja yang mendapatkan pensiunan alias hidup terjamin di hari tua. Siapapun bisa, asalkan memiliki kemampuan mengatur kondisi finansial yang mumpuni. Bagaimana caranya?

Bernheim, Skinner, Weinberg (2001) menunjukkan bahwa di usia pensiun, konsumsi individu akan menurun drastis. Penurunan ini disebabkan oleh minimnya kebutuhan sehari-hari, tidak seperti di masa usia produktif. Konsumsi yang dikeluarkan pun hanya berkisar pada kebutuhan pokok seperti makanan, minuman, serta tagihan bulanan dan minimnya pengeluaran untuk kebutuhan tersier seperti pakaian, pulsa tambahan, kebutuhan hiburan, dan lain-lain (Hurd & Rohwedder, 2013).

Swedia menerapkan sistem alokasi default sejak tahun 2000 untuk simpanan pensiun di lembaga swasta. Awalnya hanya terdapat sekitar 1/3 dari partisipan yang mengikuti program default allocation ini. Namun pada tahun-tahun berikutnya, hampir 90% partisipan simpanan pensiun memilih program default allocation dan tidak melayangkan komplain karena merasa bahwa program yang diterapkan tersebut justru bermanfaat di usia senja mereka (3).

Penelitian yang dilakukan oleh Choi, Laibson, Madrian, and Metrick (2002) menunjukkan bahwa pada umumnya para pekerja masih undersave alias tidak memahami pentingnya simpanan untuk hari tua. Hal tersebut disebabkan oleh perilaku naif terhadap konsumsi di masa depan, mereka berpikir bahwa di usia senja maka mereka akan menabung lebih banyak. Padahal, meski konsumsi di masa senja memang menurun melakukan simpanan di masa tua bisa disebut terlambat. Hal serupa juga sering terjadi di Indonesia, maka tak sedikit dari sejumlah keluarga yang mengalami sandwich generation. Yang dimaksud dengan sandwich generation adalah individu yang memiliki beban finansial dalam mengurus kesejahteraan anak dan juga orangtua (4). Munculnya generasi sandwich ini merupakan implikasi dari minimnya pemahaman akan manfaat pensiun dan paradigma bahwa pegawai swasta tidak bisa mendapatkan pensiun seperti PNS.


Menurut Moneysmart.id, ada beberapa cara untuk mengatasi sandwich generation. Yang pertama adalah dengan mengatur keuangan (budgeting) untuk orangtua. Cara ini bisa dilakukan dengan mandaftar segala aset yang dimiliki untuk melunasi tanggungan orangtua, tentu saja sebelum menerapkan hal ini diskusi dengan pasangan harus dilakukan. Kemudian ada juga cara untuk mengkomunikasikan biaya finansial orangtua pada saudara, sehingga masing-masing sama-sama memiliki tanggung jawab yang sama untuk menanggung beban finansial. Lalu ada juga cara yang disebut sebagai life cycle investment yaitu melakukan investasi sesuai dengan fase hidup (masa muda, menjelang pensiun, dan masa pensiun).

Ada sekitar 4 investasi yang bisa kamu lakukan untuk menghindari timbulnya sandwich generation baru dan bisa dilakukan selagi masih berada di usia produktif (5), di antaranya adalah: investasi karier, kesehatan, deposito atau emas,  dan instrumen keuangan lain seperti: saham, obligasi, peer-to-peer lending. Selain 4 investasi di atas, kamu juga bisa memanfaatkan program pemerintah seperti BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan untuk menjamin masa tua yang bebas dari tanggungan finansial.

Kabar baiknya lagi, BPJS Ketenagakerjaan kini sudah menyediakan program bagi pegawai non-upah agar kondisi keuangan di masa tua terjamin. Kekhawatiran mengenai tidak dapat pensiun ketika tidak jadi PNS tidak perlu dipikirkan lagi. Melalui program BPJS untuk pegawai non-upah, seseorang yang bekerja sebagai freelancer, dokter, pedagang, bahkan petani sekalipun akan tetap bisa mendapatkan manfaat di hari tua dengan premi iuran yang terbilang rendah (6). Perlindungan soal kecelakaan kerja dan kesehatan pun dapat ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan. Oleh sebab itu, tak perlu ada alasan lagi untuk tidak mulai berinvestasi dan menabung kan? Dan tidak perlu ada alasan menunggu jadi PNS dulu untuk mendapatkan pensiun pastinya.

Dalam menekan konsumsi di masa muda, seseorang membutuhkan ketrampilan penganggaran (budgeting) termasuk dalam menyisihkan uang untuk konsumsi di masa pensiun. #MoneySmartMenginspirasi milenial dalam hal budgeting ini. Kamu harus mematuhi setidaknya 3 aturan dalam manajemen keuangan agar kamu bisa mendapatkan manfaat di usia pensiun nanti, yakni: The 70% rule, The 30 day rule, dan The 50/20/30 rule (7). Dalam The 70% rule, kamu harus mengalokasikan setidaknya 70% dari penghasilan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara sisanya berupa 20% untuk ditabung dan 10% diinvestasikan. Dengan program BPJS-TK kamu bahkan hanya perlu menyisihkan sekitar 2% saja dari upah yang dilaporkan untuk menerima manfaat di hari tua nanti lho.

Selanjutnya ada The 30 day rule yang bermanfaat bagi individu yang merupakan impulsive shopper, dengan aturan ini seseorang akan dipaksa untuk mengeluarkan uang hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Hal-hal yang tidak termasuk dalam anggaran bulanan ditahan untuk tidak dibeli. Untuk memudahkan budget bulanan, salah satu bank UK telah memiliki fitur yang mendukung peraturan ini (8). Monzo, memberlakukan budgeting pada saving account dan menunjukkan (salience) berapa banyak uang yang dikeluarkan dalam setiap transaksi. Secara transparan dan kentara, kita akan bisa menahan hasrat untuk membelanjakan uang karena semakin sering belanja maka budget akan semakin menipis.

Yang terakhir ada The 50/20/30 rule yang mungkin cocok untuk milenial. Aturan ini diterapkan dengan mengalokasikan 50% dari penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari, 20% untuk investasi dan tabungan, serta 30% untuk kebutuhan tersier seperti nongkrong atau jalan-jalan. Cara terakhir ini biasanya lebih banyak diterapkan karena cukup fleksibel bagi sebagian orang, khususnya generasi milenial. Tabungan dan investasi tetap jalan tapi tidak lupa bersenang-senang. Yang jelas, dengan alokasi 20% untuk tabungan dan investasi, kamu tak perlu khawatir lagi di masa tua nanti kamu akan membebani anakmu secara finansial. Yang terpenting dalam perencanaan keuangan adalah kesadaran bahwa hidup kita tidak berakhir besok atau bulan depan saja tapi bertahun-tahun lagi.

Bagi kamu yang membutuhkan banyak informasi soal pengelolaan keuangan, kamu bisa juga membaca artikel-artikel bermanfaat di Moneysmart.id. Dan jangan lupa untuk menerapkan informasi atau tips yang diberikan #MoneySmartMenginspirasi.

Comments