Cuma Pengen Cerita : Jalan-Jalan ke Blitar

Kalau pada postingan cuma pengen cerita sebelumnya penulis hanya mengisinya dengna catatan perjalanan ke pantai sepanjang Malang Selatan, kali ini akan sedikit berbeda sebab penulis akan berkisah mengenai perjalanan ke kota sebelah yang tidak terlalu jauh dari Malang yaitu Blitar. Sebenarnya perjalanan ini murah sekali karena hanya membayar iuran Rp 50.000/keluarga, maklum acara rukun tetangga. Dan kebetulan penulis juga sedang kurang piknik sehingga memutuskan untuk melongok sebentar ada apa sih di Blitar?

Well, perjalanan dilakukan pada hari Minggu (29/11) dengan menumpangi bus. Tujuan pertama adalah makam Bung Karno, sudah tahu lah ya siapa. Masalahnya, keluarga penulis engga terlalu ngefans sama Bung Karno jadi excitement untuk sekedar berziarah pun minim sekali. Lagipula hasilnya juga zonk. Kenapa zonk? Jadi, ketika sampai di Kota Blitar rombongan memutuskan untuk menjadikan makam Bung Karno sebagai jujugan pertama destinasi wisata. Jeleknya, bus harus parkir kurang lebih 1 kilometer dari makam itu sendiri. Mau tidak mau, suka tidak suka pengujung harus menyewa jasa becak yang memang sudah mangkal di area parkir.

Masalahnya adalah tarif yang dikenakan tukang becak tidak sama dengan tarif yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Loh kan?! Di area parkir telah terdapat baliho besar yang tulisannya dengan jelas dapat dibaca bahwa tarif becak PP area parkir ke makam Bung Karno Rp 15.000; PP area parkir ke Istana Gebang Rp 25.000; PP area parkir ke makam Bung Karno, Istana Gebang dan Perpustakaan RP 40.000. Faktanya? Ketika penulis berminat untuk menyambangi Istana Gebang, penulis dikenakan tarif Rp 30.000 PP. HELL!! Bukannya pelit meski bedanya hanya RP 5.000 saja. Penulis tidak suka tarif "gelap" yang ditarik oleh tukang becak itu. Sudah jelas ditulis bahwa tarifnya hanya Rp 25.000 PULANG PERGI, kenapa masih harus mencharge wisatawan dengan ongkos gelap? Ketika ditanya kok gak sama dengan yang sudah tertulis di baliho itu Pak? Dia menjawab, itu tarif lama Mbak. Sudah jelas sekali bahwa tak ada tanggal kadaluarsa atau tak berlaku di baliho tersebut. Hal sekecil ini apabila tak dikritisi dapat menjadi bibit-bibit korupsi dan penyuapan di tanah ini.

Bagaimana tidak? Kalau semua penumpang memilih mengiyakan, maka tukang becak itu akan terus-terusan mencharge wisatawan, si tukang becak senang, si wisatawan tidak, walhasil bisa jadi jumlah wisatawan akan menurun? Lalu implikasinya pendapatan wisata daerah juga akan menurun. Nah lo! Pada akhirnya penulis memutuskan untuk stay di area parkir saja dan tidak berkunjung ke destinasi pertama perjalanan di Kota Blitar.


Kekecewaan penulis terbayar di tujuan berikutnya, Kampung Cokelat. Sebenarnya yang membuat penulis kagum adalah kemuan GAPOKTAN (Gerakan Kelompok Tani) yang kreatif dan inovatif untuk membentuk suatu destinasi wisata baru berdasarkan komoditas yang mereka hasilkan. Tentu saja hal ini juga dibantu oleh lembaga pemerintah (tempat penulis magang dan tentu saja penulis tahu hal ini karena pernah magang di sana). Andai saja Kota Malang juga memiliki inovasi yang sejenis, pemberdayaan GAPOKTAN di daerah Malang memang masih kurang padahal Malang Raya memiliki potensi wisata yang sangat banyak, terutama di Kabupaten Malang yang masih memiliki beribu keindahan alam yang belum terjamah.

Terlepas dari kekaguman tersebut, Kampung Cokelat sebenarnya tidak terlalu amazing, cokelat yang dihasilkan juga masih berasa Indonesia. Yang dimaksud berasa Indonesia di sini adalah rasanya kurang creamy, kurang susu, kurang lembut dan cenderung membuat tenggorokan agak gatal. Kampung Cokelat, sesuai dengan namanya, merupakan tempat wisata yang menyediakan segala hal berbau cokelat. Mie cokelat, minuman cokelat, popcorn cokelat, nasi cokelat, kebun cokelat, dan cokelat lainnya. Jadi jangan pernah bayangkan Kampung Cokelat itu seperti Pabrik Cokelat Willy Wonka, berbeda 180 derajat, tolong jangan pernah bayangkan.

Meski tidak terlalu amazing dan terkesan biasa saja bahkan kurang effort, berhubung penulis adalah pecinta cokelat jadi ya dinikmati saja. Apalagi wisata ini termasuk murah sekali, masuk Kampung Cokelat hanya bayar Rp 5.000 saja dengan berbagai tawaran produk cokelat yang juga murah meriah. Well, apapun yang pernah penulis alami harus disyukuri bukan?



Comments

  1. Wah, ada perbedaan tarif ya. Aku kemarin sempat main ke Blitar juga sih cuma naik motor.

    ReplyDelete

Post a Comment

Thank you for visiting my blog, kindly leave your comment below :)

In a moment, I can't reply your comments due to error in my account when replying. But I make sure that I read every single comment you leave here :)