Cuma Pengen Cerita: Trip to Budug Asu #KueselSumpah

Setelah sekian lama tak menyatu dengan alam, manusia akan merasa energinya habis tersedot hiruk pikuk kota. Iya, awalan ini memang alay sih tapi ya gimana ya emang begitu yang kurasa setelah satu tahun lebih cuma jalan-jalan di tengah kota aja. Paling jauh ya ke kantor atau ke tempat les dan itu pun rutinitas. Paling untuk melepas stress cuma makan di kedai favorit atau nonton film di bioskop. Hidupku emang semonoton itu tapi aku bersyukur sebab aku masih hidup hingga saat ini.

Seperti yang sudah aku ceritakan di postingan ini, aku tuh merasa agak stress karena tak kunjung mendapatkan LoA. Sementara deadline beasiswaku kurang dari 5 bulan lagi. Tarik napas, hembuskan. Jadi ya aku benar-benar butuh pelarian dan pelarian itu adalah alam. Ditambah lagi di bulan April terdapat tiga long Weekend berturut-turut. Saat aku sudah bekerja keras di long weekend pertama maka aku mendapatkan kesempatan untuk leyeh-leyeh di long weekend kedua (22, 23, 24). 

Fun facts, di long weekend kedua aku masih tetap kerja di tanggal 22 dan 24. Kurang strong apa coba? Dan di long weekend ketiga ini (29-30, 1 Mei) aku juga kerja lagi. Super strong!

Tapi tak apa, tepat di hari Senin, 24 April 2017 aku benar-benar sudah berencana untuk berlari ke alam. Tujuan awalku seperti biasa, pantai. Aku nggak perlu susah dan capek mendaki untuk mendapatkan foto baru. Tapi ya rencana tinggal wacana. Teman-temanku sudah mulai sibuk dengan hidup mereka sendiri jadi mereka engga ada waktu dan daripada rencanaku batal, aku putuskan untuk berangkat sendiri (not literally).

Aku mengubah tujuanku yang semula ke pantai jadi ke sebuah bukit (yang tergolong baru dikenal) di Malang, namanya adalah Budug Asu. Bukit ini terletak di Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Lokasi tepatnya ada di kaki gunung Arjuno dan it means you have to go across tea field to go there. Sejak awal aku sudah diperingatkan oleh temanku, Tryas, bahwa kami akan berjalan jauh selama 1.5 jam (itu hitungan dia) dan aku percaya diri karena dulu aku juga sudah terbiasa berjalan kaki.

Well, angan hanyalah angan berbeda jauh dengan realita.

Setelah sampai di rumah Tryas pukul 9 kurang, kami memutuskan untuk berangkat dan sampai di kebun teh pada pukul 10. Dari lapangan parkir kebun teh kami berjalan sekitar 2 jam melewati kebun teh, hutan pinus, dan juga tanah berbatu sejauh berkilo-kilometer hingga sampai di puncak bukit. 

Dalam perjalanan ke Budug Asu, biaya yang dibutuhkan setidaknya Rp 42 ribu di hari libur. Tiket tersebut untuk dua orang dengan rincian tiket masuk kebun teh Rp 15.000/orang, Rp 2.000 untuk parkir, dan Rp 5.000 untuk naik ke puncak bukit. Yang bikin lama dari perjalanan ini adalah jalanan berbatu yang terus terang malah bikin lebih lelah dan bikin kaki sakit bila tak mengenakan sepatu yang pas untuk trekking.

Seperti yang aku bilang, medan tempuh ke Budug Asu melelahkan karena terjal dan berbatu. Kalau ditanya bisa pakai mobil atau engga? Bisa pakai motor atau engga? Bisa, tapi maksa banget kalaupun nekad pakai motor ya usahakan bawa motor trail aja. Toh ya sama capeknya karena jalanannya bakal bikin bokong kaku. Kalau pengen engga capek menuju ke bukit ini ya mending sewa jeep aja ada pake adventure Rp 700 ribu pakai jeep sudah dapat guide, makan, bensin, supir, bersih deh pokoknya (tinggal daki bukit doang).

Dan beda sama perkiraan awalku, ternyata bukit Budug Asu itu jauh dari kata landai. Untuk mendaki bukit ini butuh tenaga dan tekad yang ekstra karena bidang miringnya tergolong curam. Bisa sih menggunakan jalan memutar dari sisi kiri bukit tapi lebih jauh dan makan waktu lebih lama kurang lebih setengah jam kalau jalan cukup cepat. Alokasi waktu dua jam yang aku sebutkan sebelumnya itu sudah termasuk naik bukit juga lho! Dan itu pun aku memilih untuk berhenti di beberapa titik karena kakiku udah gak kuat lagi. Tapi ya gimana udah naik ke bukit masa engga ke puncaknya? Sia-sia dong.

Pas sampai di puncak, spot foto menarik masih sedikit. Maklum ya karena tempat ini adalah tempat baru. Tapi asyiknya ada warung makan kecil yang menjual, soto, mie rebus, dan gorengan. Harganya cukup murah kurang dari Rp 15 ribu, mie goreng rebusnya aja cuma Rp 5.000. Jadi kalau kalian lapar setelah mendaki, apalagi aku yang belum sarapan tapi udah trekking dan mendaki kayak gitu ya aku putuskan untuk menyantap semangkuk indomie goreng. Cukup lah buat ngganjal perut.

Setelah sampai, istirahat sebentar di gubug cinta dan makan indomie goreng barulah aku beraksi dengan cekrak cekrek hengpong jadul minceu alias bernarsis-narsis ria. Berbicara soal pemandangan, Budug Asu memang menyajikan pemandangan alam yang indah sih. Sedikit banyak mirip dengan Paralayang namun pemandangan Budug Asu lebih natural. Dan kayaknya nih, kayaknya, nama Budug Asu diambil dari nama cekungan yang bisa terlihat dari puncak bukit. Cekungan tersebut mirip dengan moncong anjing.

Setelah mengambil beberapa macam foto di pelataran datar, aku langsung cuss ke spot berikutnya yang seperti papan panggung. Agak mengingatkan ke daerah wisata Kalibiru. Ya gimana ya, kayaknya emang lagi musim spot foto papan kayu model begitu. Gratis kok, gak bayar sama sekali sekali lagi karena Budug Asu masih baru dan belum rame jadi masih gratis.

Oh ya, ada beberapa hal yang notable dari perjalanan kali ini seperti celetukan serombongan anak laki-laki yang susah payah naik juga. Salah satu dari mereka bilang, "Perjuangan banget hanya untuk hashtag fotografi," dan ucapan ini sukses bikin aku nahan tawa pfffftttt. Lalu waktu pulang, aku dan Tryas mengambil jalan yang berbeda. Engga langsung menuruni bukit yang curam itu, meski emang lebih cepet. Aku memutuskan untuk mengambil jalan memutar dan sempat terpeleset karena jalanan licin. Waktu ambil jalan di hutan pinus juga kami pilih jalan yang sedikit berbatu. Istilahnya kami ambil jalan pulang yang berbeda lah. Dan beruntung banget dan emang rezeki anak soleh, kami dapat tumpangan jadi engga perlu jalan jauh lagi hihihi.

Hmm well setelah perjalanan yang menyakitkan dan bikin kaki kram itu, yang kamu dapatkan di Budug Asu itu worthed kok. Aku pun puas karena mendapatkan banyak banget foto bagus. Selain itu tujuanku untuk menyatu dengan alam dan melepas stress juga terpenuhi. Dan pesan moralnya, aku jadi selalu bertekad untuk tidak menyerah (literally). Sama seperti aku memperjuangkan beasiswa ini, kalau diingat-ingat waktu di separuh pendakian aku sempat pengen nyerah karena kakiku sakit banget tapi sayang karena aku udah menghabiskan begitu banyak tenaga dan waktu buat mencapai Bukit ini masa harus nyerah? Sama. Aku sudah ngeluangin waktu banyak, menghabiskan banyak tenaga dan materi untuk dapat beasiswa dan ngejar cita-cita sekolah ke Jerman masa harus menyerah?

Alam itu memang selalu punya cara untuk mengingatkan kita kembali ke kodrat kita sebagai manusia dan mensyukuri apa yang kita punya! Bagi kamu-kamu yang ingin tahu perjalanan versi riil bisa deh tonton video berikut. Jangan lupa like dan subscribe yaaa!

Gallery

















Comments