Baca Isinya Bukan Judulnya

Postingan ini turun karena aku triggered setelah seringkali mengamati fenomena netizen komen setelah baca judulnya aja. Yang bikin aku bener-bener triggered adalah sebuah berita yang ditulis oleh sebuah portal ternama pagi ini. Judul berita tersebut awalnya seperti ini dan cukup bikin penasaran orang sehingga meng-klik untuk membaca berita tersebut.

Di tengah kondisi politik yang panas di Indonesia (ya apalagi kalau bukan perkara Ahok), kata-kata intoleransi seolah dengan mudahnya dijual dan dipergunakan oleh siapapun. Seolah semua mayoritas (ya! Orang Muslim Indonesia) adalah orang-orang yang diskriminatif dan enggan bersentuhan dengan umat berkeyakinan lain. Padahal faktanya tidak demikian. Kenapa aku bilang tidak demikian. Di berita yang sama pula dijelaskan bahwa hasil penelitian yang dicantumkan adalah TOLERAN. Tak percaya?




Yang membuatku mengkritisi berita ini adalah pemilihan judul yang cenderung provokatif dan tidak menggambarkan isi berita. Sudah dijelaskan di dalam badan berita bahwa jumlah siswa yang menoleransi perbedaan agama, baik berupa ucapan selamat hari raya hingga pemilihan ketua OSIS mayoritas memilih untuk bersikap toleransi. Namun si penulis berita justru menitik beratkan pada sejumlah kecil siswa yang merasa tidak nyaman dipimpin oleh sosok yang tidak satu keyakinan. Apakah ini berarti bahwa sebagian kecil tersebut akan mempengaruhi mayoritas yang sudah menganut nilai-nilai kebhinekaan?

Dan dengan mudahnya portal berita ini menjustifikasi bahwa sebagian anak tidak toleran karena menolak ketua OSIS dari keyakinan yang berseberangan? Bukankah itu sama dengan menyiram minyak ke dalam api? 

Yang memperparah keadaan ini adalah kesadaran membaca yang minim orang Indonesia. Sebelum membaca artikel tersebut, audiens pasti sudah dibentuk untuk menjustifikasi sebagian kecil menjadi sejumlah besar. Atau yang paling buruk, mereka justru mengabaikan isi artikel dan juga hasil nyata penelitian yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih toleransi. Jauh lebih buruk, orang-orang yang dihormati oleh netizen seperti selebtwit, sutradara terkenal, dan artis juga tak membaca isi berita ini. Hasilnya? Semua orang menuding bahwa tak ada lagi sisa toleransi di negeri ini. Sedih bukan?

Bagaimana bisa aku tidak terpicu untuk mengutarakan opini dan mengkritisi hal-hal yang semakin hari semakin menyedihkan ini? Bagaimana bisa Indonesia kembali damai, gemah ripah loh jinawi bila media senantiasa membuat judul provokatif yang disebarluaskan seperti ini? Bagaimana bisa isu intoleransi ini selesai bila warga netizen terus menerus dijejali justifikasi berat sebelah semacam ini?

I don't want to say that I'm not grateful being the dominant one but we're all wrong in this case. And it is being worse by the misleading title and opinion from respectable people on internet. If only we're just live on real world, such discrimination is still could be well-handled.
Sorry to say, dengan headline berita semacam ini seolah ada pihak yang merasa dijadikan korban. Padahal faktanya, di dunia nyata, tak semua orang berlaku diskriminatif. Memang ada tapi lebih banyak orang yang bersikap toleran. Mungkin aku yang berpikiran sempit atau mungkin lingkungan pergaulanku saja yang sempit. Tapi di tempat kerja, pertemananan, kuliah, dan lingkaran sosialku, aku tak menemukan adanya tindak diskriminatif bagi mereka yang beragama lain. Kami bisa menerima mereka dengan baik. Apakah di lingkunganmu tidak begitu? Tolong tunjukkan seberapa banyak diskiriminasi yang terjadi di tempatmu pada pemeluk agama lain agar mataku terbuka. Agar tak hanya aku yang berpikir bahwa masyarakat Indonesia ini masih toleran.

Sebetulnya poin yang ingin aku sampaikan dalam postingan ini adalah betapa berbahaya-nya pemilihan judul yang tidak tepat untuk sebuah berita. Karena judul adalah poin yang dilirik pertama oleh pembaca, salah buat judul maka berita akan misleading. Sudah banyak contoh kasus yang terjadi, seperti berita ini yang salah menempatkan judul dengan menggunakan diksi negatif.

Atau berita yang diprotes oleh sebagian netizen karena pemilihan judul yang berlebihan dan tidak sesuai dengan tulisan di berita aslinya seperti ini. Berita asli di sini. Di dalam berita tersebut tidak disebutkan sama sekali bahwa Presiden Jokowi adalah pemimpin terbaik, rasanya agak berlebihan bila menyebut Presiden Jokowi memiliki performa terbaik hanya berbekal tiga indikator positif. Padahal pencapaian pertumbuhan ekonomi dan valuta asing masih lebih baik Duterte.


Judul seperti yang terdapat di berita ini lebih tepat dan tidak misleading. Bukan, aku tidak bermaksud mengejek atau nyinyir pada media lain atau memasarkan beritaku saja. Tapi sungguh, sebagai seorang jurnalis aku merasa miris melihat pemilihan judul berita yang tidak sesuai dengan kenyataan dan cenderung melebih-lebihkan. Apalagi kondisi masyarakat Indonesia yang kesadaran membacanya sangat rendah.

Jadi, ayo teman-teman jurnalis jangan gunakan cara kotor untuk mendapatkan page view tinggi. Sebagai seseorang yang menyampaikan informasi di media ternama dan reputable, sudah seharusnya nilai-nilai netralitas digunakan bukan? Kecuali kalian mau mengkritik netizen atau pemerintah via blog pribadi seperti ini. Kasusnya sedikit banyak sama dengan Ardian Syaf, jangan sampai bertindak kurang profesional karena menebeng nama besar media. Alangkah lebih baik kita sampaikan berita yang tidak berat sebelah apalagi menggunakan judul provokatif.

Dan untuk para warganet, usahakan untuk selalu memilah berita tanpa hanya membaca judulnya saja atau terpengaruh pemilihan judul. Menyedihkan, sungguh.

Comments