To Live Without Expectation: Birmingham


Sebagai seorang yang visioner dan ambisius, aku lebih sering memasang ekspektasi tertentu sebelum melakukan sesuatu. Rasanya selalu memasang standar tertentu sebagai parameter kebahagiaan dan kepuasan hati gitu. Tapi memang yang namanya harapan itu tidak boleh tinggi-tinggi dan berharap itu sejatinya tidak boleh dilakukan selain pada Sang Pencipta. Lambat laun aku mulai belajar untuk tidak lagi memasang ekspektasi, lama-lama aku belajar untuk live my life with the flow. Yang ada jalani saja, jangan pasang ekspektasi ketinggian.

Resolusiku memang untuk berubah jadi manusia yang agak lebih selow dan santai. Bertahun-tahun hidup ambisius rupanya capek juga. Target tetap punya sih tapi kali ini aku ingin belajar untuk lebih ikhlas dan rela soal apapun hasil akhirnya nanti.

Nah, perjalanan ke Birmingham yang kulakukan pada tanggal 11 April kemarin pun punya esensi yang sama. Hidup tanpa ekspektasi judulnya.

Well sejak awal memang aku tidak menaruh ekspektasi apa-apa saat membeli tiket kereta ke Birmingham. Itu pun aku beli karena mendapatkan e-mail diskon tiket kereta. Yang semula harga tiketnya 10 GBP didiskon jadi 3 GBP saja. Memanfaatkan kesempatan diskon ini, dengan impulsif aku membeli tiket kereta London-Birmingham PP seharga 7 GBP saja. Aku juga sekalian membeli tiket kereta London-Liverpool PP seharga 11 GBP/each. Yang paling menguntungkan adalah aku mendapatkan cashback sebesar 16,8 GBP untuk pembelian tiket sebesar 28 GBP ke dua kota tersebut.

Dasar mental gratisan memang.

Awalnya aku berniat untuk pergi sendirian karena teman jalanku (yang juga menemaniku pergi ke Oxford) bilang bahwa dirinya akan serius belajar di bulan April ini, bukan jalan-jalan. Namun aku justru beruntung karena aku punya teman satu PK LPDP yang sedang menganggur dan mau-mau saja kuajak pergi ke Birmingham. Saat aku memberitahunya soal harga tiket tersebut, dia langsung mengiyakan. Cuss lah kami ke Birmingham.


Birmingham sendiri merupakan kota terbesar kedua di UK setelah London, fakta ini pun baru kuketahui setelah bertukar pendapat dengan sejumlah teman. Lagi-lagi aku tidak tahu apa-apa dan tidak mengharapkan apapun karena impulsif beli tiket kereta. Ketika tahu bahwa Birmingham merupakan kota yang cukup besar aku cukup panik karena tidak punya tujuan pasti. Tapi toh pada akhirnya aku pergi ke sana tanpa punya itinerary khusus juga. Seperti yang kubilang pada tulisan Cambridgeshire, The Best Plan is No Plan!

Kami berangkat dari Stasiun London Marylebone pada pukul 9 pagi, awalnya temanku sempat bertanya mengapa aku membeli tiket pulang pergi yang jaraknya singkat sekali? Tapi seperti yang kubilang di awal tulisan ini, aku tidak punya ekspektasi apa-apa. Aku pun sudah memberitahunya bahwa aku benar-benar clueless soal tempat apa yang bakal dikunjungi di Birmingham nanti. Yang penting jalan, masalah kemana itu dipikirkan nanti, biarkan kaki melangkah kemanapun arahnya.

Kami sampai di stasiun Birmingham Moor Street pukul 11 siang. Rupanya stasiun ini sangat dekat dengan city center alias Grand Central dan Bull Ring. Grand Central sendiri rupanya merupakan mal terbesar di Birmingham. Kami memutuskan untuk mengunjungi mal ini terakhir saja karena lokasinya yang dekat sekali dengan stasiun. Begitu sampai, kami berdua saling bertanya-tanya enaknya ke mana.


Tapi berhubung aku pernah apply ke University of Birmingham, aku jadi penasaran juga dong bagaimana penampakan mantan calon Universitasku tersebut. Oleh sebab itu aku menyarankan untuk pergi ke University of Birmingham. Sayangnya perjalanan kami sempat terkendala karena kami sama-sama tidak tahu sistem pembayaran transportasi di Birmingham.

Sebenarnya antar satu kota di Inggris Raya, sistem transportasinya mirip. Hanya saja kebijakan masing-masing daerah berbeda. Seperti London yang dikelola oleh TfL (Transport for London), di London semua transportasi cukup menggunakan debit contactless atau kartu Oyster. Sementara di luar London sudah berbeda. Seperti yang kuceritakan saat pergi ke Manchester, pengelola transportasi di sana namanya TfGM (Transport for Greater Manchester). Di Manchester, aku bisa naik bus tanpa perlu bayar cash ke driver bus dan hanya perlu menyebutkan tujuan saja, hal serupa berlaku di Oxford. Sementara di Birmingham yang masuk kawasan TfWM (Transport for West Midlands) agak susah bila tak membawa uang cash yang pas. Buktinya aku dan temanku harus membeli sesuatu dulu agar bisa beli bus travel pass seharga 4 GBP (each) untuk satu hari. Harganya cukup murah sih tapi susahnya tidak bisa membayar menggunakan contactless. 

Sementara itu, Agista adalah warga cashless society yang jarang sekali bawa-bawa uang cash kemanapun dirinya pergi.

Sebelum ke University of Birmingham, aku dan temanku memutuskan untuk mencari makan di kawasan High Street Birmingham. Sebenarnya aku merasa agak janggal karena harusnya di dekat Moor Street tadilah High Streetnya tapi kami malah pergi ke literally High Street dan rupanya High Street tersebut adalah versi tua. Kami memutuskan untuk makan di southern fried chicken ala-ala. It's not good but it's enough to fill my stomach.

Setelah makan siang, kami langsung menuju destinasi berikutnya yakni University of Birmingham. Rupanya University of Birmingham ini mirip dengan konsep UCL yakni colleges. Universitas tidak hanya terdiri dari satu gedung tapi beberapa kompleks perumahan. Masing-masing kompleks merupakan gedung fakultas tertentu. Jadi kalau kalian membayangkan bahwa Universitas di luar negeri itu mirip dengan di Indonesia, bisa jadi anggapan tersebut tidak benar. Karena pada faktanya, kampus-kampus di Inggris tidak saklek berada di satu lahan besar saja melainkan tersebar dan tidak ada plakat besar yang menunjukkan secara gamblang, "Ini Kampus A". Seperti itu.

Setelah puas mengunjungi mantan calon kampus dan melewati jalanan Birmingham yang dipenuhi rumah-rumah residensial yang bentuknya lucu dan instagrammable, kami berniat menuju Winterbourne garden. Pasalnya hari itu termasuk musim semi dan tentu saja bunga yang bermekaran bakal jadi background yang sangat instagrammable. Sayangnya setelah kami berjalan dari University of Birmingham menuju Winterbourne, ada biaya masuk sebesar 6 GBP. Berhubung kami berdua sama-sama anak beasiswa bermental gratisan, kami membatalkan niat untuk masuk ke Winterbourne garden. Berfoto dengan pohon sakura di dekat parkiran Winterbourne garden saja cukup bagi kami.


Barulah setelah itu kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali ke tengah kota yakni Brindleyplace. Itu pun karena aku memutuskan untuk menengok Trip Advisor. Ada benarnya lho menggunakan apps semacam Trip Advisor ini, kalau lagi stuck dan benar-benar tidak punya ide tinggal ngecek di Trip Advisor lalu tinggal mengunjungi recommended place yang dimaksud.

Brindleyplace sendiri nampak seperti kompleks perkantoran yang sering kutemui di London. Yang membuatnya berbeda adalah Brindleyplace punya kanal yang cukup panjang. Kanal ini diisi juga dengan kapal-kapal kecil seperti di Little Venice atau Amsterdam gitu. Lagi-lagi aku tidak expect apapun tapi malah 'tersesat' di Brindleyplace yang cantik ini. Sebelumnya aku benar-benar tidak tahu kalau Birmingham itu punya kanal yang dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga jadi obyek foto yang bagus untuk Instagram dan footage indah buat vlog.

Itulah pentingnya hidup tanpa ekspektasi teman-teman.

Ada suatu niat terbersit dalam pikiranku saat aku dan temanku melintasi kanal ini yakni mewawancara langsung pemilik kapal yang kebetulan juga tidur di dalam kapal tersebut. Sayangnya aku tidak punya cukup banyak keberanian untuk bertanya pada narasumber yakni si pemilik kapal.




Dari Brindleyplace lagi-lagi kami menemukan hal unexpected lagi yakni Birmingham Convention Center yang interiornya bikin kami takjub. Apalagi temanku ini dulunya adalah mahasiswa arsitektur, tentu saja desain interior yang menarik membuatnya sangat terpesona.

Usai jalan-jalan di dalam Birmingham Convention Center dan menyusuri kanal, ujung-ujungnya kami mencari tahu stadion klub sepak bola yang kebetulan ada di Birmingham yakni Aston Villa. Aku pun baru tahu kalau ternyata Aston Villa itu klub asal Birmingham. Dulunya Aston Villa ini berlaga di pentas liga bergengsi Inggris, Premiere League tapi sekarang tak lagi. Dan lucunya warna Aston Villa ini mirip dengan warna West Ham United, biru muda dan ungu.

Usai dari stadion Aston Villa, akhirnya kami memutuskan untuk kembali lagi ke tengah kota yakni City Center. Tujuan utamanya adalah The Eye of Agamoto Birmingham yakni Bull Ring. Menurut Wikipedia sih Bull Ring merupakan the biggest department store in Birmingham, di dalamnya ada sejumlah merk kenamaan macam John Lewis dan Selfridges (yang jelas merk-merk ini sangat familiar bagi mereka yang tinggal di UK). Temanku sempat penasaran banget dengan yang namanya Bull Ring ini, karena ada satu menara tinggi dengan tulisan Bull Ring di bagian puncaknya. Padahal yang dimaksud Bull Ring itu ya Mal yang terdapat di dekat stasiun (yang sudah kuceritakan di awal tulisan ini tadi).

Dan rupanya Bull Ring ini sudah ada sejak Middle Ages dan menjadi market utama yang terus dipertahankan sejak saat itu.




Lagi-lagi tanpa ekspektasi apapun, kami menemukan sesuatu yang mengejutkan yakni keberadaan tram! Aku memang belum sempat mencari tahu soal TfWM Birmingham tapi mendapati tram di tengah kota banget itu sesuatu yang cukup mengejutkan. Ditambah lagi tram Birmingham lebih panjang dari Tram Wimbledon atau Manchester. Dan bentuknya lebih smooth seperti kereta peluru, warnanya juga pink cantik gitu. Kami sempat kepikiran untuk naik tram ke Wolverhampton, lagi-lagi mengunjungi stadion klub sepak bola. Sayangnya waktu kami sudah tidak banyak sehingga niat tersebut dibatalkan.

Perjalanan hari itu memang terbilang singkat, hanya 8 jam tapi kami mengunjungi cukup banyak tempat dan menemukan hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Temanku kerap kali berkata, "Kata siapa nggak ada apa-apa di Birmingham, buktinya ada apa-apa gini." Dan aku mengamininya. Mungkin lain kali, ketika aku mengunjungi suatu kota lebih baik aku tidak menaruh harapan apapun. Karena bagaimanapun setiap kota itu unik dan punya suatu tempat yang bakal membuatmu terkesima. Percaya deh!


Comments