Once in 24 Years, Puasa Pertama di Negeri Orang
Hingga saat ini sebenarnya aku masih tidak percaya kalau aku tidak lagi di Indonesia melainkan di Inggris. Di sini waktu berjalan begitu cepat sehingga rasanya aku cuma mimpi, hal-hal yang sudah kulewati selama 7 bulan belakangan ini terasa surreal. Dan dalam hitungan bulan, aku pun harus segera kembali menghadapi kenyataan dengan kembali ke Indonesia. Mengabdi pada bangsa, memenuhi janji pada LPDP untuk berkontribusi bagi negara, kembali pada kenyataan bahwa masa depanku masih belum jelas-jelas amat. Apakah aku ingin melanjutkan sekolah lagi, jadi jurnalis, jadi akademisi, atau jadi pegawai BUMN? Who knows? Only God knows.
Sebelumnya, tidak pernah sekalipun aku kepikiran untuk menjalankan ibadah puasa di negeri orang. Bagaimana tidak? Orang aku hidup selama 23 tahun ya di Malang saja. Pernah suatu kali aku melewatkan bulan Ramadan di luar Malang, tepatnya saat magang di OJK tahun 2015 lalu. Aku merantau ke kota sebelah, Surabaya. Bagi sejumlah temanku yang sudah merantau jauh, pengalaman melewatkan Ramadan seperti itu mungkin tidak dihitung. Namun bagiku, anak yang selalu berada di Malang, berpuasa di Surabaya apalagi ketika tinggal bersama dua sahabatku yakni Bagus dan Tryas merupakan hal yang tidak mudah untuk dilupakan. Nah kali ini ceritanya berbeda. Tiga tahun berikutnya, aku sudah menjalankan puasa Ramadan di negeri Ratu Elizabeth yang cucunya menikah hari ini.
I thought it is going to be hard, fasting in Europe. Tahun lalu, aku melewatkan puasa Ramadan sebagai jurnalis salah satu media entertainment. Aku ingat sekali aku pernah membahas soal perbedaan waktu puasa di berbagai belahan dunia dalam portal berita tempatku bekerja. Saat itu aku paham bahwa rata-rata waktu puasa di Eropa jatuh lebih lama daripada waktu puasa di Indonesia. Paling sedikit 18 jam dan paling lama 22 jam. Saat itu aku berpikir, "Kalau misal aku jadi kuliah di sana kira-kira aku kuat tidak ya puasa penuh?" Sebagai langkah antisipasi pun aku sempat melakukan riset dengan cara nonton video atau membaca blog soal pengalaman puasa mahasiswa rantau di Eropa. Dan aku ingat sekali, saat itu aku menonton video Gita Savitri tentang tips puasa di Jerman. Dalam videonya Gita membahas soal makanan apa saja yang sebaiknya dikonsumsi saat berbuka dan sahur agar kuat puasa.
Faktanya kini aku menjalani ibadah itu sendiri dan aku harus bilang bahwa berpuasa 19 jam ternyata tidak seberat itu. Yang makin membuat bulan Ramadan ini menarik adalah perbedaan waktu dengan Indonesia. Ketika teman-temanku sahur, aku baru melaksanakan buka puasa. Sementara ketika teman-temanku berbuka, London masih tengah hari. Ditambah lagi bulan Ramadan kali ini aku harus melewati sejumlah final exam. Kedengarannya berat banget padahal ya tidak juga.
Sebelum Ramadan menjelang sempat terjadi kegalauan, pasalnya belum ada keputusan pasti kapan puasa akan dimulai. Ada yang berkata bahwa puasa dimulai sejak tanggal 16 Mei ada juga yang bilang kalau 17 Mei. Di Indonesia masalah ini sudah fix, puasa hari pertama jatuh pada tanggal 17 Mei. Tapi kabar hari pertama puasa baru bisa diputuskan pada tanggal 15 Mei malam di Inggris. Meski buatku tidak berpengaruh apa-apa, hal ini mempengaruhi tamu yang kebetulan datang dari Indonesia yakni Ron, ya si blogger K-Pop yang namanya sering kusebut dalam blogku ini.
Saat itu pun aku sempat khawatir akan melewatkan hari pertama puasa karena aku baru selesai menstruasi satu hari tepat sebelum Ramadan, yakni tanggal 16. Kalau misalnya puasa hari pertama jatuh pada tanggal 16, ya aku tidak bisa memulai puasa hari pertama dong. Rasanya tidak afdol saja berpuasa di bulan Ramadan kalau melewatkan hari pertama puasa, aneh. Aku pun bersyukur ketika diputuskan hari pertama puasa jatuh pada hari Kamis, itu artinya aku juga punya cukup waktu untuk menyiapkan stok sahur dan buka puasa, lagi-lagi ditambah adanya tamu yang kebetulan menginap di tempatku jadi harus well-prepared.
Hari pertama puasa sejujurnya cukup berat buatku, bukan karena aku tidak kuat menahan lapar tapi karena aku kurang tidur. Satu hari sebelumnya, aku sempat mengantar Ron jalan-jalan London di malam hari dan kami baru balik ke flatku pada pukul 10 malam. Saat itu Ron pun sudah lelah banget sehingga aku persilakan dia tidur di kamar. Sementara aku harus masak untuk sahur buat kami berdua. Usai memasak, aku pun tidak langsung tidur tapi melanjutkan belajar. Karena pulangnya sudah kepalang malam, aku memutuskan untuk tidak tidur sekalian. Toh sahur dimulai pukul 2 malam. Daripada tidur dan kebablasan, lebih aku begadang sekalian kan? Selain belajar, aku juga sempat menonton drama Pretty Noona Who Buys Me Food agar aku tetap terjaga.
Usai sahur, aku tidak tidur juga. Aku melanjutkan belajar meski sebenarnya tubuhku sudah lelah banget, mata sudah sepet, dan materi pelajaran tidak bisa masuk. Akhirnya aku menyerah setelah belajar kurang lebih dua jam, aku ketiduran selama dua jam. Pukul 6 pagi aku bangun lagi, beres-beres, naik turun dari kamar-dapur-kamar mandi. Sempat tidur dengan duduk di depan laptop selama satu atau dua jam. Intinya saat itu aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sementara Ron tidur lagi dan baru bangun sekitar pukul 10-11 siang. Barulah setelah Ron bangun dan bersiap-siap, aku menjaga agar mataku terjaga penuh. Padahal sebenarnya kepala udah pusing banget.
Hari Kamis itu aku masih harus menemani Ron belanja oleh-oleh dan mengantarkannya ke Heathrow. Barulah sepulang dari Heathrow aku mencukupkan tidur di tube. Beruntung perjalanan dengan tube cukup jauh hingga aku bisa tidur cukup nyenyak sepanjang perjalanan. Sebetulnya aku sempat khawatir karena di Hari Jumat aku ada exam. Aku takut bila nanti waktu exam materi yang telah kupelajari buyar semua karena menemani Ron jalan-jalan atau aku jadi ngantuk saat mengerjakan exam tersebut. Syukurlah, hari kedua puasa yang bertepatan dengan exam Econometrics berjalan lancar sekali lagi.
Selama tiga hari puasa Ramadan di London, kurasa tantangan paling berat adalah menahan kantuk di hari pertama itu. Selebihnya alhamdulillah lancar. Ternyata puasa di sini menyenangkan juga, menahan haus, lapar, serta amarah selama 19 jam juga tidak seberat itu. Ya gimana mau berat? Orang aku lebih sering berada di kamar sendirian daripada bertemu orang lain. Untungnya juga meski lapar dan haus tidak membuatku kekurangan fokus saat mengerjakan exam.
Cerita menarik lain saat berpuasa di London adalah sebelum melaksanakan exam Econometrics kemarin (18/05). Berhubung venue exam tidak berada di kampus tapi di sebuah Sport Center di daerah Wapping, aku tidak pergi dengan naik bus melainkan tube dan overground. Aku sudah pernah ke Sport Center tersebut dan hapal jalannya, sayangnya kemarin nampaknya aku salah memperkirakan waktu keberangkatan. Aku baru berangkat dari rumah jam setengah dua padahal exam dimulai pukul 14.30. Awalnya aku santai saja karena biasanya memang aku berangkat satu jam sebelumnya. Ternyata, bus 86 jurusan Stratford baru datang 6 menit begitu aku sampai di halte bus. Lalu kereta Jubilee line yang aku tumpangi baru berangkat 2 menit setelah aku naik. Ditambah lagi saat naik overground, aku telat turun di Wapping. Perkaranya bukan karena aku lupa turun melainkan lupa kalau pintu kereta hanya terbuka di gerbong depan sementara aku berada di gerbong belakang. Walhasil aku harus putar balik dari Shadwell ke Wapping. Berangkat jam setengah 2, aku sampai di stasiun overground Wapping jam 14.20. SEPULUH MENIT SEBELUM EXAM DIMULAI! Gila banget kan?
Meski jarak dari stasiun ke venue kurang dari sepuluh menit, hal itu cukup mengacaukan suasana hati sih. Sudah cuaca terik, aku harus lari dan jalan cepat ke venue. Beruntung aku ini tipe orang yang santai dan tenang, jadi meski aku baru sampai 14.28 di venue aku dengan tenang mencari tempat duduk yang harusnya kutempati. Finally, aku berhasil menjalankan exam dengan lancar sebelum exam dimulai. This my friend, how I live my life dangerously.
Tantangan selanjutnya selama berpuasa 19 jam di London adalah haus. Udara London cukup kering, apalagi saat ini sedang musim semi. Itu artinya serbuk bunga bertebaran dimana-mana, kalau tidak menggunakan masker tenggorokan rasanya sangat kering dan gatal. Inilah cobaan utama saat berpuasa di London tapi memutuskan jalan-jalan di luar tanpa langsung pulang. Karena aku sempat capek dan stress, aku ingin menghabiskan waktuku sendirian dengan pergi ke taman. Dibandingkan waktu di taman, waktuku lebih banyak habis di jalan. Niat hati sih tiduran di taman, aku malah ketiduran di sepanjang perjalanan naik bus menuju ke taman tersebut. Begitu sampai di taman aku hanya berbaring dan melihat orang-orang menikmati sore hari yang cerah dengan main frisbee.
Overall puasa di London cukup menyenangkan kok. Bedanya hanya kita harus mau mendisiplinkan diri sendiri untuk bangun tepat waktu saat sahur dan harus bersabar menunggu notifikasi waktu Maghrib dari aplikasi Muslim Pro. Kalau di Indonesia, aku mendapatkan begitu banyak privilege seperti tidak perlu khawatir bangun telat karena Ibu pasti akan membangunkanku sahur, makanan untuk buka dan sahur pun sudah disiapkan oleh beliau. Sementara di sini aku harus sensitif pada bunyi weker, harus mau repot-repot memasak hidangan untuk sahur dan berbuka sendiri. Ya karena kepada siapa aku bisa bergantung kalau tidak pada diriku sendiri kan? Maka dari itu, bila beberapa bulan terakhir aku malas memasak, aku memaksa diri untuk memasak lagi selama bulan Ramadan ini.
Sajian berbuka di hari kedua, Patty with creamy potato mashed. Tampilannya nggak menjanjikan tapi rasanya oke punya. |
Aku juga memaksa diri untuk mencukupkan gizi saat sahur dan buka agar kuat menjalankan ibadah puasa yang waktunya cukup panjang ini. Padahal sebelumnya aku tidak pernah suka makan atau memasak sayur, kali ini aku memutar otak agar lebih kreatif mengolah sayur dan memakannya. Hal yang sebelumnya tidak pernah kulakukan di Indonesia. Saat berada di rumah, aku terbilang cukup reckless. Sahur bisa cuma nasi dan lauk saja tanpa sayur, bahkan aku bisa lho sahur hanya dengan tempe dan sambal. Di sini aku memaksa diri untuk mengkonsumsi sayur dan buah dengan seimbang agar tidak mudah dehidrasi.
Nah jadi begitulah teman-teman kisah puasa pertama di luar negeriku. Mungkin ini belum seberapa karena aku baru puasa tiga hari saja. Nanti aku akan membagikan kisah-kisah yang lain selama Ramadan (kalau aku ingat dan sempat) pada kalian. Jadi, kalian bisa memiliki gambaran apa saja tantangan berpuasa di negara minoritas Muslim.
Buatku pribadi sih tidak ada hal yang perlu dipermasalahkan selama kita bisa menjaga diri dan disiplin. Banyak restoran yang buka di Inggris, mengeluarkan aroma-aroma makanan yang menggugah selera, banyak bule yang berlalu lalang makan sandwich, banyak juga orang yang menenggak segarnya air putih tapi hal tersebut tidak melemahkan iman untuk menjalankan ibadah. Jadi mengapa kita harus marah kalau ada warung yang buka selama Ramadan kan?
Banyak juga bule-bule yang mengenakan baju terbuka atau tak sungkan PDA tapi apakah kita punya hak untuk mengingatkan mereka atau marah pada mereka agar menghormati kondisi kita yang sedang berpuasa? Tidak kan? Nah itu artinya dalam menjalankan ibadah, kembali pada diri sendiri. Kembali pada kita yang bisa menundukkan pandangan atau tidak. Ibadah itu dibuat simpel aja jangan dibuat rumit 😘
Malam Ramadan di Carnaby |
Comments
Post a Comment
Thank you for visiting my blog, kindly leave your comment below :)
In a moment, I can't reply your comments due to error in my account when replying. But I make sure that I read every single comment you leave here :)