Europe Trip Part 5: The Ups and Downs of Having a Solo Trip
Zero KM, Madrid, Puerta del Sol |
Hari ini ku bertemu dengan salah seorang teman dan seperti biasa selalu ada perbincangan menarik yang muncul lalu membuatku terpicu untuk menuliskannya di blog. Seperti yang seringkali kubilang, selalu ada hal-hal atau percakapan menarik yang membuatku akhirnya gatal berkomentar dalam bentuk tulisan seperti ini. Nah, perbincangan sore yang dingin di London yang diguyur hujan tadi sedikit banyak bersinggungan dengan perjalanan yang kulakukan kemarin, yakni Solo Trip ke Eropa. Pertanyaannya sederhana, "Apakah jalan-jalan sendiri bagi wanita itu 'aman'?" "Apakah wanita akan bebas dari ancaman pelecehan seksual?"
Jawabannya adalah: "Semua tergantung pada individu masing-masing."
Tidak hanya wanita yang melontarkan pertanyaan tersebut, sesungguhnya aku pun khawatir. Sudah khawatir soal visa yang bisa jadi gagal approved (Part 1), atau bisa jadi tersesat dan ketinggalan bus (Part 3), gagal nonton konser (Part 2), atau bahkan nggak bisa makan (Part 4), aku juga khawatir kalau-kalau aku dicopet atau paling buruk diperkosa lalu jadi korban human trafficking. Amit-amit jabang bayi lanang wedok. Mengapa aku khawatir? Karena aku tahu sesungguhnya aku ini hidup terlalu reckless sampai pada point yang aku sendiri tidak paham kok bisa-bisanya aku melakukan kekacauan itu. The point is we are all the same, we have similar worries.
Fortunately I am lucky despite I live my life on the edge. I experienced no harm during my Europe Solo Trip last month.
Tapi bukan berarti Solo Trip isinya hepi terus. Ada masa-masa dimana ternyata Solo Trip bisa jadi sangat garing atau bahkan membuatku sadar bahwa sendirian itu nggak melulu positif. Yah memang semua hal yang ada di muka bumi begitu kan, ada positif dan negatifnya. Meski kelihatannya memang Solo Trip itu lebih mudah dan bebas, kadang aku merasa bahwa ternyata aku masih membutuhkan teman atau orang lain. Setidaknya teman untuk mengambil foto lah hahaha. Jadi apa saja yang menjadi sisi positif dan sisi negatif Solo Trip? Akan kubahas dalam postingan kali ini.
Yang pertama, Solo Trip itu bebas. Bebas hambatan dan gangguan. Apalagi untuk seorang introvert yang cenderung tidak suka repot, Solo Trip itu membebaskanmu untuk menentukan tujuan mana saja yang akan dikunjungi tanpa perlu khawatir apakah teman akan keberatan atau tidak. Tidak perlu merasa sungkan atau menahan diri juga kalau misal bangun kesiangan, lagi malas jalan, dan lain sebagainya. Coba deh kalian bayangkan, kalau pergi dengan teman kalian harus rembugan dulu mau ke mana lalu makan apa lalu pukul berapa harus siap. Kalau jalan sendiri, semua itinerary dan rundown acara ya kamu yang menentukan.
Sayangnya kebebasan tersebut punya harga yang harus dibayar, untuk aku contohnya, karena aku anaknya cenderung mudah tersesat jadi aku harus mengalami delay ke beberapa tujuan karena jalan sendirian.
Saat berada di Paris contohnya, niat hati ke Arc de Triomphe tapi malah kesasar ke jalan lain yang nggak tahu itu apa. Dilanjutkan dengan tersesat akibat nggak paham-paham sama jalur Tram di Antwerp. Beruntung di Madrid dan Barcelona nggak separah itu.
Sesungguhnya begitu tiba di Madrid, aku sama sekali nggak punya ide mau ke mana. Begitu mendarat di bandara Madrid dan tidak melewati border check, aku bingung mau menuju ke mana. Ke Santiago Bernabeu? Makan? Meletakkan loker? Semua tujuan itu berkecamuk jadi satu di pikiranku. Apalagi saat aku masih terkejut karena masuk ke Spanyol tanpa melewati border. Sungguh, sejak pasporku dicek di Port of Dover, selama jalan-jalan di Eropa aku tak pernah melewati border pass lagi. Aku sempat mengira bahwa di bandara Madrid nanti aku akan mendapatkan stempel lagi karena asumsi sudah pasti lewat border check kan, ternyata engga dong. Aku sampai bertanya-tanya dalam hati, "Bagaimana bisa terbang ke Spanyol bagaikan terbang domestik di Indonesia? Nggak pakai passport control atau apa? Kalau ada penjahat masuk seenaknya kayak aku gimana?"
Karena kebingungan itu lah aku jadi stay agak lama di Bandara sekaligus mengecek kira-kira kemana aku harus pergi di antara tiga prioritas: meletakkan koper, ke city center, atau langsung ke Bernabeu. Ada beberapa hal esensial yang harus dilakukan bagi traveller: 1) riset soal transportasi; 2) riset soal destinasi. Dan yang pertama kulakukan adalah riset soal transportasi, begitu tahu bahwa transportasi Madrid sebelas dua belas dengan kota-kota besar Eropa lainnya, maka aku langsung menentukan tujuan selanjutnya yakni memesan loker untuk meletakkan tas. Barulah setelah itu aku memutuskan untuk jalan-jalan.
Begitu selesai meletakkan loker, rasanya aku sudah sangat lelah. Lelah karena sudah tidak ingin jalan-jalan sendirian lagi. Inilah sisi negatif jalan sendirian berikutnya: ketika kamu sudah tidak punya tujuan, nggak ada yang bisa diajak ngobrol atau sharing. Ketika kamu sedang penat baik mental atau fisik pun, nggak ada yang bisa diajak berbagi rasa penat itu. Dan aku baru menyadari kalau teman jalan itu esensial juga. Yah walaupun nggak berlaku di keseluruhan trip-ku sih. Jujur setelah dari Berlin, aku ingin segera pulang ke London karena aku sudah lelah fisik dan mental. Mengingat perjalananku masih kurang empat hari lagi justru membuatku makin sedih.
Itulah yang menyebabkan aku memperlambat cara berpikirku ketika sampai di bandara Madrid. Malah aku berniat hanya duduk di sebuah coffee shop lalu menulis blog. Tapi setelah beberapa chat dengan Mbak Ayodd dan juga mengingat lagi urusan visa yang menggelikan itu, aku jadi bersemangat lagi. Usai meletakkan tas di penitipan barang, aku memutuskan untuk city tour di area Madrid.
Perjalanan pertama dimulai dari Plaza Mayor, kebetulan tempat yang didominasi oleh bangunan berwarna merah ini punya banyak tempat makan dan toko yang menjual suvenir. Jadi sudah pasti kalau tempat tersebut merupakan tourist attraction dong. Aku berpikir untuk tidak langsung ke Santiago Bernabeu tapi menyimpannya sebagai tujuan akhir. Dan karena memang konsep Europe Tripku kemarin adalah city tour, maka aku sengaja memperbanyak jalan dan keliling-keliling saja. Beruntung, landmark di sekitaran Madrid tidak jauh satu sama lain. Dari Plaza Mayor, tinggal jalan sedikit saja sudah sampai di Royal Palace of Madrid atau Puerta del Sol. Hal ini sudah kupelajari sejak berada di London dan kota-kota sebelumnya, landmark pasti tidak jauh satu sama lain.
Lepas keliling daerah pusat kota Madrid, puas jalan-jalan dan ambil foto ke sana ke mari, aku pun memutuskan untuk pergi ke tujuan terakhir yakni Santiago Bernabeu. Dari city center aku hanya perlu naik satu kali metro dengan beberapa stop lalu sampai di stadion yang sudah sejak lama ingin kukunjungi. Ternyata begitu sampai di sana stadionnya agak mengecewakan, tidak seperti yang ada dalam bayanganku. Sempat kepikiran untuk stadium tour karena aku mempunyai banyak waktu di Madrid kan, tapi saat aku cek tiket di websitenya sudah terjual habis. Walhasil aku hanya bisa memandangi stadion dari luar saja. Dan inilah nggak enaknya jalan-jalan sendirian, nggak ada yang ngefotoin. Meski demikian kalau punya nyali dan nggak takut kamera dicuri sih bisa minta tolong ke orang lain untuk ngefotoin. Sisi negatif ini juga sekaligus jadi sisi positif, bisa melatih speaking serta bisa mencari kenalan baru.
Agar bisa nampang di Santiago Bernabeu, aku minta seorang Mbak-Mbak untuk memfotokan aku dengan kamera polaroidku. Dan rupanya saudara-saudara, perjalananku pas Europe Trip kemarin itu cukup dibilang beruntung. Mengapa demikian? Selain di Lille, semua kota yang kukunjungi cuacanya cerah, tidak mendung atau hujan sekalipun. Jadi aku dapat foto dengan latar belakang langit biru yang indah. Meskipun yah, Spanyol panasnya menggila sih. Pernah suatu kali setelah dari Santiago Bernabeu, aku melanjutkan perjalanan ke Segovia Bridge, Madrid dan suhunya mencapai 43 derajat celcius. Suhu tersebut ditunjukkan oleh LED lights yang berada di salah satu bus stop. Saat melihat counter tersebut, barulah aku sadar kalau Spanyol sepanas itu sampai aku dehidrasi parah padahal sudah bawa air putih se-tumblr.
Saking nggak tahannya dengan panas ketika jalan-jalan di Madrid, rasanya aku ingin segera bertemu dengan petang. Pasalnya panasnya menyengat banget dan bikin tenggorokan kering. Begitu matahari sudah agak turun, aku kembali lagi ke city center menuju ke titik nol yang terletak di Puerta del Sol. Dan tahu tidak, lagi-lagi aku melakukan kebodohan karena tersesat dalam mencari titik nol KM ini padahal titik nolnya keliatan banget di depan mata. Ini sih yang jadi sisi positif jalan sendirian, kalau misalnya buta arah dan nggak tahu jalan malunya dipendam sendiri.
Ceritanya begitu aku sampai di Puerta del Sol, maps menunjukkan bahwa titik nol itu berada di jangkauan beberapa langkah saja. Karena titik nol ini merupakan steps seperti yang ada pada foto di atas, dia nggak terlalu mencolok. Aku berputar-putar di sekitaran Puerta del Sol sampai melihat Patun Beruang berkali-kali tapi tak kunjung menemukan titik nol. Apalagi maps yang kugunakan adalah maps HP Android yang sudah makin lemot. Usut punya usut, titik nol ini berada di tengah-tengah tepatnya di depan sebuah gedung yang menghadap Puerta del Sol itu. Aku baru notice ketika melihat sejumlah turis memotret bagian bawah kaki mereka. Begitu aku cek, eh ternyata benar itu adalah titik Nol KM. Astagfirullah gitu amat ya hidup.
This is my friend, where I told you that my navigation skill is beyond imbecile.
Enaknya lagi nih kalau jalan-jalan sendirian kamu jadi nggak perlu khawatir soal jam makan atau mau makan di mana. Semua mengalir begitu saja sesuka kamu. Kebetulan aku baru berniat makan ketika sudah menjelang sore banget. Itu pun karena aku merasa sudah lelah banget jalan-jalan dari Opera ke Santiago Bernabeu ke Segovia ke Opera lagi ke Puerta del Sol lagi lalu hendak ke Gran Via. Sebelum menuju Gran Via, aku menemukan sebuah restoran Thailand kecil. Memang penampilannya nggak meyakinkan sih tapi karena aku sudah lelah banget dan ingin duduk, jadilah aku mampir. Padahal tadinya mau mampir di Starbucks aja sekalian update blog kan. Ya sudah karena Starbucks nggak ada, aku makan di resto Thailand tersebut.
Karena resto tersebut punya ruangan outdoor, aku memilih duduk di ruang outdoor saja. Tapi bung, masalahnya kalau makan di ruangan outdoor itu kamu harus waspada. Sebab kita nggak tahu kan kriminal datangnya kapan? Bisa jadi dia tiba-tiba ngejambret tas kamu? Salah satu sisi positif jalan sendirian juga ini, jadi lebih waspada sama barang-barang dan diri sendiri. Karena siapa lagi yang bisa mencegah kriminal itu terjadi kalau bukan diri sendiri? Atau siapa yang bisa nolong kamu kalau bukan diri sendiri dulu? Coba deh bayangin kalau jalan sama orang, memang benar mungkin bisa saling ngawasin tapi kalau sama-sama slebor dan ngobrol ke sana ke mari kan nggak sadar kalau dicopet atau dijambret. Begitu saudara-saudara. Oleh sebab itu argumen bahwa cewek pergi sendirian itu nggak aman merupakan argumen yang diragukan kevaliditasannya. Semua tergantung pada individu kok, kalau mau aware dan sensitif sama lingkungan sekitar kan bisa menjaga diri, implikasinya ya aman-aman saja.
Lalu sangat penting juga untuk well-behaved kemanapun kamu pergi, seperti yang sudah kusinggung di sini, menjunjung adat dan budaya setempat itu penting banget. Apalagi kalau jalan sendirian dan beneran mau aman lho. Kalau bisa jangan sampai memprovokasi pertikaian atau berbuat nggak sopan pada native people. Terus kalau bisa sih act like a local, wandering tapi nggak terlalu nuris. Apa maksudnya? Nggak dikit-dikit foto. Lalu kalau bisa menggunakan bahasa lokal ya silakan digunakan, kalau nggak bisa ya senyum aja. Kalau kalian ramah pada orang lain dan act like a local, insya Allah aman sih. Karena memang biasanya kriminal menargetkan pada turis. Satu lagi, act like a beggar maksudnya berpenampilan biasa aja, jangan terlihat terlalu mentereng kayak orang tajir melintir atau mengenakan aksesoris berlebihan.
Usai makan dan duduk-duduk sebentar memulihkan energi, aku lanjut jalan-jalan ke Gran Via sampai menjelang petang. Begitu menjelang petang, aku memutuskan untuk segera pergi ke stasiun. Meski jam keberangkatan busnya jam 12 malam tepat, aku memilih untuk cepat-cepat datang saja karena aku tahu bila telat maka habis sudah nasibku. Dan tentu saja karena aku tahu betapa reckless-nya diri ini, aku berusaha untuk meminimalisir kebodohan. Sekitar jam tujuh sore aku menyudahi tur di sekitaran Gran Via dan Opera, aku mengambil jalan yang sama yakni ke arah Royal Plaza untuk mengambil carrier yang kutitipkan. Berbeda dengan Inggris atau Jerman, Spanyol masih tetap hidup hingga malam menjelang. Buktinya jam tujuh lebih dan matahari mulai tenggelam ke peraduannya, masih banyak orang yang berlalu lalang di sekitaran Royal Plaza untuk menikmati tapas dan minum bir atau anggur. Bahkan Metro pun masih sama penuhnya dengan siang hari saat aku baru datang tadi.
And that's my friend how you define a travelling, to observe the people, the habit, the commuting pattern, the culture. That's the essence of city tour.
Dan memang benar lho. Tujuanku melakukan city tour ini adalah untuk menyerap kearifan lokal meski setengah-setengah. Karena kalau nggak city tour, mana bisa aku membedakan kebiasaan orang Jerman dengan orang Spanyol atau membedakan bagaimana commute di London dengan di tempat lain. Dan sebenarnya meski kelihatannya aku nggak kemana-mana atau ngapa-ngapain karena cuma jalan-jalan gratisan, aku memperhatikan kebiasaan-kebiasaan orang-orang yang bisa jadi sama dengan kebiasaan orang Indonesia atau yang berbeda. Siapa tahu kan kebiasaan bagusnya bisa diterapkan? Namun sejak aku terobsesi dengan sistem kereta bawah tanah, aku jadi lebih memperhatikan soal sistem transportasinya sih hehehe.
Itulah sisi positif jalan sendiri jadi bisa fokus dan lebih observant. Sisi negatifnya, lagi-lagi nggak ada teman diskusi.
Pernah sih suatu kali aku merasa sangat kesepian dan butuh teman banget saat perjalanan Europe Trip kemarin, terutama saat aku hampir merasa ketinggalan bus. Saat itu aku berpikir kalau aku butuh teman yang menjagaku agar tidak panik dan mengingatkanku soal jadwal. Saat datang ke Madrid juga, aku butuh teman untuk membuatku tetap waras dan sehat karena aku betul-betul merasa tidak enak badan saat itu. Tapi untungnya sih memang semua baik-baik saja dan aku bisa kembali ke London dengan selamat sentausa tanpa kekurangan dan kehilangan suatu apapun.
No, I'm not that strong. In fact, I actually desperate enough to go home back then.
Tambahan lagi, kalau misal jalan sendiri pastikan jangan perkenalkan dirimu yang sebenarnya karena kita nggak tahu kan seseorang berniat baik atau buruk. Saat aku masih 'terdampar' di bandara Madrid sambil browsing, ada seorang pria yang awalnya memintaku untuk mengambil fotonya dengan ponsel milik dia sendiri. Usai mengambil foto, pria itu malah modus kenalan. Aku tidak mengatakan nama asliku, apalagi saat dia tanya apakah aku sudah menikah atau belum, dia juga menanyakan agamaku apa, asal dari mana, ke Spanyol dengan siapa. Jadilah aku mengarang bebas demi keamanan diri sendiri.
Malamnya pun begitu, setelah sampai terminal dan menunggu bus malam aku berkenalan dengan orang Spanyol. Awalnya dia yang mengajakku bicara dengan bahasa Spanyol tapi aku tidak paham. Lalu dia bertanya, "Do you speak English?" lalu kujawab Iya. Dari situ obrolan kami berlanjut. Dia bercerita banyak dan untungnya tidak bertanya terlalu banyak soal identitasku, dia hanya bercerita soal dirinya sendiri. Pria tersebut adalah musisi yang rumahnya di Barcelona tapi merantau kemana-mana untuk mengamen, dia sempat bilang kalau dia tinggal di London untuk kuliah tapi tidak dia lanjutkan karena masalah biaya. Dia juga bilang kalau dia pernah part-time di sebuah bar di London dan bertemu dengan gitaris Aerosmith, kalau nggak Aerosmith ya Led Zeppelin gitu. Aku terkejut dong. Satu-satunya yang membuat obrolan kami nyambung adalah ternyata pria tersebut suka genre musik rock lawas. Pria itu agak kecewa begitu tahu tempat duduk kami di bus berbeda. Sementara aku bahagia karena sesungguhnya aku pasti tidak tahan diajak ngobrol semalaman olehnya hahahaha.
Paginya aku sampai di Barcelona. Perlu kuulang sekali lagi teman-teman agar kalian tidak mengikuti jejakku, jangan pernah ambil overnight bus! Apalagi ternyata keesokan harinya aku nggak bisa mandi. Memang sih di stasiun bus tempatku turun yakni Gare du Nord Barcelona disediakan locker yang sesungguhnya esensial untuk seorang backpacker sepertiku ini. Tapi Gare du Nord tidak menyediakan kamar mandi seperti Paris Gallieni. Begitu turun dari bus, aku langsung menuju kamar mandi untuk ganti undies, buang air kecil, pipis, dan cuci muka. Badanku yang masih bau keringat dan lengket gara-gara jalan kepanasan di Madrid hari sebelumnya aku biarkan saja. Toh aku pun jalan sendirian kan?
Jadinya seharian aku berkeliling Barcelona dimulai dari Plasa de Cataluna sampai ke Nou Camp dalam kondisi belum mandi. Cuek saja sih kan yang penting tidak bau. Inilah teman-teman sisi negatifnya tidak punya teman, coba kalau punya teman kan bisa numpang mandi. Dan untungnya ada temanku dari London yang hari itu juga ke Barcelona dan menginap di hostel. Jadi sorenya, aku menumpang mandi di hostelnya. Dasar tidak tahu malu!
Karena di Barcelona ini setengah hari Solo Trip lalu setengah harinya lagi tidak, maka secara keseluruhan aku tidak bisa menyebutnya Solo Trip. Dan tentu saja setelah seminggu jalan-jalan keliling Eropa sendirian, bertemu dengan temanku di Barcelona ini membuatku bahagia. Akhirnya ada orang yang bisa diajak ngobrol dan makan bareng! Terlebih lagi ada yang dengan lapang dada memberiku tempat untuk mandi dan membawakan carrierku yang berat. Sungguh baik hati kan temanku ini?
Sayangnya meski ada teman ini, kebodohan Agista tidak lantas berhenti. Agista masih melakukan kebodohan kok seperti yang ada di sini. Tapi setidaknya ada seseorang yang bisa diajak berdiskusi dan menemaniku di stasiun hingga bus malam menuju Marseille datang. Jadi hidupku nggak miserable banget lah.
Kalau ditanya apakah aku mau travelling lagi sendirian? Jawabannya boleh saja. Tapi kalau ditanya apakah aku mau travelling ala backpacker lagi sendirian? Mungkin aku harus berpikir dua kali. Karena seperti yang kujelaskan berkali-kali, perjalanan ala sobat kismin ke Eropaku kemarin itu sangat melelahkan dan terlalu ambisius sampai merepotkan diriku sendiri.
Terlepas dari semua keluhanku itu, jalan sendirian merupakan hal yang sangat menarik dan menyenangkan. Karena meski aku melakukan banyak kebodohan, hanya aku yang berhak menertawakan kebodohan itu dan aku tidak merugikan orang lain. Meski aku pun kondisinya seringkali mengkhawatirkan dan membahayakan diri sendiri, aku tidak menyeret orang lain terlibat dalam masalahku. Dan terlebih lagi, jalan sendiri membuatku jadi lebih sensitif dan observant pada lingkungan sekitar. Coba kalau misalkan aku jalan dengan orang lain, mungkin aku sering salah tingkah dan justru jadi lebih panik, tambahan lagi jadi merasa bersalah karena telah menjerumuskan orang tersebut ke jalan yang salah hahahaha.
Nah pertanyaannya sekarang adalah: Apakah kalian masih takut dengan Solo Trip? Apakah kalian masih berpikir kalau jalan selalu butuh teman? Think again ;)
P.S: Karena cerita di Barcelona tidak Solo mungkin akan diceritakan di postingan terpisah, kalau ingat. Yang jelas Barcelona kotanya jauh lebih indah daripada Madrid.
Sayangnya kebebasan tersebut punya harga yang harus dibayar, untuk aku contohnya, karena aku anaknya cenderung mudah tersesat jadi aku harus mengalami delay ke beberapa tujuan karena jalan sendirian.
Plaza de Royal, Madrid |
Saat berada di Paris contohnya, niat hati ke Arc de Triomphe tapi malah kesasar ke jalan lain yang nggak tahu itu apa. Dilanjutkan dengan tersesat akibat nggak paham-paham sama jalur Tram di Antwerp. Beruntung di Madrid dan Barcelona nggak separah itu.
Sesungguhnya begitu tiba di Madrid, aku sama sekali nggak punya ide mau ke mana. Begitu mendarat di bandara Madrid dan tidak melewati border check, aku bingung mau menuju ke mana. Ke Santiago Bernabeu? Makan? Meletakkan loker? Semua tujuan itu berkecamuk jadi satu di pikiranku. Apalagi saat aku masih terkejut karena masuk ke Spanyol tanpa melewati border. Sungguh, sejak pasporku dicek di Port of Dover, selama jalan-jalan di Eropa aku tak pernah melewati border pass lagi. Aku sempat mengira bahwa di bandara Madrid nanti aku akan mendapatkan stempel lagi karena asumsi sudah pasti lewat border check kan, ternyata engga dong. Aku sampai bertanya-tanya dalam hati, "Bagaimana bisa terbang ke Spanyol bagaikan terbang domestik di Indonesia? Nggak pakai passport control atau apa? Kalau ada penjahat masuk seenaknya kayak aku gimana?"
Karena kebingungan itu lah aku jadi stay agak lama di Bandara sekaligus mengecek kira-kira kemana aku harus pergi di antara tiga prioritas: meletakkan koper, ke city center, atau langsung ke Bernabeu. Ada beberapa hal esensial yang harus dilakukan bagi traveller: 1) riset soal transportasi; 2) riset soal destinasi. Dan yang pertama kulakukan adalah riset soal transportasi, begitu tahu bahwa transportasi Madrid sebelas dua belas dengan kota-kota besar Eropa lainnya, maka aku langsung menentukan tujuan selanjutnya yakni memesan loker untuk meletakkan tas. Barulah setelah itu aku memutuskan untuk jalan-jalan.
Begitu selesai meletakkan loker, rasanya aku sudah sangat lelah. Lelah karena sudah tidak ingin jalan-jalan sendirian lagi. Inilah sisi negatif jalan sendirian berikutnya: ketika kamu sudah tidak punya tujuan, nggak ada yang bisa diajak ngobrol atau sharing. Ketika kamu sedang penat baik mental atau fisik pun, nggak ada yang bisa diajak berbagi rasa penat itu. Dan aku baru menyadari kalau teman jalan itu esensial juga. Yah walaupun nggak berlaku di keseluruhan trip-ku sih. Jujur setelah dari Berlin, aku ingin segera pulang ke London karena aku sudah lelah fisik dan mental. Mengingat perjalananku masih kurang empat hari lagi justru membuatku makin sedih.
Itulah yang menyebabkan aku memperlambat cara berpikirku ketika sampai di bandara Madrid. Malah aku berniat hanya duduk di sebuah coffee shop lalu menulis blog. Tapi setelah beberapa chat dengan Mbak Ayodd dan juga mengingat lagi urusan visa yang menggelikan itu, aku jadi bersemangat lagi. Usai meletakkan tas di penitipan barang, aku memutuskan untuk city tour di area Madrid.
Perjalanan pertama dimulai dari Plaza Mayor, kebetulan tempat yang didominasi oleh bangunan berwarna merah ini punya banyak tempat makan dan toko yang menjual suvenir. Jadi sudah pasti kalau tempat tersebut merupakan tourist attraction dong. Aku berpikir untuk tidak langsung ke Santiago Bernabeu tapi menyimpannya sebagai tujuan akhir. Dan karena memang konsep Europe Tripku kemarin adalah city tour, maka aku sengaja memperbanyak jalan dan keliling-keliling saja. Beruntung, landmark di sekitaran Madrid tidak jauh satu sama lain. Dari Plaza Mayor, tinggal jalan sedikit saja sudah sampai di Royal Palace of Madrid atau Puerta del Sol. Hal ini sudah kupelajari sejak berada di London dan kota-kota sebelumnya, landmark pasti tidak jauh satu sama lain.
Royal Palace of Madrid |
Agar bisa nampang di Santiago Bernabeu, aku minta seorang Mbak-Mbak untuk memfotokan aku dengan kamera polaroidku. Dan rupanya saudara-saudara, perjalananku pas Europe Trip kemarin itu cukup dibilang beruntung. Mengapa demikian? Selain di Lille, semua kota yang kukunjungi cuacanya cerah, tidak mendung atau hujan sekalipun. Jadi aku dapat foto dengan latar belakang langit biru yang indah. Meskipun yah, Spanyol panasnya menggila sih. Pernah suatu kali setelah dari Santiago Bernabeu, aku melanjutkan perjalanan ke Segovia Bridge, Madrid dan suhunya mencapai 43 derajat celcius. Suhu tersebut ditunjukkan oleh LED lights yang berada di salah satu bus stop. Saat melihat counter tersebut, barulah aku sadar kalau Spanyol sepanas itu sampai aku dehidrasi parah padahal sudah bawa air putih se-tumblr.
Saking nggak tahannya dengan panas ketika jalan-jalan di Madrid, rasanya aku ingin segera bertemu dengan petang. Pasalnya panasnya menyengat banget dan bikin tenggorokan kering. Begitu matahari sudah agak turun, aku kembali lagi ke city center menuju ke titik nol yang terletak di Puerta del Sol. Dan tahu tidak, lagi-lagi aku melakukan kebodohan karena tersesat dalam mencari titik nol KM ini padahal titik nolnya keliatan banget di depan mata. Ini sih yang jadi sisi positif jalan sendirian, kalau misalnya buta arah dan nggak tahu jalan malunya dipendam sendiri.
Ceritanya begitu aku sampai di Puerta del Sol, maps menunjukkan bahwa titik nol itu berada di jangkauan beberapa langkah saja. Karena titik nol ini merupakan steps seperti yang ada pada foto di atas, dia nggak terlalu mencolok. Aku berputar-putar di sekitaran Puerta del Sol sampai melihat Patun Beruang berkali-kali tapi tak kunjung menemukan titik nol. Apalagi maps yang kugunakan adalah maps HP Android yang sudah makin lemot. Usut punya usut, titik nol ini berada di tengah-tengah tepatnya di depan sebuah gedung yang menghadap Puerta del Sol itu. Aku baru notice ketika melihat sejumlah turis memotret bagian bawah kaki mereka. Begitu aku cek, eh ternyata benar itu adalah titik Nol KM. Astagfirullah gitu amat ya hidup.
This is my friend, where I told you that my navigation skill is beyond imbecile.
Enaknya lagi nih kalau jalan-jalan sendirian kamu jadi nggak perlu khawatir soal jam makan atau mau makan di mana. Semua mengalir begitu saja sesuka kamu. Kebetulan aku baru berniat makan ketika sudah menjelang sore banget. Itu pun karena aku merasa sudah lelah banget jalan-jalan dari Opera ke Santiago Bernabeu ke Segovia ke Opera lagi ke Puerta del Sol lagi lalu hendak ke Gran Via. Sebelum menuju Gran Via, aku menemukan sebuah restoran Thailand kecil. Memang penampilannya nggak meyakinkan sih tapi karena aku sudah lelah banget dan ingin duduk, jadilah aku mampir. Padahal tadinya mau mampir di Starbucks aja sekalian update blog kan. Ya sudah karena Starbucks nggak ada, aku makan di resto Thailand tersebut.
Karena resto tersebut punya ruangan outdoor, aku memilih duduk di ruang outdoor saja. Tapi bung, masalahnya kalau makan di ruangan outdoor itu kamu harus waspada. Sebab kita nggak tahu kan kriminal datangnya kapan? Bisa jadi dia tiba-tiba ngejambret tas kamu? Salah satu sisi positif jalan sendirian juga ini, jadi lebih waspada sama barang-barang dan diri sendiri. Karena siapa lagi yang bisa mencegah kriminal itu terjadi kalau bukan diri sendiri? Atau siapa yang bisa nolong kamu kalau bukan diri sendiri dulu? Coba deh bayangin kalau jalan sama orang, memang benar mungkin bisa saling ngawasin tapi kalau sama-sama slebor dan ngobrol ke sana ke mari kan nggak sadar kalau dicopet atau dijambret. Begitu saudara-saudara. Oleh sebab itu argumen bahwa cewek pergi sendirian itu nggak aman merupakan argumen yang diragukan kevaliditasannya. Semua tergantung pada individu kok, kalau mau aware dan sensitif sama lingkungan sekitar kan bisa menjaga diri, implikasinya ya aman-aman saja.
Lalu sangat penting juga untuk well-behaved kemanapun kamu pergi, seperti yang sudah kusinggung di sini, menjunjung adat dan budaya setempat itu penting banget. Apalagi kalau jalan sendirian dan beneran mau aman lho. Kalau bisa jangan sampai memprovokasi pertikaian atau berbuat nggak sopan pada native people. Terus kalau bisa sih act like a local, wandering tapi nggak terlalu nuris. Apa maksudnya? Nggak dikit-dikit foto. Lalu kalau bisa menggunakan bahasa lokal ya silakan digunakan, kalau nggak bisa ya senyum aja. Kalau kalian ramah pada orang lain dan act like a local, insya Allah aman sih. Karena memang biasanya kriminal menargetkan pada turis. Satu lagi, act like a beggar maksudnya berpenampilan biasa aja, jangan terlihat terlalu mentereng kayak orang tajir melintir atau mengenakan aksesoris berlebihan.
El Stadio Santiago Bernabeu |
Gran Via, Madrid |
And that's my friend how you define a travelling, to observe the people, the habit, the commuting pattern, the culture. That's the essence of city tour.
Dan memang benar lho. Tujuanku melakukan city tour ini adalah untuk menyerap kearifan lokal meski setengah-setengah. Karena kalau nggak city tour, mana bisa aku membedakan kebiasaan orang Jerman dengan orang Spanyol atau membedakan bagaimana commute di London dengan di tempat lain. Dan sebenarnya meski kelihatannya aku nggak kemana-mana atau ngapa-ngapain karena cuma jalan-jalan gratisan, aku memperhatikan kebiasaan-kebiasaan orang-orang yang bisa jadi sama dengan kebiasaan orang Indonesia atau yang berbeda. Siapa tahu kan kebiasaan bagusnya bisa diterapkan? Namun sejak aku terobsesi dengan sistem kereta bawah tanah, aku jadi lebih memperhatikan soal sistem transportasinya sih hehehe.
Itulah sisi positif jalan sendiri jadi bisa fokus dan lebih observant. Sisi negatifnya, lagi-lagi nggak ada teman diskusi.
Pernah sih suatu kali aku merasa sangat kesepian dan butuh teman banget saat perjalanan Europe Trip kemarin, terutama saat aku hampir merasa ketinggalan bus. Saat itu aku berpikir kalau aku butuh teman yang menjagaku agar tidak panik dan mengingatkanku soal jadwal. Saat datang ke Madrid juga, aku butuh teman untuk membuatku tetap waras dan sehat karena aku betul-betul merasa tidak enak badan saat itu. Tapi untungnya sih memang semua baik-baik saja dan aku bisa kembali ke London dengan selamat sentausa tanpa kekurangan dan kehilangan suatu apapun.
No, I'm not that strong. In fact, I actually desperate enough to go home back then.
Tambahan lagi, kalau misal jalan sendiri pastikan jangan perkenalkan dirimu yang sebenarnya karena kita nggak tahu kan seseorang berniat baik atau buruk. Saat aku masih 'terdampar' di bandara Madrid sambil browsing, ada seorang pria yang awalnya memintaku untuk mengambil fotonya dengan ponsel milik dia sendiri. Usai mengambil foto, pria itu malah modus kenalan. Aku tidak mengatakan nama asliku, apalagi saat dia tanya apakah aku sudah menikah atau belum, dia juga menanyakan agamaku apa, asal dari mana, ke Spanyol dengan siapa. Jadilah aku mengarang bebas demi keamanan diri sendiri.
Malamnya pun begitu, setelah sampai terminal dan menunggu bus malam aku berkenalan dengan orang Spanyol. Awalnya dia yang mengajakku bicara dengan bahasa Spanyol tapi aku tidak paham. Lalu dia bertanya, "Do you speak English?" lalu kujawab Iya. Dari situ obrolan kami berlanjut. Dia bercerita banyak dan untungnya tidak bertanya terlalu banyak soal identitasku, dia hanya bercerita soal dirinya sendiri. Pria tersebut adalah musisi yang rumahnya di Barcelona tapi merantau kemana-mana untuk mengamen, dia sempat bilang kalau dia tinggal di London untuk kuliah tapi tidak dia lanjutkan karena masalah biaya. Dia juga bilang kalau dia pernah part-time di sebuah bar di London dan bertemu dengan gitaris Aerosmith, kalau nggak Aerosmith ya Led Zeppelin gitu. Aku terkejut dong. Satu-satunya yang membuat obrolan kami nyambung adalah ternyata pria tersebut suka genre musik rock lawas. Pria itu agak kecewa begitu tahu tempat duduk kami di bus berbeda. Sementara aku bahagia karena sesungguhnya aku pasti tidak tahan diajak ngobrol semalaman olehnya hahahaha.
Paginya aku sampai di Barcelona. Perlu kuulang sekali lagi teman-teman agar kalian tidak mengikuti jejakku, jangan pernah ambil overnight bus! Apalagi ternyata keesokan harinya aku nggak bisa mandi. Memang sih di stasiun bus tempatku turun yakni Gare du Nord Barcelona disediakan locker yang sesungguhnya esensial untuk seorang backpacker sepertiku ini. Tapi Gare du Nord tidak menyediakan kamar mandi seperti Paris Gallieni. Begitu turun dari bus, aku langsung menuju kamar mandi untuk ganti undies, buang air kecil, pipis, dan cuci muka. Badanku yang masih bau keringat dan lengket gara-gara jalan kepanasan di Madrid hari sebelumnya aku biarkan saja. Toh aku pun jalan sendirian kan?
Jadinya seharian aku berkeliling Barcelona dimulai dari Plasa de Cataluna sampai ke Nou Camp dalam kondisi belum mandi. Cuek saja sih kan yang penting tidak bau. Inilah teman-teman sisi negatifnya tidak punya teman, coba kalau punya teman kan bisa numpang mandi. Dan untungnya ada temanku dari London yang hari itu juga ke Barcelona dan menginap di hostel. Jadi sorenya, aku menumpang mandi di hostelnya. Dasar tidak tahu malu!
Karena di Barcelona ini setengah hari Solo Trip lalu setengah harinya lagi tidak, maka secara keseluruhan aku tidak bisa menyebutnya Solo Trip. Dan tentu saja setelah seminggu jalan-jalan keliling Eropa sendirian, bertemu dengan temanku di Barcelona ini membuatku bahagia. Akhirnya ada orang yang bisa diajak ngobrol dan makan bareng! Terlebih lagi ada yang dengan lapang dada memberiku tempat untuk mandi dan membawakan carrierku yang berat. Sungguh baik hati kan temanku ini?
Sayangnya meski ada teman ini, kebodohan Agista tidak lantas berhenti. Agista masih melakukan kebodohan kok seperti yang ada di sini. Tapi setidaknya ada seseorang yang bisa diajak berdiskusi dan menemaniku di stasiun hingga bus malam menuju Marseille datang. Jadi hidupku nggak miserable banget lah.
Kalau ditanya apakah aku mau travelling lagi sendirian? Jawabannya boleh saja. Tapi kalau ditanya apakah aku mau travelling ala backpacker lagi sendirian? Mungkin aku harus berpikir dua kali. Karena seperti yang kujelaskan berkali-kali, perjalanan ala sobat kismin ke Eropaku kemarin itu sangat melelahkan dan terlalu ambisius sampai merepotkan diriku sendiri.
Terlepas dari semua keluhanku itu, jalan sendirian merupakan hal yang sangat menarik dan menyenangkan. Karena meski aku melakukan banyak kebodohan, hanya aku yang berhak menertawakan kebodohan itu dan aku tidak merugikan orang lain. Meski aku pun kondisinya seringkali mengkhawatirkan dan membahayakan diri sendiri, aku tidak menyeret orang lain terlibat dalam masalahku. Dan terlebih lagi, jalan sendiri membuatku jadi lebih sensitif dan observant pada lingkungan sekitar. Coba kalau misalkan aku jalan dengan orang lain, mungkin aku sering salah tingkah dan justru jadi lebih panik, tambahan lagi jadi merasa bersalah karena telah menjerumuskan orang tersebut ke jalan yang salah hahahaha.
Nah pertanyaannya sekarang adalah: Apakah kalian masih takut dengan Solo Trip? Apakah kalian masih berpikir kalau jalan selalu butuh teman? Think again ;)
Segovia, Madrid |
memang sih kriminalitas ada dimana-mana ya, tapi kalo menurutku (menurutku sendiri lho ya) negara maju lebih aman dari negeri sendiri untuk perempuan yang solo trip hehehe, nggak tau deng kalau pendapatku ini kurang tepat, belum pernah solo trip nusantara soalnya mwehehe paling nggak berdua lah sama temen
ReplyDelete