Coping With Stress: My Way Bouncing Back from Dark Pit


Yo teman-teman semua, setelah cukup lama shutting down diri sendiri dari kebahagiaan dan hiruk pikuk dunia luar, akhirnya aku bisa kembali. Memang beberapa saat yang lalu aku masih bisa menulis sejumlah postingan dalam blog ini namun beberapa hari setelahnya aku merasa otakku tidak bisa bekerja dengan baik. Oleh sebab itu, aku jadi kehilangan semangatku menulis dan bercerita lagi dalam blog ini. Kejadian ini tidak berlangsung satu atau dua kali saja, berkali-kali sejak aku tiba di London. Tak heran dong kalau postingan blog-ku dari bulan ke bulan makin berkurang? Sebabnya adalah aku stress dan aku kehilangan motivasi untuk menulis. Padahal aku sudah sering bilang bahwa menulis adalah pengobatanku bukan?

Hari ini aku ingin jujur dalam tulisan ini, aku ingin bercerita bagaimana bisa seorang Agista yang tampak kuat dari luar (yah setidaknya aku berpikir begitu) tiba-tiba jatuh ke dalam jurang yang gelap. What I'm trying to say is I'm lucky I didn't fall too deep. Tapi yang jelas berkat tekanan dan beban yang kualami beberapa bulan terakhir, aku jadi lupa caranya berpikir jernih, lupa caranya menangis, mengabaikan kebahagiaan dan kesehatan diri sendiri. Dan aku bersyukur bahwa aku masih bisa menghadapi situasi yang cukup berat dan tidak jatuh dalam depresi berkelanjutan.

Stress awalnya mulai menyerangku saat aku sedang menghadapi exam sekitar bulan Mei-Juni. Mengapa demikian? Karena bobot penilaian exam ini cukup berat 80% untuk menentukan nilai akhirku nanti. Aku yang sangat paham akan kemampuanku sendiri merasa bahwa aku tidak cukup bagus untuk mengerjakan written exam. Dan aku tidak mengharapkan adanya written exam sama sekali karena aku tahu bahwa aku sangat payah dalam memahami konsep dan detail lalu mengerjakannya di ujian tulis. Merasa begitu payah dalam belajar lantas tak membuatku santai-santai saja, aku belajar kok. Sayangnya ingatanku tidak cukup bagus sehingga dalam beberapa exam, aku tidak berhasil. Hasil exam keluar sekitar bulan Juli dan terbukti aku gagal di dua mata kuliah. Apakah itu petaka? Bisa iya, bisa tidak. Iya, bila aku gagal lagi di ujian resit. Tidak, bila aku berhasil mendapatkan nilai pass (50) di ujian resit. Ada satu mata kuliah yang sangat tidak aku sukai meski aku bisa mengerjakannya dan aku membiarkan satu mata kuliah tersebut gagal.

Untuk menghadapi stress akibat exam ini, aku berkata pada diri sendiri untuk berhenti bersikap ambisius. Sebenarnya sejak awal kuliah aku sudah menentukan target kelulusanku. Awalnya aku menargetkan predikat tertinggi yakni 'Distinction' namun begitu aku sudah menjalani perkuliahan aku menurunkan targetku menjadi 'Merit'. Target awalku adalah rata-rata nilai 60 untuk keseluruhan dan lulus dengan predikat 'Merit'. Faktanya, aku gagal di dua mata kuliah. Untuk tetap mencapai target, aku bekerja keras agar tesisku mendapatkan 'Distinction' sehingga bisa mengangkat nilai rata-rataku dan berhasil. Aku tahu aku akan berhasil di tesis karena menulis adalah kekuatan utamaku. Ada dua mata kuliah yang berhubungan dengan menulis dan di dua mata kuliah tersebut aku mendapatkan 'Distinction', itu adalah bukti bahwa aku serius dengan menulis.

Setelah memenuhi targetku, aku cukup lega. Apalagi aku bisa lulus dengan gelar MSc jadi aku tidak perlu khawatir diminta mengembalikan uang beasiswa karena gagal lulus S2. Stress karena nilai sudah lewat. Lagipula stress masalah nilai ini berada di level paling rendah sehingga aku tahu persis bagaimana cara mengatasinya. Selama aku bisa mengontrol ambisiku dan tidak mempedulikan capaian orang lain, aku akan terbebas dari tekanan bahwa aku harus jadi yang terbaik. Dari sini aku pun belajar kalau menimba ilmu bukan berarti membatasi diri untuk tidak belajar dari dunia luar. Aku melihat teman-temanku yang serius dengan ujian dan mendapatkan nilai sempurna malah tidak memiliki kehidupan di luar sana. Mereka ke sini hanya untuk berada di kampus dan di rumah, sementara aku bertemu dengan banyak orang hebat dan belajar budaya serta etos kerja di tempat lain.

Stress yang kedua tiba setelah urusan exam ini, masalah yang timbul ini cukup menyita banyak energiku dan waktuku. Tak lain dan tak bukan adalah masalah rumah lama. Masalah yang satu ini pelik karena aku bertingkah seperti bocah dan lawannya juga bertingkah seperti bocah. Sama-sama salah. Pada awalnya aku tidak memiliki masalah sama sekali malah tapi semakin ke sini semakin menjadi saja. Hingga pada akhirnya, pihak yang satu juga ikut-ikutan menyebarkan masalahnya di sosial media. Klarifikasi katanya. Ya karena aku sudah mengatakan bagianku, aku sih tidak protes. Lagipula aku juga sudah minta maaf padanya dan aku sudah berprinsip untuk tidak menemuinya lagi karena buat apa? Saat pihak sana memintaku untuk menutup curhatanku di sosial media, aku sudah lakukan. Dia bilang agar aku melakukan klarifikasi ya sudah aku lakukan juga. Tapi itu kan tidak membuatnya puas karena menurutnya klarifikasi yang kuberikan nggak benar. Ya aku sih mengatakan apa yang ingin kukatakan saja, masalah dia mau imejnya kembali bagus atau tidak ya itu urusan dia. Aku nggak punya kewajiban untuk membersihkan nama dia karena gimanapun cuma waktu yang bisa membuktikan benar salah atau baik buruknya. Terlebih lagi, dalam curhatanku aku juga mengakui kalau aku salah.

Ketika yang bersangkutan mengungkit kembali masalah yang sudah lama di sosial medianya, aku sama sekali tidak merespon. Karena kupikir, ya udah sih biar impas. Sebenarnya aku merasa ada sejumlah hal yang janggal dan saat itu ingin aku melakukan rebuttal lagi. Tapi buat apa? Buat apa meladeni hal yang tidak memberikanku kebahagiaan atau keuntungan kan? Bukannya dapat apa yang aku mau, aku malah mengeluarkan energi negatif. Lebih baik aku salurkan energiku ke hal-hal positif kan?

Saat itu yang membuatku stress adalah aku hidup tanpa memiliki cukup dana. Uang beasiswa sudah habis untuk membayar sewa dan aku bergantung penuh pada uang deposit yang seharusnya keluar dalam waktu (paling lambat 10 hari). Karena aku belum bayar bill listrik, maka uang itu tidak keluar-keluar. Ya jangankan bayar bill, uang untuk makan dan transport aja aku nggak punya kan? Sebenarnya sederhana sih, kalau misal dari awal bilang "Aku nggak bisa minjemin kamu duit buat bayar bill, kamu harus bayar kalau mau deposit keluar." Kan selesai ya. Tapi yah, namanya juga orang emosi, sensitif, dendam, kesel, sebel karena sudah 'dicemarkan' nama baiknya makanya perlu memanjang-manjangkan masalah dengan cara yang kekanakan. Lalu muncullah sederetan curhatan yang disebut Unresolved, mungkin terinspirasi dari Buzzfeed Unresolved.

Terlepas dari semua hal negatif itu, yang paling menguras tenagaku adalah "Mengapa hal yang seharusnya sederhana jadi rumit?" Bagiku semua sudah selesai ketika tidak tercapai kata mufakat. Dan aku pun sudah mengakhiri hubungan. Aku sama sekali nggak ada niatan untuk meminta tolong apapun atau berhubungan kembali dengan yang bersangkutan. Aku pun menganggap semua masalah selesai karena aku tahu aku nggak bakal mendapatkan kerugian-kerugian yang kualami kembali. Jadi apa masalahnya? Saat itu yang kubutuhkan hanya uang deposit saja untuk hidup. Sesederhana itu. Namun dibuat rumit karena aku yang bersalah karena sudah 'menyebarkan' cerita dan tidak melakukan klarifikasi, rumit karena aku tidak bayar bill dan WA-ku tidak dibalas langsung eh malah diunggah ke Insta story :))))

Aku sih nggak masalah orang lain akan menganggap aku pembohong lah atau tukang mencemarkan nama baik orang lah. Karena ya aku mengatakan yang sebenarnya, aku nggak mau mengubah pikiranku akan hal itu karena aku mengalaminya. Sekali lagi yang membuatku stress adalah masalah rumah ini membuatku miskin hahahaha.

Sudah nggak punya uang, jarang makan, eh masih aja hidup diribetin orang. Padahal waktu itu aku sudah move on dan berbahagia dengan hidup baruku. Aku hanya meminta hakku, ya tentu dong deposit itu hakku. Eh tapi malah dipersulit. Tapi ya udah sih namanya juga orang kesel ya ingin balas dendam aja. Karena emang balas dendam itu enak kok, apalagi ngejelek-jelekin orang. Endeus oi! Ku berikan sih kepuasan dia ngata-ngatain aku seenaknya karena ya buat apa dibantah? Aku biarkan orang menilai nanti akhirnya gimana, lagipula sudah beda circle kok. Kalau teman-temannya mau ngeliat aku sebagai penjahat ya let it be, lo siapa? Khekhekhekhe

Enough with downgrading somebody, it's toxic and I know that. So yeah, basically that was the most stressful event I've encountered lately.

And then how I overcome my dark pit that time? Well, I thank to my conditional support system such as: Mbayod, Mas Kiva, Imanuel, and my new environment. Those people keep supporting me and gave me good advices so I could control my anger. Although some of them weren't here, I'm glad that I was still able to communicate with them. There was a time when I was so lonely and I couldn't ask anybody for help but I was able to survive. I mean, I could survive with only GBP 400 a month! That's when I realise that Allah won't let you die if you are not meant to die.

Besides, I was having the internship and met such a great team. I learnt a lot, really! And I got so much knowledge, I gathered experience, I made friends, I was happy even though I barely eat. Fortunately the internship went well and they were appreciative. One day or two they treat us food so I don't have to worry about what I'm going to eat today. I was so happy and I'm happy (because I'm still doing the internship).

Some time, I thought that I was going to fall deep and that I was so weak. When there was no one who could listen to me, I still got my friends back home to pat me in the back. I thought I was strong, in fact I don't. But then I will find the way eventually and I received so much love from everyone close to me. I can't deny the blessings that was given upon me. Alhamdulillah. I believe that there will be a sun comes after the rain. And it was true. I don't think the problem regarding the deposit or that person will destroy me, it was indeed make me stronger.

Aku ingat sekali Mbayod, Mbak Tika, dan Mas Kiva berpesan, "Udahlah ikhlasin aja. Nanti kamu bakal mendapatkan rezeki yang jauh lebih baik." Mungkin rezeki itu tidak datang dalam bentuk materi (walaupun pada akhirnya uang depositku juga kembali) tapi dalam bentuk orang-orang yang super baik. Yah setelah pertikaian di akhir masa perkuliahanku dan kehidupanku yang hampir membuatku stress, aku justru bertemu dengan banyak orang super baik dan belajar banyak. Memang sih apapun yang terjadi dalam hidup selalu ada hikmahnya.

Selain Mbayodd dkk, salah satu temanku di kampus juga offer me a help. Mungkin bantuan dia nggak banyak tapi dia bisa mendengarkan ceritaku tanpa judging. Dia adalah Aimee. Di saat teman-teman sudah balik ke Indonesia, Aimee ada untuk mengajakku makan dan main lalu kami bercerita banyak hal. Dia bercerita mengenai usahanya mendapatkan pekerjaan lalu aku menceritakan permasalahanku. Aku beruntung aku bertemu dengan orang-orang yang bisa menguatkanku selama aku di London. Meski aku hidup kekurangan dan sedikit tertekan, aku tidak menyerah begitu saja. Aku malah cukup bangga karena masih bisa bertahan hidup hingga aku kembali ke Indonesia meski sempat kekurangan.

Walaupun di Indonesia tidak banyak teman-teman yang tahu bahwa aku di London tidak hanya senang-senang belaka. Aku juga butuh berjuang baik dalam soal mempertahankan performa di kampus, bertahan hidup tanpa uang, hingga mendapatkan tekanan karena masalah dengan flatmate.

Comments