Keengganan Merantau Anak Malang


Secara mendadak memori-memori selama tiga bulan terakhirku di London berkelebat dalam otak. Mungkin ini adalah sindrom gagal move on untuk kesekian kalinya. Tiba-tiba aku ingat saja langit senja yang aku lihat dari jendela kereta TfL Rail sepulang kerja atau langit yang berwarna jingga di balik kaca dan kisi-kisi jendela di ruangan perpus kantor BI London. Aku bahkan masih ingat dinginnya udara London musim gugur lalu. Tiba-tiba aku semakin terbawa dengan ingatanku saat aku pulang magang, melintasi Finsbury Square, menyeberang di depan kantor Monzo, melihat bar di pojokan, melintasi sebuah kantor arsitektur menuju ke Liverpool Street, melintasi kantor UBS yang sangat besar itu, dan melintasi Broadgate. Aku ingat sekali saat aku pulang ketika matahari telah menghilang dan langit berubah jadi gelap, aku merasa kesepian saat itu. Hingga aku turun tangga menuju Liverpool Street, aku kerap menyembunyikan tanganku di saku trench coat warna krem dan aku hampir menangis.

Sampai saat ini pun, ingatan itu masih terpatri jelas di otakku dan rasanya aku tidak ingin ingatan itu akan menghilang begitu saja.

Tiga bulan terakhir di London berat, itu memang benar. Teman-temanku meninggalkanku satu per satu, aku sendirian berjuang menghidupi serta membahagiakan diri sendiri. Aku jadi lebih sering meminta uang pada orangtuaku di rumah hanya untuk dua buah double cheese burger atau kadang ditraktir makan oleh Mas Sam, Mbak Yoan, Mas Bagus, dan Mas Sandy. Saat-saat itu juga aku jadi lebih banyak bersedih dan berpikir mengenai apa yang akan aku lakukan nanti. Saat itu serba salah, aku ingin tetap berada di London tapi aku juga sudah merindukan Indonesia. Sayangnya, rencanaku setelah pulang tidak berjalan mulus. Malang yang sebelumnya kuanggap sebagai rumah, tidak lagi terasa seperti rumah.

Justru London. Kota yang dingin, diselimuti mendung, dan seringkali terlihat muram karena orang-orang sibuk berlalu lalang yang terasa seperti rumah.

Bahkan kamar kecilku di Leytonstone, yang kata Imanuel seperti kamar pembantu bisa membuatku rindu. Justru kamar kecil itulah yang jadi saksi hidupku yang kekurangan. Kamar itulah yang membiarkanku mengurung diri selama akhir pekan dan membiarkanku menonton Sherlock dari season 1 hingga season 4. Kamar kecil dengan kipas angin kecil, spring bed yang sudah reot, pemanas yang baru menyala di malam hari, dan lemari yang hampir rusak itulah yang membuatku tahu bahwa hidup di London tidak semudah itu.

gedung-gedung Moorgate
Aku ingat sekali suatu kali ketika aku menghadiri sebuah acara ke-Indonesia-an di dekat Tower Bridge, ada seorang anak Malang yang baru kukenal juga. Mas Makhyan Jibril namanya, beliau adalah dokter lulusan UB dan ternyata dia adalah anak Singosari, tempat tinggalku dulu. Kami sempat berdiskusi dan kami juga mengiyakan bahwa anak Malang itu enggan merantau. "Anak Malang memang gitu, jarang banget ada yang mau merantau jauh. Nggak tahu kenapa?" ujarnya.

Kalau dipikir, kata-kata Mas Makhyan benar juga. Saat pulang ini entah sudah berapa temanku yang enggan atau menolak untuk merantau. Di saat aku sangat ingin sekali keluar dari Malang, teman-temanku justru bilang, "Aduh nggak deh Gis, udah nyaman di Malang." atau "Nggak boleh keluar jauh-jauh nih sama orangtua." atau "Malang itu udah yang paling enak Gis. Aku aja pingin stay di Malang kok kamu ingin keluar?"

Mungkin kita hanya berbeda latar belakang saja. Keinginanku untuk keluar dari Malang sudah kuat sejak aku lulus S1, apapun itu aku harus keluar dari Malang. 23 tahun hidup di kota ini sudah cukup, mungkin aku akan kembali nanti kalau sudah uzur dan dikuburkan di kota ini. Untuk 10 hingga 20 tahun ke depan aku ingin pergi, kalau bisa kembali ke London karena aku sangat mencintainya.

Satu tahun di London cukup bisa membuatku melupakan kenyamananku di Malang. London memberikanku hampir semua yang aku mau sehingga aku tidak merasa ada kota lain yang bisa menggeser posisi London di hatiku. Mungkin Edinburgh tapi kalau ingat bus merah dan kereta bawah tanahnya, aku tetap akan memilih London.

Kadang aku masih heran saja, daya magis apa yang dimiliki Kota Malang sehingga anak-anak mudanya jarang keluar kota? Teman-temanku yang sempat pergi jauh toh ujung-ujungnya kembali ke pelukan Kota Malang. Temanku yang hendak meninggalkan Malang merana sedemikian rupa seolah-olah dia berpisah selamanya dengan Kota Malang, padahal tidak begitu juga. Malang akan tetap berada di sini dan akan tetap seperti ini. Malang tidak akan serta merta berubah menjadi kota metropolitan seperti Jakarta bukan?

"Di Malang nggak ada apa-apa dan peluangnya kecil, kalau aku tetap di Malang aku nggak akan berkembang," ucapku pada seorang teman. Setelah pergi ke London, setelah mencicipi aroma Ibukota aku memang merasa demikian. Apa yang kucari di kota ini? Tidak ada. Kota Malang tidak memberikan cukup ruang bagiku untuk jadi kaya, Kota Malang tidak membiarkanku untuk berkembang. Rasanya ada kaki dan tangan yang menahanku untuk jadi aku yang baru. Selalu ada cibiran dan pandangan yang tidak mengenakkan akan tingkah lakuku. Aku tidak bebas.

Daya magis apa yang dimiliki Kota Malang hingga orang-orang terlampau nyaman di kota ini dan enggan keluar?

Apakah tidak sekalipun terbersit di pikiran mereka untuk keluar sekali-kali, mengintip dunia di luar Kota Malang dan merasakan perbedaannya?

Dari sekian banyak teman yang kupunyai, hanya sebagian kecil yang lepas dari kota ini bahkan sedikit sekali yang memberanikan diri untuk melangkah ke luar tanpa keterpaksaan tapi karena dorongan dari dalam diri sendiri.

Aku ingat sekali kemarin aku bilang pada salah seorang teman melalui Whatsapp, "I actually really wants to fast forward my time and see whether I will be able to return to London or not. But life's no fun if we don't see any obstacles right?"

Mungkin aku harus bertahan dulu sedikit lagi, melunasi hutangku pada negara lalu kembali ke pelukan London. Di London, aku menghabiskan waktuku selama 23 tahun pun tak mengapa.

suatu hari di dekat Clapton Pond

Comments