Komitmen
Halo, malam ini aku cuma pengen asal nulis dan meng-update kabarku. Seperti yang kalian tahu, intensitasku menulis semakin berkurang dan itu agak berpengaruh ke mood-mood menulisku selanjutnya. Padahal menulis adalah sesuatu yang sangat aku sukai, seperti candu. Kalau tidak menulis rasanya kepalaku terlalu sesak, ada begitu banyak ide yang harus dituangkan tapi jarang ada kesempatan untuk melakukannya (atau itu hanya alasanku belaka?). Nah, sebenarnya isi postingan ini tidak penting. Hanya saja, aku merasa perlu menuliskannya kalau-kalau di masa depan aku membutuhkan refleksi diri tentang apa yang tengah aku pikirkan saat ini.
Ada terlalu banyak cerita sehingga aku merasa pusing harus menulis dari mana. Memang benar, mengawali itu jauh lebih susah daripada mempertahankan kebiasaan. Atau bisa jadi juga aku jarang menulis karena pikiranku sedang semrawut. Jujur saja, aku sedang tidak bisa menentukan prioritas apa yang akan kukerjakan terlebih dahulu. Terlalu banyak gagasan, terlalu banyak tugas. Begitu sampai di rumah sepulang kerja, aku memilih untuk langsung tidur dan tidak menyentuh komputerku lagi. Begitu seterusnya.
Yang ingin kuceritakan di sini sebenarnya adalah perpanjangan dari cerita orang-orang di sekitarku. Itu berkaitan dengan komitmen, berkaitan pula dengan keputusanku di masa depan.
Aku bertanya pada diri sendiri: Apakah aku sanggup berkomitmen? Apakah partnerku nanti juga bisa berkomitmen?
Kebiasaan burukku sebagai seorang overthinker seringkali membuatku mengkhawatirkan masa depan dan hal-hal yang tidak pasti seperti ini. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaanku untuk merencanakan sesuatu yang sifatnya jangka panjang ketimbang jangka pendek. Contohnya: berumah tangga.
Concern utamaku saat ini adalah berumah tangga, tak dipungkiri lagi. Setelah semua yang kulewati, aku merasa hampir selesai dengan diri sendiri. Melanjutkan studi di luar negeri sudah, menghasilkan pendapatan sendiri juga sudah, lalu apalagi? Tapi aku selalu mengingatkan diri sendiri untuk tidak terburu-buru. Karena aku yakin bila kaitan dengan rumah tangga dilakukan pelan-pelan dan perencanaan yang matang, niscaya risiko besar dan menyakitkan akan bisa ditanggulangi dengan lebih siap juga.
Sebelum beranjak ke kehidupan rumah tangga diriku sendiri, lagi-lagi kenyataan menamparku. Apakah aku siap berkomitmen pada satu orang saja? Yang pertama, hingga saat ini aku masih belum menemukan seseorang yang bisa membuatku nyaman dan mau mendedikasikan seluruh waktuku untuknya. Yang kedua, aku agak sedikit skeptis tentang kesetiaan di zaman yang sudah edan ini. Bahkan berapa lamapun kamu menjalin hubungan dengan orang tersebut, tak menjamin bahwa partner kamu akan setia seperti yang kamu harapkan.
Ada sebuah cerita yang sesungguhnya menyakitkan dari orang terdekatku dan meninggalkan trauma yang cukup mendalam buatku. Komitmen. Banyak orang bilang bahwa setelah kamu menikah, bukan hanya cinta yang jadi bahan bakar mempertahankan rumah tangga itu tapi komitmen. Cinta bisa pudar setelah beberapa tahun tapi komitmen bisa membuatmu bertahan dengan orang yang sama dan visi yang sama.
Semakin ke sini, aku semakin merasa bahwa standar pasangan hidupku jadi lebih susah. Tidak, aku tidak lagi mencari yang tampan atau kaya. Memilih pasangan hidup yang satu visi, bisa diajak bekerja sama, dan memiliki komitmen kuat di zaman sekarang ini sangat sulit untuk ditemukan. Ditambah lagi kasus orang-orang yang bermunculan di sekitarku. Aku jadi bertanya-tanya, apakah komitmen itu memang benar-benar ada?
Ada banyak sekali ilmu romansa di luar sana yang sebenarnya sudah sering aku baca, agar aku bisa mempertahankan rumah tanggaku nantinya. Tapi aku semakin skeptis, apakah pasanganku juga melakukan hal yang serupa? Pernah aku ditanya oleh salah seorang temanku, "Are you afraid of being divorced? Because it's unavoidable. I'm actually not afraid of it." Jujur aku berpikir bahwa menikah itu cukup satu kali seumur hidup. Namun di sisi lain, kalau kita lebih bahagia dengan berpisah maka mengapa tidak? Hanya saja aku memandang bahwa menikah itu bukan main-main, bukan pacaran. Kalau kita bisa mencintai seseorang hingga akhir hayat dan berkomitmen mewujudkan cita-cita bersama, mengapa kita tidak memilih jalan yang itu?
Kalau dipikir lagi, sebenarnya aku (dan banyak orang di luar sana) takut akan perceraian/perpisahan karena kami takut patah hati lagi. Rasa takut akan sakit itulah yang membuat seseorang (aku juga) memilih untuk bertahan di hubungan yang tak lagi bisa dipertahankan. Cenderung beracun dan tidak sehat kalau aku bilang. Yah, pada ujungnya aku masih belum bisa menempatkan diri di posisi ketika aku diselingkuhi. Apakah kalau aku berada di posisi itu, aku juga akan kehilangan akal sehat?
Terlalu banyak hal-hal yang kukhawatirkan ini kadang membuatku takut untuk membuka hati. Bagaimana kalau ternyata orang yang kuinginkan bukanlah yang kubutuhkan? Atau bagaimana bila nanti ketika aku sudah menemukan orang yang tepat, dia justru akan mencederai komitmen kami berdua?
Saat-saat seperti ini, yang menurutku menjadi beban berat bagi orang dewasa. Ada begitu banyak kekhawatiran dan ikatan-ikatan tak terlihat yang harus dipertimbangkan. Apalagi tanggung jawab tak kasat mata yang harus dipikul. Memang dari luar aku terlihat masa bodoh dan tidak peduli perkataan orang, tapi aku peduli pada diriku sendiri dan masa depan. Nanti aku tak akan hidup sendiri, aku akan berkaitan dengan orang banyak. Dan lagi-lagi, apakah aku siap berkomitmen untuk hal itu?
Yang ingin kuceritakan di sini sebenarnya adalah perpanjangan dari cerita orang-orang di sekitarku. Itu berkaitan dengan komitmen, berkaitan pula dengan keputusanku di masa depan.
Aku bertanya pada diri sendiri: Apakah aku sanggup berkomitmen? Apakah partnerku nanti juga bisa berkomitmen?
Kebiasaan burukku sebagai seorang overthinker seringkali membuatku mengkhawatirkan masa depan dan hal-hal yang tidak pasti seperti ini. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaanku untuk merencanakan sesuatu yang sifatnya jangka panjang ketimbang jangka pendek. Contohnya: berumah tangga.
Concern utamaku saat ini adalah berumah tangga, tak dipungkiri lagi. Setelah semua yang kulewati, aku merasa hampir selesai dengan diri sendiri. Melanjutkan studi di luar negeri sudah, menghasilkan pendapatan sendiri juga sudah, lalu apalagi? Tapi aku selalu mengingatkan diri sendiri untuk tidak terburu-buru. Karena aku yakin bila kaitan dengan rumah tangga dilakukan pelan-pelan dan perencanaan yang matang, niscaya risiko besar dan menyakitkan akan bisa ditanggulangi dengan lebih siap juga.
Sebelum beranjak ke kehidupan rumah tangga diriku sendiri, lagi-lagi kenyataan menamparku. Apakah aku siap berkomitmen pada satu orang saja? Yang pertama, hingga saat ini aku masih belum menemukan seseorang yang bisa membuatku nyaman dan mau mendedikasikan seluruh waktuku untuknya. Yang kedua, aku agak sedikit skeptis tentang kesetiaan di zaman yang sudah edan ini. Bahkan berapa lamapun kamu menjalin hubungan dengan orang tersebut, tak menjamin bahwa partner kamu akan setia seperti yang kamu harapkan.
Ada sebuah cerita yang sesungguhnya menyakitkan dari orang terdekatku dan meninggalkan trauma yang cukup mendalam buatku. Komitmen. Banyak orang bilang bahwa setelah kamu menikah, bukan hanya cinta yang jadi bahan bakar mempertahankan rumah tangga itu tapi komitmen. Cinta bisa pudar setelah beberapa tahun tapi komitmen bisa membuatmu bertahan dengan orang yang sama dan visi yang sama.
Semakin ke sini, aku semakin merasa bahwa standar pasangan hidupku jadi lebih susah. Tidak, aku tidak lagi mencari yang tampan atau kaya. Memilih pasangan hidup yang satu visi, bisa diajak bekerja sama, dan memiliki komitmen kuat di zaman sekarang ini sangat sulit untuk ditemukan. Ditambah lagi kasus orang-orang yang bermunculan di sekitarku. Aku jadi bertanya-tanya, apakah komitmen itu memang benar-benar ada?
Ada banyak sekali ilmu romansa di luar sana yang sebenarnya sudah sering aku baca, agar aku bisa mempertahankan rumah tanggaku nantinya. Tapi aku semakin skeptis, apakah pasanganku juga melakukan hal yang serupa? Pernah aku ditanya oleh salah seorang temanku, "Are you afraid of being divorced? Because it's unavoidable. I'm actually not afraid of it." Jujur aku berpikir bahwa menikah itu cukup satu kali seumur hidup. Namun di sisi lain, kalau kita lebih bahagia dengan berpisah maka mengapa tidak? Hanya saja aku memandang bahwa menikah itu bukan main-main, bukan pacaran. Kalau kita bisa mencintai seseorang hingga akhir hayat dan berkomitmen mewujudkan cita-cita bersama, mengapa kita tidak memilih jalan yang itu?
Kalau dipikir lagi, sebenarnya aku (dan banyak orang di luar sana) takut akan perceraian/perpisahan karena kami takut patah hati lagi. Rasa takut akan sakit itulah yang membuat seseorang (aku juga) memilih untuk bertahan di hubungan yang tak lagi bisa dipertahankan. Cenderung beracun dan tidak sehat kalau aku bilang. Yah, pada ujungnya aku masih belum bisa menempatkan diri di posisi ketika aku diselingkuhi. Apakah kalau aku berada di posisi itu, aku juga akan kehilangan akal sehat?
Terlalu banyak hal-hal yang kukhawatirkan ini kadang membuatku takut untuk membuka hati. Bagaimana kalau ternyata orang yang kuinginkan bukanlah yang kubutuhkan? Atau bagaimana bila nanti ketika aku sudah menemukan orang yang tepat, dia justru akan mencederai komitmen kami berdua?
Saat-saat seperti ini, yang menurutku menjadi beban berat bagi orang dewasa. Ada begitu banyak kekhawatiran dan ikatan-ikatan tak terlihat yang harus dipertimbangkan. Apalagi tanggung jawab tak kasat mata yang harus dipikul. Memang dari luar aku terlihat masa bodoh dan tidak peduli perkataan orang, tapi aku peduli pada diriku sendiri dan masa depan. Nanti aku tak akan hidup sendiri, aku akan berkaitan dengan orang banyak. Dan lagi-lagi, apakah aku siap berkomitmen untuk hal itu?
Comments
Post a Comment
Thank you for visiting my blog, kindly leave your comment below :)
In a moment, I can't reply your comments due to error in my account when replying. But I make sure that I read every single comment you leave here :)