Put Yourself on Other's Shoes First

Bisa dibilang aku adalah orang yang memiliki minim empati. Kenapa demikian? Karena rasa kasihan di dalam diriku itu sangat sedikit. Sangat susah bisa relate ke keadaan orang lain, sangat susah untuk merasa kasihan. Dan jujur aku juga sangat tidak peka. Tapi hal tersebut nggak lantas membuatku jadi orang yang suka memaksakan opiniku ke orang lain. Hal tersebut merupakan suatu hal yang sebisa mungkin aku usahakan untuk tidak terjadi. Ya, memang aku judgmental. But I learned it the hard way to make people think like me. Nggak bro, kita terlahir berbeda. Ketika opini kamu ditolak oleh orang lain, that simply they are not us. Kita berbeda, variabel yang mendorong kita mengambil sebuah keputusan juga berbeda.

Untuk beberapa waktu terakhir, meski aku masih tidak peka dan memiliki empati yang sedikit. Aku berusaha untuk memberikan empati. Ketika ada seorang teman yang bercerita dan berkeluh kesah, aku memberikannya validasi. Bukannya malah menambahkan: Kamu mending, lha aku. Nggak, aku baru mengetahui hal ini setelah banyak membaca dan melihat. Ternyata kadang orang memang ingin bercerita untuk didengar bukan untuk dihakimi. Dan salah satu cara untuk tidak menghakimi orang lain adalah dengan memberikan mereka validasi. Validasi ada berbagai macam bentuk, bukan berarti kamu mendorong temanmu ke jurang. Tidak demikian. Tapi kamu memvalidasi perasaannya, sedihnya, marahnya, kesalnya, dan lain sebagainya. Sayangnya, aku dan mungkin sebagian dari kita dibesarkan dengan cara yang tidak seperti itu. Kita sudah terbiasa mendengar orang lain akan bilang: "Udahlah ambil positifnya aja" atau "Jangan sedih, kamu harus bersyukur karena ada orang lain yang tidak lebih beruntung dari kamu." atau "Jangan marah, sabar aja nanti juga Tuhan yang balas."

Sebenarnya tanpa kamu bilang demikian, orang itu nanti juga akan mengerti dan berada di dalam fase acceptance (penerimaan) ketika dia mengalami sesuatu yang buruk. Memberikan mereka wejangan seperti itu tanpa memvalidasi perasaan mereka ternyata bukanlah hal yang baik. Mengapa demikian? Karena mereka akan menjadi insecure pada diri mereka sendiri dan mereka tidak bisa menerima bahwa merasa sedih itu normal. Begitupun dengan banyaknya perasaan negatif lain. Padahal perasaan negatif itu ada, mau tidak mau, suka atau tidak suka.

Beberapa waktu belakangan, saat aku sedang mengalami sebuah masalah yang cukup pelik. Iya, masalah ini cukup pelik karena selama beberapa waktu terakhir aku tidak pernah menghadapi masalah sepelik ini. Ada beberapa orang yang sifatnya cuma kepo, tidak banyak orang yang bisa menjadi tempat aman untuk bercerita. Sebagian besar masih menggunakan petunjuk yang lama: "Udah sabar aja." atau "Udah dijalani aja." atau "Coba pikirkan baik-baik." Sebagian besar orang yang menurutku nggak memberikan validasi atas perasaan kalut dan takut yang aku alami.

Meski di sebagian kecil masih ada beberapa gelintir orang yang memvalidasi perasaanku itu. Dan aku lebih memilih untuk fokus pada orang-orang yang kuanggap berharga ini.

Coba bayangkan, ketika kamu sedang merasa kesal tapi rasa kesalmu itu mengalami penolakan. Justru di situlah titik dimana kamu akan terus-menerus menekan perasaan itu tapi malah memberikan efek negatif di kemudian hari karena kamu membiarkannya menumpuk. Kamu merasa dihakimi untuk sebuah hal yang kamu anggap benar. Kamu merasa tidak lagi aman menceritakan apa yang sebenarnya kamu alami karena hal itu. Dan faktanya itulah yang terjadi di dunia ini. Tidak banyak orang yang dapat meletakkan kakinya di sepatu orang yang mengalami kejadian tidak mengenakkan. Dan mereka terlalu berfokus pada diri sendiri lalu memaksakan pendapatnya.

Karena sering bertemu orang yang demikian, aku jadi mulai mengabaikan kelakuan mereka. Karena kembali pada paragraf awal, mungkin mereka tidak terlalu tahu? Atau mungkin mereka belum tahu rasanya? Atau mungkin mereka belum teredukasi untuk memvalidasi perasaan orang lain? Yang bisa kulakuan hanyalah mencoba mengerti sudut pandang mereka dan kemudian tidak menghiraukannya. Namun hal tersebut, jujur saja, malah menambah rasa kesal. Dan yang bisa kulakukan hanya memvalidasi perasaan kesal itu secara personal, dari dalam diriku sendiri.

Mungkin kalau lebih banyak orang mulai mencoba untuk meletakkan kaki mereka di tempat orang lain berdiri, dunia akan lebih aman? Mengapa demikian? Karena tidak semua orang berdiri di ketinggian yang sama atau di tempat yang sama. Ada sebagian orang yang dibesarkan di keluarga yang mapan, memiliki reputasi, dan hidup tenang sehingga membuat mereka memiliki etos kerja dan pemikiran yang lebih cenderung patuh terhadap sistem yang ada. Ada sebagian orang yang sedari kecil berdiri untuk dirinya sendiri dan mengalami berbagai macam ketidakadilan. Ada sebagian orang yang hidupnya bahkan tidak beruntung.

Memiliki pendapat yang berseberangan bukanlah sebuah hal yang buruk. Namun yang perlu digarisbawahi adalah sampai kapan kita akan memaksakan pendapat kita pada orang lain? Sesungguhnya aku tumbuh dengan memaksakan pendapatku sehingga aku harus menghadapi berbagai macam konflik. Dari situlah aku mengerti bahwa pendapat tidak bisa dipaksakan. Bahwa kita juga harus berusaha untuk mencoba melihat perspektif orang lain sehingga dia mengambil keputusan tertentu. Dan menguliahi teman tidak selalu menjadi sebuah dukungan bagi teman tersebut. Kadang teman kita bahkan sudah memiliki solusi atas permasalahannya, yang kita perlu lakukan hanyalah memberikan mereka validasi dan tempat aman bagi mereka untuk bersandar. Sesederhana itu.

Comments