Picking Up New Hobbies: Main-main Kamera Analog

Serius dalam dunia fotografi sebelumnya ngga pernah ada di salah satu bucket list hidupku. Apalagi sampai bela-belain beli kamera analog dan belajar film photography. Dari dulu aku cenderung tim digital dan point and shoot, yang kalau ambil foto yang penting bagus tanpa harus setting lighting atau aperture kamera. Bahkan dulu pernah diajarin DSLR juga ngga pernah masuk ke dalam jiwa. Tapi memang manusia itu sifatnya dinamis, hal yang tidak disuka bisa berubah menjadi hal yang disuka, begitupun sebaliknya. Dan untuk itulah 2023 ini aku ingin bercerita bahwa aku mulai belajar fotografi dan serius di situ karena ternyata aku suka ngefoto pakai film.

Soal kamera analog ini sebetulnya aku sudah dengar sejak aku kuliah di Inggris dulu tapi ngga paham artinya apa. Waktu itu teman satu flatku yang kuliah di jurusan desain, Mas Adjuy bilang kalau dia punya kamera analog. Tapi perbincangan waktu itu berhenti sampai situ saja tanpa beliau menjelaskan apa sih kamera analog itu maksudnya.

Kamera analog ini mencuat lagi setelah salah satu temanku memperkenalkannya padaku. Intinya anak ini bilang kalau mau beli kamera dan kamera itu ditunjukkannya padaku. Pas aku lihat kok berbeda dengan kamera digital yang ada di bayanganku. Ternyata itu adalah kamera analog, yaitu kamera lawas yang mengambil gambarnya pakai film. Di situ aku baru memahami kalau kamera analog ya kamera zaman sebelum kamera digital diluncurkan. Tapi aku masih susah untuk memahami apa asyiknya kembali ke kamera pakai film yang hasilnya gak bisa dilihat, sementara sekarang kan sudah serba digital?

Keingintahuanku kepada kamera analog makin ter-trigger oleh hal lain yaitu gebetanku. Iyaa, gebetanku ternyata main film photography. Dan sebagai salah satu cara untuk PDKT atas saran temanku, aku harusnya juga mulai mencari tahu apa itu analogue photography. Ya sudah deh, aku tanya-tanya soal kamera analog pada gebetanku ini. Mulai dari pertanyaan bodoh: apakah kamera analog itu yang disebut dengan tustel? Lalu bagaimana proses mengubah hasil film ke digitalnya. Waktu itu aku senang karena ternyata gebetanku menjelaskan hobinya dengan sangat baik. Kayak keliatan banget dia sangat passionate di bidang itu. Dia sampai ngirimin aku beberapa video biar aku kebayang prosesnya seperti apa. Itu adalah salah satu memori terbaik 2022 sebelum aku tahu bahwa aku ditolak sama dia.

Ternyata eh ternyata... meskipun aku ngga lanjut jadian sama orang ini, aku malah pick up hobinya dia. Iya, aku jadi terjerumus ke hobi baru main kamera analog.

Awalnya aku ngga tertarik sama sekali main di analogue photography ini karena menurutku ribet serta menyusahkan. Belum lagi sekarang harga roll makin mahal. Belum lagi harus keluar ongkos untuk developnya. Those were nuisance, I thought. Hingga akhirnya pas aku iseng-iseng nyari isi film polaroid di sebuah toko kamera langgananku, lagi ada diskon bundling kamera analog plastik dengan rollnya. Pokoknya kalau ditotal masih di bawah 500ribu. What? Ada kamera di bawah 500 ribu? Tanpa ba bi bu, langsung deh aku check out.

Pas kamera itu datang, jujur aku jadi excited. Excited dengan hal baru yang sebelumnya aku tolak mentah-mentah. Excited dengan gimana sih hasilnya kalau main-main kamera analog?

Kamera analog pertamaku adalah Kodak M35, kamera ini memang kayaknya kamera entry level buat pemula yang coba-coba main analog. Lensanya fix dengan aperture f 1/8. Sifatnya juga point and shoot, point and shoot ini maksudnya tinggal cekrek aja sana-sini. Nggak perlu pusing ngatur lighting, focus, dan aperture. Kameranya juga ringan, agak ringkih jujur. Pas kamera itu datang rasanya aku kayak beli kamera mainan. Isinya ngga ada apa-apanya karena memang bagian belakangnya adalah film chamber alias kamar film dan harusnya diisi dengan film. Terus dia bisa digunakan sebagaimana mestinya. Dia menggunakan baterai AA hanya untuk flashnya. Intinya ini kamera yang seperti mainan tapi kamera serius sih.

Aku sempat menonton beberapa review Kodak M35 di kanal-kanal fotografi, pas aku lihat hasilnya ngga terlalu buruk. Jadi okelah mari kita coba. Percobaan pertama dengan roll pertama Kodak Gold adalah ke Kebun Raya Bogor. Waktu itu pas juga aku memang sengaja ngajak Embun buat nyobain si kamera analog mainan ini. Intinya 36 frame dalam 1 roll Kodak Gold kuhabiskan hari itu juga. Begitu sudah habis, karena sudah dijelaskan oleh si gebetan (#thankyouFikar) aku langsung mencoba untuk order develop scan film. 

Jadi, buat kamu yang mencari info terkait gimana sih cara mengubah film negative ke gambar yang diupload ke instagram?

Ada proses bernama develop scan film. Yang pertama, film yang kamu kirim akan di-develop dulu dengan cairan kimia persis seperti cara develop film untuk kita cetak zaman dulu. Kalau dulu istilahnya cuci cetak, kalau sekarang cuci scan. 

Terus apakah itu nanti hasil cucinya langsung dicetak di kertas foto dan di-scan?

Not necessarily, biasanya negatif film yang sudah di-develop pakai cairan itu nantinya akan discan menggunakan mesin scan. Kalau dari keterangan gebetan, mesin scan ini mahal dan memang ga semua tempat punya. Jadi nanti prosesnya tuh film kamu kayak langsung dimasukin mesin scan tanpa harus cetak ke media kertas foto. Hasilnya nanti masuk komputer dan di situlah kamu dapat file digitalnya.

Anyway, dari percobaan pertama pakai Kodak M35 dengan film Kodak Gold ternyata hasil fotoku bagus-bagus (menurutku sendiri). Dan pas tahu hasilnya bagus-bagus, akhirnya aku jadi puas dan mulai kecanduan hunting foto pakai kamera analog. Total hingga saat ini aku sudah habis 4 roll untuk kamera Kodak M35-ku: Kodak Gold, Kodak Vision 3 250T, Ilford Kentmere 400, dan Kodak Vision 3 50D. Ngga semua hasilnya turned out to be good, tapi untuk seorang newbie di dunia per-analog-an aku cukup puas. Khususnya pas aku pakai film b/w Kentmere. Kayaknya ke depannya aku akan lebih banyakin foto pakai film b/w deh hahaha.


Setelah cukup puas main-main kamera mainan dan merasa harus stepping up my game dan juga akibat hasutan temanku yang main analog juga, akhirnya aku mulai beli kamera analog yang serius. Kamera analog serius yang kubeli ini adalah Yashica FX3 Super-2000. Yashica ini tipe ini merupakan kamera SLR (single lens reflect) ya cara pakainya mirip DSLR cuma dia ngga digital aja. Jadi pas pakai kamera ini harus bisa setting apperture sama shutter speed. Lho kok cuma dua itu? Iyaa karena ISO/ASA sudah fix disesuaikan sama film.

Sebetulnya ada sih cara untuk ngatur ISO juga, namanya push/pull. Jadi misal ISO/ASA filmnya 100 tapi mau diset ke ISO 200 di kamera juga bisa, hal ini namanya pull. Tapi kalau aku biasanya ISO kamera aku fix-kan sesuai dengan ISO film dan baru set apperture dan shutter speed aja. Jujur belajar tiga hal ini baru aku seriusin sekarang dan baru ngeh enak belajarnya gimana. Belajarnya ya sambil praktik. Dulu kan karena ngga punya kamera DSLR jadi ngga ngeh. Mau diajarin berkali-kali pun, lebih suka pake mode automatic daripada setting-setting gitu.

Awal-awal pakai Yashica ini aku juga pakai contekan aplikasi namanya LGHTMTR di HP. Tapi ternyata setelah pakai 1 roll kok hasilnya kurang memuaskan. Mau ngga mau, suka ngga suka akhirnya belajar manual lewat kanal Youtube. Berkat  belajar fitur lightmeter yang sudah ada di kamera, akhirnya sekarang mulai belajar lepas dari app LGHTMTR tersebut dan belajar ngatur apperture dan shutter speed manual based on kamera aja.

Challenge pas pakai Yashica ini adalah karena aku ngga punya basic fotografi dan ngga pernah pegang DSLR sebelumnya, jadinya masih belum bisa firm grip untuk pengambilan gambar dengan shutter speed rendah. Hasil gambarnya masih jadi blur semua. Yang kedua adalah belajar fokus. Entah karena akunya yang rabun atau gimana, ternyata masih ada banyak foto yang hasilnya ngga fokus. Kembali lagi, karena semua harus di-setting manual, ngga point and shoot kayak Kodak M35 itu. Memang harus banyak belajar lagi, terutama di lighting dan komposisi. Tapi nggak papa, justru di situ serunya kan?

Nah, sementara kalau buat Kodak M35 sendiri yang aku gak terlalu suka adalah hasil develop filmnya yang cenderung ke warna ijo. Entah karena akunya nggak pinter cari light atau karena kameranya, yang jelas ketika aku pakai film color itu masih ada banyak warna ijonya. Ya gitu lah kurang lebih.

Hobi baru analogue photography ini seru banget. Serunya adalah karena kita cuma bisa ngandelin imajinasi dan kemampuan komposisi serta lighting. Kita ngga pernah tahu hasil foto akan seperti apa sampai kita develop film tersebut. Dan menariknya, ada banyak jenis roll film dengan style gambar yang berbeda-beda. Jadi kita bisa eksperimen banyak hal menggunakan jenis film yang berbeda itu. Tambahan lagi, karena dia sistemnya manual dia ngga perlu baterai kecuali buat nyalain flash. Mau dibawa-bawa jalan-jalan ngga khawatir harus keabisan baterai di tengah jalan. Minusnya, karena film dan kamera ini sensitif cahaya jadi harus agak hati-hati dan minta diperiksa manual kalau lagi pergi lewat bandara. 

Buat kalian yang baru nyemplung ke dunia analogue photography, selamat ya! Selamat seru-seruan dan eksperimen dengan banyak hal. Buat yang sudah lama main analog, mungkin bisa kasih aku lebih banyak saran dan rekomendasi biar makin jago ke depannya.

Analogue photography is cool, film is not dead, stay broke shoot film hahahaha. Bener deh, akan tetap miskin karena harus beli roll film mulu.





Comments