Jalan-jalan Libur Lebaran di Thailand (Part 2)


Di setiap cerita traveling, tidak pernah absen cerita bodoh. Begitu juga dengan cerita jalan-jalan ke Thailand kali ini, meskipun sebetulnya yang mengalami kebodohan adalah adikku sebagai pengalaman pertamanya berpergian ke luar negeri. Adapun ceritanya bisa dibaca di postingan yang ini, dimulai dari persiapan pertama berpergian ke Thailand hingga cerita di hari pertama. Nah, di postingan yang kalian baca saat ini merupakan kisah lanjutan di hari kedua dan ketiga selama liburan ke Bangkok kemarin.

DAY 2: Museum Visits, Got Lost, and Meeting a Kind Person

Ketika kukira di hari ke-2 kesialan sudah mulai berkurang karena aku merasa aku sudah mempersiapkan rute jalan dengan baik, rupanya aku salah. I’ve always wrong in every aspects of my life. Pagi hari itu kami berangkat agak siang, sejujurnya selama di Thailand aku dan adikku berangkat agak lebih siang karena dia membutuhkan waktu sangat lama untuk make up dan catokan rambut. Ribet lah pokoknya dia. Aku bilang juga ke dia bahwa kita akan mencari sarapan hari itu sehingga kami ngga jajan banyak di 7-11 sebelah hotel. Kami mulai jalan mencari sarapan (lebih tepatnya disebut sebagai brunch) pukul setengah 11 siang. Sudah lebih dekat dengan waktu makan siang. Tempat sarapannya cukup dekat dari hotel, cukup jalan kaki 12 menit saja. Kami sarapan di Go-Ang Chicken Rice Pratunam. Aku menemukan tempat itu berdasarkan keyword “Breakfast in Pratunam” secara random. Ternyata eh ternyata, Go-Ang Rice Chicken juga merupakan salah satu restoran Michelin Star. Dan yes, hari kedua kami random makan di restoran Michelin Star di Bangkok lagi.

Kami mengawali hari dengan tidak kesasar. Karena jalan menuju Go-Ang Chicken Rice ini tinggal lurus lalu belok kiri sedikit setelah ketemu perempatan besar Platinum Mal. Kalau sampe kesasar kok ya kebangetan aku ini. Kami lalu sampai di Go-Ang Chicken Rice yang specialty-nya memang nasi ayam hainan. Meskipun jualan nasi ayam, Go-Ang ini menyediakan menu non-halal juga. Jadi buat temen-temen yang memang concern terhadap halal label ya lebih baik ngga berkunjung ke restoran Michelin Star ini. Di Google maps, terdapat foto bahwa orang-orang rela antre berat untuk makan di sini. Dengan ekspektasi bahwa aku akan antre sebetulnya aku sudah menyiapkan kesabaran ekstra. Eh ternyata pas aku dan adikku sampai, tidak ada antrean malah kita langsung diminta masuk dan duduk oleh aunty-aunty waitress. 

Ngga lama, kami duduk dan langsung aku putuskan untuk memesan Hainan Chicken Rice dengan Thai Tea dua porsi. Masing-masing satu untuk aku dan adikku. Hainan chicken rice-nya enak, kaldunya kental rasa ayam dan super gurih, begitu juga nasinya. Ayamnya juga super lembut dan juicy. Enak banget pokoknya. Lebih enak lagi kalau dimakan dengan saus yang secara tampilan mirip dengan petis Jawa Timur tapi secara rasa mirip dengan sambal kecap. Awalnya karena kukira rasanya akan seperti petis, aku tidak berani mencoba makan dengan sausnya. Begitu icip di awal ternyata rasanya seperti sambal kecap dan makin menambah kenikmatan nasi ayamnya, jadinya aku makan sekalian dengan sausnya. Sepertinya memang enhancer rasa enak dari nasi ayam ini adalah sausnya.

Sayangnya adikku tidak terlalu suka nasi aromatik, sama seperti nasi uduk yang tidak dia suka. Adikku tidak terlalu suka dengan Hainan chicken rice ini. Tapi buatku pribadi, tempat ini pantas mendapatkan Michelin Star karena servisnya sat set wat wet dan rasanya juga enak, meskipun ngga yang uenak pol. Berbeda dengan Kor Panit yang memang uwenak puol!


Sudah kenyang, aku dan adikku menuju ke destinasi selanjutnya dan yang utama di hari kedua yaitu Museum of Contemporary Art (MOCA) Bangkok. Nah di sinilah cerita serunya dimulai.

Kebetulan dari Go-Ang Chicken Rice ada jalur menuju MOCA, naik boat. Ekspektasi awalku adalah naik kapal feri seperti yang kulakukan di hari pertama dari kompleks candi ke ICON SIAM. Rupanya yang akan kami tumpangi adalah boat etek-etek alias boat kecil yang mengarungi sungai kecil di Bangkok. Harganya murah sih, cuma 14 THB. Cuma di situ aku berpikir bahwa Bangkok ini memang menggunakan segala macam jenis transportasi. Bahkan sungai yang di Jakarta dibiarin begitu saja, di Bangkok tuh dijadikan sebagai salah satu vessel  transportasi dengan boat etek-etek ini. Dari pelabuhan kali Pratunam, tujuan kami adalah turun di pelabuhan kali Asok. Eh si driver dan petugas boat etek-etek ini agak kurang ajar, tujuan utama kami dilewatkan satu pelabuhan. Kami perlu turun di pelabuhan selanjutnya dan berjalan putar balik hingga menuju ke stasiun MRT dekat pelabuhan kali Asok (Asok Pier).

Heartwarming story dari “musibah” itu adalah kami bertemu dengan warga lokal yang baik. Yang pertama, salah satu penumpang randomly memberikan kami uang koin receh waktu kami menghitung uang koin untuk dibayarkan sebagai bentuk pembelian tiket naik kapal. Yang kedua, ada salah satu penumpang yang juga protes dan marah-marah karena ngga diturunkan di Asok. Aku random juga mengajak warlok ini bicara “Wah ini petugasnya ngga bener ya Bu, kita diturunkan kelebihan satu pelabuhan. Kan harusnya kita turun sebelum ini.” Dia juga marah-marah lalu bertanya padaku mau kemana? Aku bilang mau ke Stasiun MRT. Dengan baik hati dia memberitahukan arah stasiun MRT. Setelah berpamitan, aku pergi meninggalkan dia. 

Rupanya si Ibu dan suaminya berjalan di belakangku dan berakhir kami akhirnya berjalan bareng sampai Stasiun MRT. Di situ Ibunya bertanya lagi: “Tujuan kamu kemana, Dek?” Aku bilang mau pergi ke Bang Sue. Si Ibu bilang “Stay here, we’re going together.” Beliau dengan sukarela mau menemani aku dan adikku sampai Bang Sue. Awalnya aku sempat curiga apakah aku akan di-scam sama Ibu ini? Seperti biasa, kita harus berasumsi bahwa ngga semua orang baik. Tapi setelah berjalan bersama si Ibu dan ngobrol, beliau ternyata memang orang baik.

Ibu itu bercerita kalau dia tinggal di kota satelit Bangkok (seperti Kabupaten sekitar Bangkok), suaminya bekerja di Bang Sue dan mereka meninggalkan mobilnya di Bang Sue. Sementara untuk berkeliling Bangkok, dia memilih untuk menggunakan public transport aja. Dia juga masih misuh-misuh soal diturunkan di pelabuhan yang salah sebelumnya. Dia mengeluh kalau di Kabupaten dia, dia bisa mengendarai mobil kemana-mana jadi lebih mudah. Sementara di Bangkok semuanya mahal dan macet dimana-mana, makanya dia pakai public transport terus. Intinya dia banyak cerita soal kehidupannya dan juga suaminya. Kalau dipikir-pikir, lucu juga ya setiap traveling aku selalu ketemu orang baik yang randomly ngebantuin dan cerita soal kehidupan mereka.

Si Ibu yang tadi mengeluh capek, begitu masuk MRT langsung mencari tempat duduk. Sementara aku dan adikku memilih untuk berdiri aja. Kalau dipikir-pikir selama di Bangkok aku dan adikku memang jarang dapat tempat duduk jika naik MRT yang melintasi kota. 

Begitu sampai di Bang Sue, aku dan Ibu itu akhirnya berpisah jalan. Kami sempat berpamitan dan bersalaman dengan hangat. Beliau dan suaminya bilang untuk have fun and enjoy Bangkok which I surely will. Setelah berpisah dengan Ibu tadi, barulah aku mengalami krisis selanjutnya yaitu mencari kereta yang benar untuk ditumpangi. Di Bang Sue, lagi-lagi aku dan adikku hampir tersesat dan lagi-lagi adikku jadi bete karena kemampuan navigasiku yang payah. Kami sempat keluar dari stasiun MRT Bang Sue menuju ke Bang Sue Grand Central untuk naik kereta selanjutnya yaitu Green Line. Tapi pas sudah keluar dan menerjang panas, aku jadi semakin tidak yakin kalau kereta Green Line ada di Bang Sue Grand Station. Akhirnya aku dan adikku kembali ke stasiun MRT lalu melihat tanda panah ke arah stasiun SRT Red Line.

Krisis ini disebabkan oleh informasi yang salah dari Google Maps yang mengarahkan kami untuk ambil Green Line di Bang Sue, padahal di Bang Sue hanya ada SRT Red Line. Kesel banget!

Tapi setelah menemukan kembali arah yang benar, kami bisa naik SRT Line. Awal naik SRT Line, aku ragu bahwa kartu Jenius akan bisa digunakan. Untuk amannya akhirnya aku tetap membeli token seperti biasa. Dari Bang Sue, kami menuju perhentian Bang Khen. Kalau ngga salah itu hanya 2-3 stasiun dari Bang Sue. Dan dari stasiun Bang Khen kami cukup berjalan 4 menit. Sebelum masuk ke cerita di Museum of Contemporary Art (MOCA) ada baiknya kalau aku sajikan tabel dulu terkait pembayaran dan penggunaan Jenius visa debit contactless untuk moda transportasi di Thailand pada tabel berikut ini:

Moda Transportasi Support Jenius Visa Debit Contactless Metode Pembayaran
Kereta Bandara (ARL) No Token dengan pembayaran tunai 20, 50, 100 THB
MRT Yes Token dengan pembayaran tunai 20, 50, 100 THB, Visa Debit Contactless
SRT Yes Token dengan pembayaran tunai 20, 50, 100 THB, Visa Debit Contactless
BTS No Kartu dengan pembayaran tunai 20, 50, 100 THB, Pembelian di counter tiket min 300 THB untuk pembayaran dengan kartu
Grab Yes Direct Debit Card Payment (credit/debit)

Setelah turun dari stasiun, kalau sampai salah jalan sih kebangetan ya. Dari stasiun tinggal jalan lurus dikit banget lalu nyampe ke MOCA. Di situ kali pertama aku merasa kalau perjalanan ke MOCA ini serasa jauh banget. Mungkin karena kami kesasar di Bang Sue Grand Central Station dengan panas Bangkok yang aduhai.

Begitu masuk ke MOCA, kami bisa membeli tiket langsung (OTS) dengan harga 280 THB untuk adult dan 120 THB untuk Student. Karena adikku student dan bisa dapat harga lebih murah, aku bertanya pada petugas apakah student card Indonesia bisa digunakan? Dia bilang bisa, jadi aku memanfaatkan harga student tersebut untuk adikku. Total tiket untuk MOCA adalah 400 THB. Sebelum masuk, kami harus menitipkan tas backpack meskipun sebetulnya boleh bawa kamera. Yang membuatku rada bingung adalah aku ngga boleh membawa Bang, iya si boneka denimalz itu meskipun backpack sudah aku titipkan.

MOCA ini terdiri dari 4 lantai, di awal pembelian tiket kami ditawarkan untuk liat-liat yang exhibition general aja atau ditambah dengan exhibition Jack Stain. Aku dan adikku memutuskan untuk ambil yang general saja daripada harus bayar full 500 THB. Yang mana kami juga ngga se-antusias itu terhadap seni. MOCA ini kurasinya menurutku lebih bagus daripada TATE Modern di London. Di beberapa section bahkan diberikan warna tembok yang berbeda untuk memperkuat hasil karya yang dipajang. MOCA juga memajang lukisan para seniman dalam satu cerita sehingga terasa lebih konsisten dinikmatinya daripada TATE. Tambahan lagi, kalau dibandingkan dengan Museum MACAN, MOCA memiliki space yang lebih besar jadi kami lebih puas. Sayangnya, meskipun dibilang museum kontemporer untuk pameran seni kontemporer yang bukan lukisan justru lebih sedikit daripada yang biasa aku nikmati di TATE. Salah satu section yang menarik dan imersif adalah The Pathway of the Universe dan seksi yang menampilkan topeng dan wayang di seluruh kawasan Asia Tenggara. Di situ kita dapat melihat perbedaan tipis-tipis atau signifikan dari karya seni serupa di kawasan Asia.



Kami menghabiskan waktu cukup lama di MOCA, awalnya aku sudah ada janji untuk lunch dengan Mbak Sipta di kawasan Lumphini. Tepatnya di Polo Fried Chicken. Tapi karena setelah aku cek lagi jaraknya cukup jauh dan ngga sejalan dengan arah selanjutnya, akhirnya aku memutuskan untuk makan siang di kafe MOCA saja. Apalagi Mbak Sipta juga ternyata sibuk dengan temannya yang lain. Ya sudah, aku dan adikku pesan pasta dan salmon donburi. Yang patut dicurigai dari pesanan kami saat itu adalah si creamy mushroom pastanya. Kayaknya topping dagingnya bukan daging sapi. Aku mencobanya sepotong dan yang kurasakan bukan rasa familiar (ayam atau sapi). Akhirnya adikku memilih untuk meminggirkan toppingnya dan tidak memakannya. Sementara yang aku pesan aman, ya apa sih yang ngga aman dari Salmon donburi kan?


Total makan siang kami waktu itu adalah Rp 300 ribu, udah termasuk dua minuman. Bonusnya kami bisa santai sambil nge-charge HP yang baterainya sudah cukup mengkhawatirkan.

Setelah selesai mengecharge HP dan mengenyangkan diri, kami akhirnya cabut ke tujuan selanjutnya yaitu Bang Sue Junction dan Chatuchak Weekend Market. Di sini adikku bertanya “Ini hari apa?” Lalu kujawab “Rabu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Kan ini bukan weekend, memangnya Chatuchak akan buka?” Agista yang naif, mengira Chatuchak Weekend Market hanyalah nama. Tapi memang benar nama itu ada karena sebuah alasan ya Chatuchak Weekend Market bukanya pas akhir pekan doang, tentu saja pas weekdays ngga buka.

Kami naik SRT lalu ganti MRT ke Kampaeng Phet. Dari Kampaeng Phet, Chatuchak Market tinggal jalan kaki dan benar saja eng ing eng memang tutup. Untung saja destinasi selanjutnya yaitu Bang Sue Junction tinggal menyeberang jembatan penyeberangan. Bang Sue Junction ini merupakan sebuah mal yang diperuntukkan untuk thrifting. Aku mendapatkan rekomendasi dari salah seorang teman Mas Bud yang juga suami Mbak Sipta. Setelah muter-muter Bang Sue Junction, aku masih belum mendapatkan item yang aku inginkan: bawahan warna pink untuk dipakai di konser Taeyeon nanti. Adikku sudah lapar mata segala macam tapi kami berakhir dengan belanjaan nihil alias ngga beli apa-apa karena kalau ngitung-ngitung lagi saat thrifting di hari itu lebih baik sekalian beli baju baru.

Bang Sue Junction ini cocok buat teman-teman yang memang memiliki selera fashion niche. Bahkan ada satu toko khusus yang juala baju-baju sequin maupun hype-beast dengan harga miring. Hanya saja karena aku ngga terlalu peduli dengan style semacam itu ya sudah aku lewati saja. Yang unik, di berbagai stall di Bang Sue Junction sempat jualan merch Slam Dunk yang kalau aku ngga menahan diri bisa kalap. Rupanya kulakan jersey Slam Dunk tuh di sini toh tempatnya.





Lepas muter-muter di Bang Sue dan aku udah capek banget. Sejujurnya aku ngga berbakat dengan wisata belanja karena memang ngga terlalu suka muter-muter untuk belanja. Aku adalah tipe orang yang straightforward soal urusan belanja. Kalau suka suatu barang di suatu tempat, ngga akan ngebandingin dengan tempat lain. Sementara adikku adalah kebalikanku, kalau disuruh jalan untuk belanja dia melakukannya dengan senang hati. Ketika adikku muter-muter window shopping, aku memilih untuk duduk. Setelah mendapatkan cukup energi, barulah aku mengajak dia ke tujuan selanjutnya yaitu Jodd Fairs. Untuk makan lagi.

Dari Kampaeng Phet kami cukup naik satu MRT ke Rama 9. Kebetulan kami ke Jodd Fairs yang memang isinya cuma makanan. Konon kata Mbak Sipta, Jodd Fairs ada dua yang satunya ada attractionnya persis banget sama pasar malam yang pernah ada di ingatanku. Hari itu sebetulnya cuacanya ngga cukup baik. Sejak kami mulai jalan dari Chatuchak sudah mulai gerimis tipis, begitu sampai di Rama 9 juga gerimis tipis. Rupanya cuaca makin ngga mendukung dan memang hujan cukup deras. Mana aku pakai sepatu putih! Kesel banget (2).

Ajaibnya, perkiraan cuaca iphone di Bangkok cukup akurat. Pas aku cek, jam 8 malam hujanya diperkirakan mereda. Dan beneran dong jam 8 malam sudah kembali gerimis tipis lalu reda! Ajaib banget! Kukira perkiraan cuaca di Asia Tenggara akan sama buruknya dengan perkiraan cuaca di Jakarta. Tapi ternyata perkiraan cuaca ngga cocok sama kenyataan itu cuma terjadi di Indonesia.



Di Jodd Fairs aku dan adikku randomly menemukan restoran halal. Di dalam benakku, biasanya restoran halal di luar negeri itu rasanya ngga se-enak yang non-halal. Tapi di tempat halal ini ternyata makanannya ngga jauh berbeda dengan yang non-halal alias sama-sama enak! Kurang Thailand banget kalau ngga pesan pad thai. Jadi di malam kedua itu, aku memesan pad thai untuk adikku sekaligus dia makan mango sticky rice (2) lagi yang dibeli juga di Jodd Fairs. Kami sharing si pad thai dan chicken wings. Pad thai yang kami makan berisikan udang yang ukurannya gede banget. Se-gede udang yang disajikan di AYCE dinner cruise di malam pertama. Terus pad thainya memang se-enak itu. Padahal kami tuh makan suka random aja nemu yang kebetulan pengen dimampir-in.

Satu hal yang aku ngga puas dari Jodd Fairs, yaitu gagal menemukan mango sticky rice Khanom Krok. Padahal itu aku dan adikku sudah betul-betul muterin Jodd Fairs sampai bagian belakang. Oh iya stall makanan halal yang kami hampiri di Jodd Fairs Rama 9 itu terletak di bagian belakang. Ditambah lagi dengan hujan, jadinya kami ngga lama-lama di Jodd Fairs. Kami sempat berteduh, lalu adikku beli mango sticky rice lagi untuk dimakan di hotel.

Sungguh adikku ini memang penggemar berat mangga.

By The Way, kalau melihat rekomendasi Google dan juga Vlog Ria SW salah satu makanan andalan di Jodd Fairs ini adalah Leng Saap. Hanya saja dia bukan makanan halal alias dagingnya daging babi. Iya, dia daging babi yang disajikan sebagai steak yang ditumpuk jadi gunung. Ukuran makanannya aja guede banget. Untung dia tidak halal jadi aku ngga nyobain. Pun kalau dia halal juga sepertinya ngga akan nyobain karena aku ngga mungkin ngabisin semuanya sendirian, adikku tuh makannya dikit banget.

Conclusion

Di hari ke-2, meskipun masih tetap ada kejadian kesasar dan kejadian lain yang remeh temeh yang sempet bikin aku marahin adikku dan dia juga jadi bete, kami tetap menghabiskan sebagian besar hari dengan ketawa-ketawa receh. Belum lagi kelakuan adikku yang fans berat mango sticky rice sampai beli dua kali di Jodd Fairs. Sejujurnya, dari dua mango sticky rice yang dicoba di jodd Fairs memang ngga ada yang ngalahin mango sticky rice-nya Kor Panit. Ya pantes aja dia Michelin Star gitu.

Day 2 ends in a good way too, perjalanan hari ke-2 terbilang lancar jaya tanpa hambatan meskipun cuaca kurang mendukung. Highlight dari perjalanan hari ke-2 adalah MOCA dan Jodd  Fairs. Kalau ngga karena dua tempat itu, mungkin hari ke-2 akan terasa gagal.

See you in the next post! Cheers!


Comments