Resensi Buku: The Intelligence Trap

Have you ever wondered on how intelligence person can be deceived by conspiration theory? Or even joining mind-blowing cult?

Waktu nonton dokumenter Netflix In the Name of God: Holy Betrayal dan juga menemukan sejumlah kasus para intelektual malah terjebak di kultus maupun teori konspirasi, rasanya aku sulit memahami kenapa orang cerdas justru malah bisa tertipu? Ngga hanya dari contoh ekstrem tersebut, biasanya orang-orang yang cerdas juga malah jadi korban penipuan terkait keuangan. Ternyata jawaban dari semua keanehan tersebut dijelaskan dalam buku yang ditulis oleh David Robson ini.

David Robson dalam bukunya berargumen bahwa kecerdasan itu dapat menjadi jebakan, jebakan manusia untuk bersikap irasional seperti beberapa contoh di atas. Dalam argumennya, David Robson mengaitkannya dengan beberapa Behavioural Bias seperti Survivorship Bias, Overconfidence, ataupun Ostrich Effect. Hal ini senada dengan ilmu perilaku yang memang kupelajari bahwa ngga peduli seberapa cerdas seseorang atau seberapa tinggi IQ seseorang, manusia itu ngga lepas dari yang namanya bias. Kalau di Ilmu Perilaku salah satu faktornya adalah keterbatasan kemampuan kognitif seseorang sehingga mereka lebih suka memilih jalan pintas dengan cara memilih opsi yang sudah biasa mereka lakukan atau hanya mau percaya terhadap apa yang sudah mereka percaya.

Lalu apa solusi-solusi yang diberikan oleh David Robson di dalam buku setebal 263 halaman ini?

Pada umumnya David Robson meng-highlight bahwa untuk tidak terjerumus jebakan intelegensia, seseorang harus memiliki growth mindset dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Seseorang tidak boleh begitu saja berpuas diri terhadap pencapaian atau pengetahuan yang dimilikinya saat ini. Rasa skeptis juga penting karena perasaan tersebut justru akan memicu rasa ingin tahu sehingga akan terus mempertanyakan dan mencari tahu jawaban di luar kemampuan yang kita miliki saat ini.

Di buku ini juga, David Robson berargumen bahwa pola pendidikan ala Asia Timur terbukti efektif untuk melindungi individu dari jebakan intelegensia. Khususnya pada pola edukasi Jepang. Di dalam The Intelligence Trap dijelaskan bahwa di Jepang para siswa diharapkan untuk refleksi diri dari kesalahan yang mereka perbuat. Setiap pelajaran baru akan dimulai, pengajar akan memberikan pre-test dengan tujuan bukan untuk mengukur kemampuan siswa tapi untuk membiarkan siswa menjadi creative problem solver. Di dalam setiap pre-test, siswa memang tidak diharapkan untuk dapat memberikan jawaban yang sempurna dan di saat itulah pengajar memberikan ilmu untuk mengajarkan problem solving yang sesuai dengan bahan ajar. Namun, tidak jarang juga pada kegiatan pre-test ini para siswa justru menemukan cara-cara non-tradisional dalam menyelesaikan soal sehingga cara ini dianggap efektif untuk menstimulasi kreatifitas manusia dalam memecahkan sebuah masalah.

Bagi saya selaku individu yang tumbuh dengan metode belajar Asia dan merasa bahwa selama ini metode pembelajaran Asia salah, justru dengan membaca buku ini saya tahu bahwa metode pembelajaran Asia malah dianggap efektif oleh Westerners. David Robson justru menilai pembelajaran metode Barat yang menitikberatkan pada freedom of speech malah membuka bias semakin besar karena dianggap kurang memiliki kehati-hatian dan ketelitian dalam problem solving.

Di sini poin bahwa untuk menyeimbangkan segala sesuatu telah terbukti. Ada beberapa hal yang perlu kita ambil dari metode pengajaran ala Asia Timur dan juga ala Barat. Metode pembelajaran Asia Timur untuk membuat kita tetap bertanggung jawab dan hati-hati dalam mengambil keputusan, sementara metode pengajaran ala Barat akan membiasakan individu untuk berpikir kritis, berpendapat, dan juga meningkatkan rasa keingintahuan.

Kalau selama ini kita menganggap bahwa kunci kesuksesan seseorang adalah intelegensinya, setelah membaca buku ini kita akan mempertanyakan hal tersebut dua kali. Individu dengan intelegensi tinggi tidak selamanya akan sukses seperti yang diprediksikan. Karena di dalam buku The Intelligence Trap, David Robson juga membawa bukti-bukti bahwa pemenang Nobel dapat menjadi agen hoaks, anak-anak dengan IQ tinggi malah tumbuh menjadi manusia biasa saja sementara anak-anak dengan IQ lebih rendah justru dapat menjadi prominent figure karena kerja keras mereka.

Untuk menjadi sukses atau menjadi manusia yang madani rupanya ada banyak faktor pendukung: growth mindset dan rasa ingin tahu yang tinggi lalu diimbangi juga dengan ketekunan, kerja keras, dan kecerdasan emotional. Yang menjadi penjebak orang-orang cerdas selain kognitif bias adalah mereka berhenti untuk belajar dan berhenti mendengarkan orang lain karena mereka merasa yang paling tahu. Contoh dari kasus-kasus ini dijelaskan David Robson dengan mengambil kisah Sir Arthur Conan Doyle dan juga Einstein dalam bukunya.

Jadi, apakah saya merekomendasikan buku ini?

Sebagai buku yang random saya beli karena baca sinopsisnya, buku ini cukup oke untuk membuat kita ngerem ke-sok tahu-an kita ataupun rasa puas diri kita ketika berhadapan dengan ilmu pengetahuan. Seperti yang dibicarakan dalam hadits-hadits, ilmu yang ada di dunia itu hanyalah satu tetes dari samudera ilmu. Sehingga baiknya untuk terus maju dan untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik, kita tidak pernah lelah atau berhenti untuk mencari ilmu. Selain itu, ada baiknya juga ilmu dimanfaatkan sejalan dengan adab yaitu ngga terlalu mendewakan ilmu pengetahuan tapi diimbangi dengan kerja keras, mendengarkan orang lain, dan juga kerendahan hati.

Dari segi teknis, buku ini lebih faktual daripada buku serupa yang saya baca karena David Robson memang menyadur dari banyak referensi ilmiah. Meskipun dari segi penuturan, buku ini kurang lebih sama seperti buku-buku khas penulis Barat yang lain yaitu lebih menitikberatkan pada narasi dan analogi agar lebih mudah dipahami pembaca. Yang justru untuk saya pribadi merasa kurang nyaman membaca terlalu banyak analogi sederhana. Tapi yang jelas di sini David Robson menjelaskan argumennya satu per satu dengan empirical evidence yang dapat dipercaya. Khususnya ketika dia juga menyinggung Ilmu Perilaku yang merupakan salah satu bidang ilmu yang saya tekuni. Referensi ilmiah yang dia sadur sudah tepat dan dia juga memberikan beberapa contoh kasus yang sesuai dengan referensi ilmiah tersebut (kudos to Kahneman and Tversky).

Kesimpulannya, buku ini merupakan salah satu buku non-fiksi yang oke dibaca untuk membantu kita lebih sadar dalam memanfaatkan kecerdasan kita secara optimal. It’s a good heavy read, not a light read.

Comments