Konnichiwa Nippon 2023! (Part 2)

Setelah mencatat perjalanan seru ngga seru dalam konsep Turis Basic, kini postingan Konnichiwa Nippon hadir kembali sebelum ingatan tentang Jepang makin menguap dan makin bikin aku kehilangan momen untuk mengenangnya. Nah, di postingan edisi ke-2 ini aku akan bercerita untuk konsep Wibu. Maklum aku ini anaknya wibu banget (bahkan cenderung freak) makanya kalau ke Jepang ya tujuan utamanya buat nge-wibu. Meskipun hitungan wibunya ngga sampe koleksi action figure, tapi aku tetap kecanduan nge-gacha sampe duit koin yang dikasih Mbayodd dan Maskipa sebelum aku berangkat habis buat nge-gacha. Kayaknya kalau aku tinggal di Jepang beneran tiada hari tanpa nge-gacha deh. Pas aku di Jepang, aku memutuskan stop nge-gacha karena ngga nemu gacha Demon Slayer yang aku pengen juga dan aku udah dapet Gacha Keychain Slam Dunk karakter Mitsui. Jadi aku berjanji pada diri: enough is enough.

Kalau kata temenku memang self-control orang itu berbeda di masing-masing yah. Kalau self-control aku itu adalah dengan mengingat aku udah dapet apa yang aku mau (Mitsui). Cukup soal curhatan ngga penting akibat kecanduan gacha. Nah mari kita bahas konsep liburan wibu Agista pas di Jepang kemarin yang ngga jauh-jauh juga dari gacha sih.

Ghibli Museum

Sebelum akhirnya berhasil ke Ghibli Museum sebetulnya ada drama yang terjadi dalam hal per-tiket-an. Salah satunya adalah aku sebetulnya ngga berhasil beli tiket as a foreigner di website Ghibli Museum. Sebuah tips bagi siapapun yang mau pergi ke Jepang, sangat penting untuk paham bahwa warga Jepang itu paling suka securing tiket minimal 3 bulan sebelum waktu liburan. Dan hal ini berlaku umum, ngga hanya untuk wahana wisata tapi juga untuk hotel. Maka dari itu, sistem ticketing dari Ghibli Museum juga sebetulnya dibuka dari jauh-jauh hari. Pada kasusku, ticketing dibuka 2 bulan sebelum hari H dan itu pake sistem war juga. Sayangnya meskipun aku sudah meletakkan reminder ticketing di kalenderku, saat itu kondisiku kurang oke untuk beli tiket Ghibli Museum. Kalau ngga salah di hari ticketing aku lagi dinas dan lagi sibuk, sehingga aku lupa kalau harus beli tiket Ghibli Museum. Pas sudah ingat, tiket yang dialokasikan khusus bagi para warga negara asing sudah habis terjual di hari kedatanganku di Jepang.

Aku juga sempat meminta tolong temanku yang berada di Jepang untuk membantuku war tiket menggunakan privilege warga lokal. Sayangnya pas dia mencoba beliin aku tiket, lagi-lagi tiketnya sudah habis juga. Akhirnya aku mencoba ikhlas dan melihat apa yang bisa kulakukan nantinya di Jepang kalau ngga ke Ghibli Museum.

Namun beberapa hari setelahnya, temanku mengabariku dan meminta dataku cepat-cepat. Ternyata dia bisa mengamankan satu tiket Ghibli Museum untukku dengan privilege warga lokal tadi. Rupanya kalau misal ada tiket dibatalkan oleh pembeli, maka tiket akan kembali terjual. Dan alhamdulillah aku jadi ke Ghibli Museum!

Drama kedua di dunia per-Ghibli-an ini adalah kesalahanku sendiri. Aku yang sudah berhasil mengamankan tiket sebetulnya sudah cukup terinformasi kalau cara ambil tiketnya adalah dengan menebusnya dalam bentuk tiket fisik di Lawson depan Ghibli Museum di Mitaka. Perjalanan menuju Mitaka-nya lancar, jalur keretanya cukup mudah dari Ueno tempatku menginap. Bahkan ada bus khusus yang disediakan pemerintah setempat bagi orang-orang yang mau pergi ke Ghibli Museum naik angkutan umum di stasiun Mitaka. Dramanya justru muncul karena aku bodoh dan ngga lancar berbahasa Jepang.

Jadi, pas aku sudah sampai di Mitaka aku memang ke Lawson lalu bertanya pada petugas Lawson kebetulan yang shift pagi waktu itu adalah Ba-Chan dan Oji-san. Mereka bilang aku perlu memasukkan nomor handphone untuk mengambil tiket di sebuah mesin tiket. Sudah kulakukan dan sudah kudapatkan print kertas itu. Kukira itu adalah tiket tanpa aku membaca di samping mesin ada peringatan: WARNING! THIS IS NOT YOUR TICKET! Setelah mendapatkan kertas yang kukira tiket itu aku langsung jalan-jalan karena merasa punya banyak waktu sebelum Museum dibuka.

Aku jalan-jalan di perumahan warga Jepang yang rapi-rapi itu. Rumahnya kayak rumah Nobita. Gang-gangnya kayak gang-gang di serial Kamen Rider. Banyak tanda jalan dan kaca cembung yang fotogenik. Lalu aku jalan-jalan juga menghirup udara segar karena tepat di belakang Museum Ghibli ada sebuah taman hijau yang besar dan juga lapangan tenis yang ngga pernah kosong. Di situ warga lokal main tenis, ada yang cuma ngeliatin aja, ada yang jalan-jalan sama peliharaan mereka, ada juga yang sepedaan santai. Pemandangan itu selama ini hanya bisa aku lihat di manga atau anime. Rada surreal pas aku ada di kondisi itu saat itu. Di situ aku merasa bahwa Jepang ini memang Isekai-ku.

Saking immersed-nya dengan kehidupan lokal warga Jepang, aku yang sudah jumawa memegang tiket ini baru kembali ke Museum sekitar 10-5 menit sebelum waktu kedatangan. Pas aku kembali, ternyata sudah ada antrean mengular. Yah, kata orang sini sih memang orang Jepang tuh paling suka antre. Apa-apa budayanya ya ngantre, walhasil ini jadi kebawa di aku pas balik ke Jakarta jadi suka otomatis ngantre. Pas sedang antre itulah aku ditegur oleh petugas Ghibli Museum bahwa kertas yang aku pegang bukan tiket masuk!

Eng ing eng~

Memang ngga pernah ngga ada drama kalau Agista lagi traveling, selalu akan ada drama yang terjadi. Dan drama pertama di Jepang saat itu adalah aku ngga redeem tiket yang benar untuk ke Ghibli Museum. Walhasil, aku harus balik lagi ke Lawson. Sayangnya Ba-chan yang ngebantuin aku ambil tiket di pagi hari tadi sudah berganti ke ba-chan yang lain. Dan Ba-chan yang ini ngga bisa memberitahuku kalau aku harus ambil ulang kertas dan redeem tiket yang benar di kasir (lagi). Untungnya ada kasir yang lebih muda, si mas-mas ini menunjukkanku cara yang benar hingga akhirnya aku bisa redeem tiket yang benar dan bisa masuk Museum Ghibli.

Beruntungnya, pas tahu tiket yang kupegang salah, petugas museum Ghibli dengan baik hati dan ramah memberitahuku bahwa aku ngga harus masuk di waktu yang pas alias boleh lebih. Japanese omotenashi is really something!

Setelah tiket sudah di tangan, aku hampir tidak diperbolehkan masuk. Pasalnya pas sudah menyerahkan tiket ditanyain nama dan ketika kujawab namaku ternyata si petugas tiketnya mengernyitkan alis. Akhirnya aku sebutkan nama temanku yang membantuku pesan tiket, rupanya tiketnya memang menggunakan nama temanku itu. Fiuh~ akhirnya berhasil masuk ke Ghibli Museum.

Begitu masuk, kita disambut oleh seorang resepsionis yang akan membagikan beberapa hal yaitu: peta Ghibli Museum, cinderamata berupa pembatas buku film Ghibli, dan satu tiket untuk nonton screening film pendek Ghibli. Yang perlu diingat, kebanyakan museum di Jepang tidak memperbolehkan kita untuk mendokumentasikan isi museum. Begitu juga dengan Ghibli Museum, oleh sebab itu untuk isi atau ada apa saja di dalam museum ini cukup aku deskripsikan dengan kalimat yah pembaca.

Setelah melewati resepsionis tadi, ada tangga turun menuju ruang tengah dan utama Museum Ghibli. Di ruang tengah ini ada tangga melingkar, ada lift, ada toilet, serta ada ruang screening di bagian kiri. Di museum ini ada cukup banyak petugas. Jadi memang kemungkinan mendokumentasikan curi-curipun ngga akan bisa karena akan ketahuan. Begitu masuk, aku terpesona dengan ruang tengah ini karena cakep banget. Berasa betul-betul masuk ke dunia Ghibli.

Sebelum memutuskan untuk naik-naik dan menjelajah beberapa section, aku memutuskan untuk ikut screening duluan. Untuk screening film ini kita hanya perlu menunjukkan karcis lalu menunggu hingga jumlah penontonnya dirasa cukup oleh petugas. Sembar menunggu penumpukan penonton, kita bisa melihat-lihat lukisan dinding yang berisikan potongan adegan dari My Neighbor Totoro yaitu Mei dan Tatsuki.

Di sebelah kanan begitu masuk ke ruang tengah yang tadi aku jelaskan, ada museum khusus yang menyimpan beberapa teknik keajaiban animasi Ghibli. Dimulai dari mesin stop motion Totoro berisikan Mei, Tatsuki, dan Totoro. Ada proyektor animasi. Ada sketsa dan model untuk membuat stop motion Totoro. Sampai metode pengambilan gambar pada Ponyo. Ketika masuk ruang ini, di situ aku benar-benar kagum: ternyata membuat animasi yang bagus dan berkualitas itu memang membutuhkan teknologi dan usaha kreatif yang luar biasa ya.

Ketika tiba waktunya screening, semua penonton digiring masuk ke ruang sinema. Bahkan di dalam ruang sinema berasa banget dekor Ghibli-esque. Sinemanya beratap lengkung dengan atap memutar bergambar matahari gitu, jadi pas masuk dan lampunya dimatikan jadi berasa masuk kartun. Sebelum film dimulai, ada pemandu di dalam sinema yang menjelaskan sedikit tentang filmnya dan tata cara keluar ketika filmnya sudah selesai. Setelah memberikan penjelasan menggunakan full bahasa Jepang, baru dia pamit undur diri dan filmnya dimulai.

Jangan harap film Ghibli yang ditayangkan adalah film mainstream mereka, bukan. Kebetulan yang aku tonton filmnya bercerita tentang laba-laba air yang jatuh cinta dengan laba-laba berkaki panjang. Premisnya sederhana tapi ya bukan Ghibli kalau ngga menyajikan visual dan grafis yang dreamy. Film ini berlangsung selama 15 menit-an dan setelah nonton rasanya hati jadi ringan. Mungkin karena ceritanya yang ringan tapi disajikannya bagus banget kali ya? Atau mungkin musiknya? Atau mungkin suasananya? Ah whatever that was, I was happy.

Setelah screening, barulah aku eksplor lantai Ghibli Museum yang lebih tinggi. Dimulai dari ngeliat section pembuatan film sampai ke kamar tempat Hayao Miyazaki mikirin konsep Howl's Moving Castle. Section yang paling aku memang yang konsep Howl's Moving Castle itu sih, semua materi untuk bikin film dari novel ada di situ. Dan di situlah aku berpikir kalau karya-karya yang dihasilkan oleh seniman Jepang itu ada basisnya, researchnya itu jelas dan cukup otentik. Aku juga gambar konsep Sophie dan juga Kiki di section tersebut. Jadinya tuh lebih bisa mengapresiasi proses kreatif sineas di balik tontonan yang kusuka.

Buat anak-anak ada section khusus buat main-main yaitu miniatur Neko-basu. Kalau aku lupa umur dan lupa berat badan mungkin akan join anak-anak ini. Di bagian rooftop juga ada taman dengan Laputian robot dari Castle in the Sky. Di sinilah orang-orang biasanya ambil gambar. Setelah puas muter-muter taman dan menikmati isi Ghibli Museum yang lebih personal dan sangat bisa dinikmati, baru orang-orang mampir ke Strawhat Cafe yang menyediakan makanan ringan seperti hot dog dan sandwich.

Donguri Kyowakoku

Masih berkutat di per-Ghibli-an duniawi, salah satu tempat yang masuk bucket list-ku sejak merencanakan perjalanan ke Jepang adalah Donguri Kyowakoku yaitu toko official merchandise Ghibli Studio. Konon tempat ini ada dimana-mana, ada di Ikebukuro, ada di Odaiba, ada juga di Kyoto dan Osaka. Kebetulan yang aku kunjungi cukup yang di Ikebukuro, Odaiba, dan Kyoto. Tujuan utama ke Donguri Kyowakoku sebetulnya bukan merch-nya sih tapi Gacha-nya. Karena Agista selama di Jepang #sipalingGacha alias duit recehku habis kalau ngga dipake nge-Gacha ya dipake nge-laundry di hotel.

Donguri Kyowakoku yang pertama aku kunjungi ini pas banget setelah aku jalan-jalan di Ghibli Museum. Dari list yang aku tulis, toko pertamanya adalah yang di Ikebukuro. Tanpa aku tahu bahwa aku bisa juga berkunjung ke store yang lebih sepi di Odaiba maupun di Kyoto. Letak store Ghibli di Ikebukuro ini kebetulan di dalam mall. Dan di sinilah bun aku menyadari kalau ternyata orang Jepang itu hobinya sama kayak orang Jakarta: hobi ngemall. Mall di Tokyo ini gede-gede dan ada dimana-mana. Lalu di musim panas lalu, mallnya selalu berisi banyak orang. Rupanya tabiat ini ngga berbeda dengan orang Jakarta yang suka ngadem di mall.

Anyway, Donguri Kyowakoku yang terletak di lantai BF Sunshine City Ikebukuro ini padat banget di hari itu. Merch yang dijual antara lain: plushies dan figures karakter Ghibli, stationery, sampai ke baju. Di store Ikebukuro terdapat perapian Calcifer seperti yang ada di Howl's Moving Castle. Sayangnya waktu itu aku ngga sempat ngefotoin soalnya terlalu ramai dan kurang estetik. Sejujurnya store di Ikebukuro ini dekornya lebih niat daripada yang ada di Odaiba. Dengan merch yang lebih lengkap juga. Di sini aku beli washi tape dan stiker Ghibli saja. Sempat ngambil enamel pin tapi kubalikin karena ada suatu alasan yang sekarang aku sudah lupa alasannya apa. Mostly di store Jepang disediakan kasir tax free dengan catatan total belanja lebih dari JPY 5,000. Kalau kurang ya ngga kena tax free. Dan kebetulan belanjaanku kurang dari JPY 5,000. Di Donguri Kyowakoku Ikebukuro sebetulnya aku sudah tertarik untuk beli cangkir teh Jepang berkonsep Spirited Away tapi karena ragu gimana cara bawanya, akhirnya aku urungkan niat. Ujung-ujungnya cangkir itu kebeli di Donguri Kyowakoku Odaiba.



Kamakura

Highlight dari perjalanan kemarin, selain Studio Ghibli-esque concept adalah Kamakura. Ini semua disebabkan oleh aku yang masih ter-Slam Dunk Slam Dunk sampai bikin dua postingan di sini dan di sini. Kamakura ini merupakan kota yang dijadikan latar belakang tim Shohoku di manga dan anime Slam Dunk. Kota ini merupakan kota kecil pinggir pantai yang terletak di Perfektur Kanagawa. Selain orang-orang pada ke sini untuk reminiscing Slam Dunk, pada dasarnya attraction di kota ini adalah Kereta Enoden Line dan juga Pantainya yang biru, cocok banget untuk hawa-hawa musim panas. Fotografer Indonesia yang sudah bolak-balik Jepang juga suka merekomendasikan untuk pergi ke Kamakura karena semakin ditelusuri banyak objek foto yang menarik.

Dua hal utama yang kukunjungi pas pergi ke Kamakura: Kamakura Koko-mae dan Enoshima. Sebetulnya banyak banget tempat yang bisa di-eksplor tapi waktu itu aku ngga  menghabiskan terlalu banyak waktu di Kamakura karena keterbatasan waktu. Aku mengejar jam buka cafe di Tokyo jadi ya ngga terlalu jalan kemana-mana.

Kamakura koko-mae ini merupakan stasiun yang dekat dengan jalanan ikonik yang muncul di anime Slam Dunk. Kayaknya hampir semua turis mengambil foto di sini. Berhubung aku adalah turis yang cerdas, aku menemukan hidden spot buat ngambil foto di Kamakura. Dijamin di spot yang tersembunyi ini aku dapat foto yang sepi dari para turis.

Hal kedua yang membuatku ngga lama di Kamakura hari itu adalah cuacanya kurang mendukung. Awannya sedikit mendung dan anginnya terlalu kencang. Aku takut kalau misal aku pergi ke pantai di hari hujan malah menimbulkan malapetaka. Soalnya aku pernah pas hari ulang tahunku pergi ke Brighton di kala hujan, anginnya super kencang dan hujannya rada bikin ngeri. Kamakura di hari yang cerah dengan langit biru tentu saja jauh lebih bagus dari Kamakura yang kukunjungi di hari itu.

Pas di Kamakura, aku betulan berasa masuk ke dunia Slam Dunk. Bahkan ada salah satu sekolah yang memang menjadi model school Slam Dunk namanya Shonan. Sepertinya sekolah Shonan ini merupakan gabungan Shohoku dan Ryonan atau Shoyo dan Ryonan. Ditambah lagi pas ke Kamakura, aku sempat bareng dengan dua anak SMA yang baru pulang main basket di stasiun Enoden. Jadi ingat juga, pas pertama kali turun di stasiun Kamakura aku rada kebingungan nyari jalan keluar menuju ke Enoden line dan hampir ambil kereta yang salah. Untungnya ada petugas stasiun yang ngebantuin aku dengan menunjukkan arah Enoden yang line yang betul. Kesialan kedua adalah SUICA Card-ku ngga terdeteksi saat aku keluar gerbang. Petugas yang sama memanduku ke customer service stasiun untuk membantuku mengatasi masalah ini. Yang membuatku malu adalah petugas tadi rencananya memang mau memanduku sampai aku keluar dengan aman lewat pintu gerbang tapi aku malah berjalan cepat-cepat duluan pamit ke dia.

Kesialan berikutnya di Kamakura adalah HP-ku terjatuh tertiup angin pas aku mencoba mengambil selfie seluruh badan. Walhasil screen guard HP-ku boncel dan HP yang sudah 3 tahun tidak boncel ini akhirnya boncel juga karena insiden jatuh tersebut.

Sebagai kolektor dan pecinta jurnaling, aku juga mengumpulkan stempel di Kamakura. Kalau di Tokyo waktu itu sedang ada event ngumpulin stempel Shin-chan, di Kamakura mereka punya event sendiri. Sebetulnya stempelnya ngga terlalu banyak, hanya cukup 4 stempel. Meski demikian ternyata pas udah nyampai di Kamakura aku cuma bisa mengumpulkan dua stempel stasiun yaitu stasiun Kamakura dan stasiun Enoshima. Di Kamakura kokomae ngga ada stempelnya karena stasiunnya bener-bener stasiun kecil dan ngga ada siapapun yang nungguin. Mana SUICA-ku lagi-lagi sempat bermasalah sehingga aku harus pergi ke customer service lagi di Enoshima.

Pas sudah di Enoshima, aku jalan-jalan menyusuri jalanan stasiun sepanjang Enoshima dan saat itu aku kelaparan. Selama perjalanan, ngga ada satu pun restoran yang mungkin bisa aku kunjungi. Ada sih satu tapi pas itu aku ngga bawa uang cash jadi takut masuk restorannya. Padahal salmon donburinya sepertinya enak sekali. Ujung-ujungnya aku malah jajan puding Enoshima karena bisa bayar pakai SUICA lalu jalan-jalan lagi sampai kembali ke stasiun dan memutuskan makan di salah satu restoran di mall stasiun Kamakura awal.

Yang aku suka dari Kamakura adalah vibes musim panasnya yang kental banget, ditambah lagi Enoden line ini kan sifat keretanya seperti tram gitu ya. Karena tram dia tuh melintasi jalanan kota. Jadi makin berasa kebawa ke era zaman dulu sebelum modern days. Soundtrack yang terngiang-ngiang di kepalaku saat aku ke Kamakura adalah Sekai ga owaru made wa-nya Slam Dunk. Udah kebayang banget bisa ketemu Rukawa atau Mitsui. Bahkan kalau aku punya banyak waktu kayaknya akan menyempatkan diri untuk mampir ke gedung olahraga yang jadi model di Slam Dunk deh.

Omong-omong soal Slam Dunk dan ke-wibuan-ku, selain di-notice oleh Mas Junjun ketika aku mampir ke Latte Art Mania Cafe setelah dari Kamakura, kaos Slam Dunk aku juga dinotice oleh resepsionis hostel. Sepertinya Slam Dunk di Jepang juga masih dan lagi populer karena semua orang lagi tahu Slam Dunk. Ngga terhitung berapa banyak, yang jelas pas aku masih di Jepang semua orang melihat aku dan merch Slam Dunk-ku sehingga mereka jadi ngomongin soal Slam Dunk. Makanya pas banget kemarin aku ke Kamakura setengah hari.

Next time akan kupastikan aku akan stay lebih lama di Kamakura sampai sore, hunting foto lebih banyak dan ter-Slam Dunk Slam Dunk lebih banyak.

Untuk kisah per-wibu-an selanjutnya dilanjutkan di postingan berikutnya yang ngga tahu kapan akan terbit ya guise! Ma ta ne!


Comments